WARTAWAN juga manusia. Karenanya, wajar saja kalau punya masa lalu, masa sekarang, dan bermimpi untuk masa depan. . Mereka memiliki ketakutan, mereka sempat gentar, pernah terpojokkan sama seperti manusia lainnya. Rasa inilah yang telah menggelamit keriduan untuk bernostalgia dalam sebuah reuni.
Kata reuni biasanya berhubungan dengan silaturahmi. Penah bersama dalam liputan, kemudian terpisah oleh jarak dan waktu, serta tempat –meski ada yang tetap bersama meliput— lah yang membuat pertemuan wartawan angkatan 1970, 1980, dan 1990 bertemu hari ini. Diberi titel Reuni Akbar Wartawan 789. Bertempatnya di Griya Agung, Palembang.
Saya mengamati dan mengikuti dari awal rencana lahirnya silaturahmi hari ini. Dari gagasanawal Uda Filiang, mantan Wartawan Sriwijaya Post. Yang saat itu baru kembali dari Padang menghadiri reuni wartawan di Sumatera Barat. Lalu, pada HPN 2018 lalu, pernah dilaunching juga buku berisi sosok wartawan Sumbar, dengan judul 121 wartawan hebat dari Ranah Minang.
Responsif dari beberapa wartawan senior antara lain Helmi Apri, Syahril Fauzi, H Syarifudine Basrie, dan Bangun Lubis berapatlah mereka di kediaman Helmi Apri di Lorong Bahagia Palju.
Terkonsep gagasan tersebut menjadi sebua rangkaian kegiatan yang intinya bakal menghimpun cerita maupun pengalaman wartawan-wartawan yang pernah bertugas di Sumsel, waktu itu wilayah provinsi ini masih termasuk Bangka Belitung.
Langkah pertama yang dilakukan adalah memanfaatkan dunia daring. Pertemuan dan pengimpunan data rekan-rekan yang sudah terpsiah-pisah tentu sulit melalui pertemuan tatap muka. Dibuatlah Grup WA atau kerennya WAG (WA Grup).
Rambut sama hitam saja pendapat dan pemikiran sangat variatif. Apalagi, kini wartawan tiga angkatan itu pun, rambutnya sudah multiwarna. Bebarapa kali terjadi debat soal nama, pakai kata ‘reuni’, atau pakai kata ‘ajang silaturahmi’. Dan beberapa nama usulan lainnya.
Selain panas, adu pendapat itu juga diwarnai persoalan kabut asal yang semakin pekat di wilayah yang dipimpin H Herman Deru ini. Sampai akhirnya, saat ini WAG yang dipakai, Reuni Wartawan 789.
Dengn anggota tercatat di info grup, sebanyak 183. Jumlah yang selalu dinamis, ada yang masuk dan ada yang keluar. Lalu, beberapa tokoh senior disepakati menjadi panpel, diantaranya, Ketua H Iklim Cahaya (pernah wartawan Sripo) sebagai Ketua, lalu H Bangun Lubis (pernah Sumatera Ekspres) sebagai sekretaris, dan Kawar Dante (pernah di Palembang Post) sebagai bendahara. Mereka dibantu beberapa rekan lannya sebagai panpel. Baik di penerbitan buku maupun acara reuni.
Perdedatan yang meluncur di WAG, dalam catatan saya, setidak ada empat tema besar. Yakni, soal kriteria anggota WA yang bakal ikut reuni dan mengirim tulisan di buku, isi buku, dan judul buku.
Dari pengamatan, kegiatan Reuni Akbar Wartawan 789 ini terdiri dari dua item. Pertama, penerbitan buku kumpulan pengalaman selama berprofesi sebagai jurnalis. Kedua, kegiatan reuni sebagai ajang silaturahami wartawan. Karenanya, kalau dipetakan, wartawan 789 tersebut ada tiga goongan. Pertama, anggota WAG. Kedua, penulis buku. Ketiga, hadir di acara reuni.
Makanya kalau dipetakan lebih detail lagi terdiri dari antara lain: (1) Wartawan angkatan 789 yang hanya anggota WAG. Artinya, tidak mengirimkan tulisan dan tidak hadir acara reuni. (2) Anggota WAG dan mengirimkan tulisan, tetapi tidak hadir saat reuni. (3) Anggota WAG dan hadir saat reuni, tetapi tidak mengirimkan tulisan. (4) Anggota WAG, sekaligus mengirim tulisan dan juga hadir saat reuni. (5) Bukan anggota WAG, sekaligus tidak mengirimkan tulisan dan tidak hadir di reuni. (6) Bukan anggota WAG dan tidak mengirimkan tulisan, namun hadir di reuni. (7) Bukan anggota WAG, mengirimkan tulisan, tetapi tidak hadir di reuni.
Menulis Diri Sendiri Diakui masyarakat umum, dunia wartawan memang terkait dengan aktivitas tulis-menulis. Berita radio maupun siaran televisi pun, sebeum dipublish tentulah melalui tahap ditulis. Wartawan tulis, Identik dengan media cetak. Karena kelebihannya inilah, maka wajarlah kalau media cetak kemudian disebut sebagai ratu media.
Wartawan, dalam UU No. 40 Tahun 1999 disebut adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Artinya, wartawan itu bagian dari pers. Pers itu sendiri di Bab I pasal 1 ayat 1 adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,, mengolah dan menyampaikan informasi melalui media cetak, elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Dengan demikian, wartawan itu merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik yang kolektif. Menghasilkan karya jurnalistik yang berifat kolektif dan melembaga. Nah, dalam peran itulah, para wartawan yang pernah bertugas di Sumsel ini, merasa memiliki pengalaman yang sama.
Mungkin pengalaman manis, pahit, asam, getir, bahkan pahitnya. Di era orde baru maupun era reformasi. Di masa masih memakai peralatan sederhana sampai canggih seperti saat ini. Masih menggunakan mesin ketik, hingga pakai komputer, lalu mengirim berita dengan PDA dan smart phone. Merasakan sebutan Mat Kodak, kuli tinta, pernah digelari kuli disket, hingga kini mencapai era konvergensi media.
Siapa Anggota Wartawan 789 ?
Siapa-siapa yang bisa masuk menjadi anggota wartawan 789 pun sempat menjadi tranding topic dalam grup WA. Pernah bertugas di Sumsel era 70, 80, 90, meskipun kemudian hijrah ke daerah lain ataupun pindah ke profesi lain. Atau, memulai profesi di tahun-tahun itu, namun masuk dan meliput di Sumsel tahun 2000, apakah termasuk anggota atau bukan.
Hal-hal ini yang memang tidak dimantapkan sebagai kriteria yang jelas, membuat adu pendapat tak pernah absen. Beberapa orang, bahkan ada yang kemudian dinyatakan tak bisa dimasukkan ke dalam golongan wartawan 789. Lalu, kalau pun telah mengirimkan tulisan, dianggap tak ada.
Beberapa komen yang menyindir, tanpa menyebut nama, orang-orang yang dianggap bukan wartawan tetapi memaksa ikut masuk grup, juga menjadi ‘bumbu’ perbincangan di wall grup.
Meski berpengalaman menulis, mengungkap sendiri pengalaman selama menjalankan profesi, di mata beberapa anggota, dianggap berlebihan. Beberapa bahkan, menyebutnya sama dengan onani. Untuk kepuasan diri sendiri, buku yang menceritakan kembali pengalaman para wartawan sebenarnya memang bukan barang baru.
Pernah terbit buku Jagat Wartawan Indonesia yang ditulis oleh Soebagijo IN di tahun 1980-an. Pernah juga terbit Pistol dan Pembalut Wanita yang merupakan antologi pengalaman wartawan media cetak yang bertugas di Bandung di tahun 2007. Lalu : Jurnalis Berkisah yang ditulis Yus Aryanto tahun 2012. Atau Buku Rindu tanpa Perang: Pengalaman Wartawan Meliput Konflik Aceh yang ditulis Adi Warsidi, dkk.
Seperti dikutip dari pengantar Buku Rindu tanpa Perang: Pengalaman Wartawan Meliput Konflik Aceh yang ditulis Adi Warsidi, dkk dengan Penyunting : Fakhrurradzie Gade, “Pengalaman dari jurnalis adalah sesuatu yang dibutuhkan. Pengalaman hidup perlu dibagi, perjalanan hidup yang ada harus diapresiasi. Demikian juga dengan pengalaman hidup dan suka dan duka kalangan jurnalis saat bertugas di lapangan.”
Berangkat dari pemahaman itulah, Adi Warsidi menurunkan tulisan pengalaman empiris sejumlah jurnalis yang pernah menekuni lika-liku meliput konflik dengan beragam perniknya.
Menjalani liputan di bawah tekanan dan juga kewaspadaan bukan perkara mudah. Ada yang selamat, ada yang harus kehilangan nyawa. Tapi, yang lebih kita sayangkan lagi tidak sedikit yang kehilangan independensi karena kondisi konflik yang sebenarnya tak pernah kita inginkan.
Catatan jurnalis yang disajikan dalam buku tersebut hanyalah serpihan dari sekian banyak pengalaman kaum jurnalis yang meliput di wilayah konflik, terutama konflik Aceh selama hampir 32 tahun hingga berakhir dengan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005.
Dari buku ini diketahui bahwa Jurnalis memiliki kontribusi besar dalam pembangunan Aceh, baik fase konflik maupun pasca perdamaian MoU Helsinki.Dari pengalaman warrtawan di buku ini, kita dihadapkan pada dua hal; konflik dan keberanian jurnalis.
Paparannya bersandar dari pengalaman langsung para jurnalis, baik insider maupun ousider. “Makanya buku ini wajib dimiliki oleh beragam profesi untuk melihat Aceh Kontemporer,” dikutp dari pengantar di halaman belakang.
Sementara sepuluh jurnalis dalam buku Jurnalis Berkisah mengambarkan kesetiaan pada profesi dan kebenaran. Memang ada petikan kisah-kisah heroik dari para wartawan tersebut.
Namun itu bukan titik sentral, namun sebagai pintu masuk pada persoalan yang lebih besar. Para wartawan ini menyertakannya satu ataupun dua “kasus”, berkenaan dengan profesi yang mereka jalani. Inilah yang membuat cerita mengenai para wartawan ini semakin bernas.
Buku berjudul Pistol dan Pembalut Wanita berisi puluhan catatan pengalaman ringan mengenai tugas-tugas jurnaliastik mereka di lapangan. Penulisnya wartawan dari berbagai media, baik elektronik maupun cetak, yang bertugas di Bandung.
Sosok wartawan sering terkesan “serius” dan “kritis”. Tidak heran jika banyak orang yang “alergi” terhadap wartawan, terutama pejabat yang punya masalah tertentu, sebut saja masalah hukum. Namun di buku ini, kesan tersebut sedikit-banyak, ditepis. Pasalnya lewat kumpulan pengalaman wartawan di Bandung ini, wartawan tampak sebagai pribadi yang cair, terbuka, bahkan jenaka tanpa kehilangan sikap kritisnya.
Diantaranya, pengalaman Taufik, seorang wartawan di Bandung. Ceritanya, ketika menunggu Sofyan Lubis menjadi pembicara seminar, Taufik masuk ke dalam kamar mandi untuk melepaskan hajat kecilnya. Pada saat yang bersamaan ia juga melihat sosok yang sedang mengambil posisi yang sama untuk buang air kecil. Sosok itu adalah Sofyan Lubis.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Taufik pun langsung menanyakan pendapat Sofyan Lubis mengenai “wartawan bodrex” (wartawan tanpa surat kabar yang jelas dan berkecenderungan mengambil keuntungan pribadi) yang marak bermunculan. Alhasil wawancara dilakukan dalam posisi tersaebut. Hebat Tapi apakah memang berlebihan dan tergolong onani, kalau wartrawan menulis diri sendiri?
Apalagi, judul buku itu juga kemudian mengandung kata yang dianggap kontroversi, ‘hebat’. Wartawan Hebat Sumatera Selatan 789. Buku yang dieditori Syahril Fauzi, Ahmad Fadli Rajab, Ahmad Subari, Aspani Yasland, Helmi Apri, Icuk M Sakir, Ismteri Radjab, dan Suparapto Ramadhan, ketika dipublish di grup, spontan mendapat beragam tanggapan. Terutama unsur kata ‘hebat” di judul yang dianggap berlebihan. Dan itupun, dianggap menilai diri sendiri.
Koodinator editor Syahril Fauzi menjelaskan alasan dipilihnya kata hebat itu. Menurutnya, buku ini tidak menceritakan kehebatan seorang wartawan. Justru banyak kisah yang mengahrukan. Mereka adalah orang-orang hebat. Dengan suasana kewartawanan yang tidak memadai secara finansial maupun penunjang lainnya, tapi mereka tetap setia dengan profesi ini. Kalaupun telah beralih profesi, minimal, pernah menjalani kondisi tersebut. “Mereka adalah orang-orang hebat sebagai dekade akhir sebelum teknologi informasi merasuki semua sendi kehidupan,” jelasnya.
Dengan buku kumpulan tulisan, maka dapat dimaklumi bawah judul buku itu adalah wewenang editor. Mungkin dari ratusan tulisan yang masuk dan menjadi buku dengan sedikitnya 500 halaman, tim editor menemukan benang merah yang bisa menggambarkan bahwa wartawan yang mengirimkan tulisannya untuk buku itu adalah wartawan hebat. Hebat dalam arti berdasarkan sudut pandang tim editor.
Dan kata hebat ini pun telah digunakan wartawan di Sumatera Barat. Di HPN 2018 lalu yang dipusatkan di Padang, di-laucnhing juga buku yang menurut Pemda Sumbar termasuk Ensiklopedi wartawan Sumbar, dengan judul “121 Wartawan Hebat Ranah Minang”. Tapi tentu saja, ada beda antara buku hebat di Minang dan hebat di Sumel ini.
Di Minang, itu diterbutkan atas dasar dan gagasan untuk turut meramaikan HPN. Sementara buku Hebat di Sumsel ini, lahir dari gagasan diri sendiri parat wartawan Sumsel untuk menjadikan pengalaman berprofesinya menjadi bagian yang tak terpisah dari pembangunan dan perubahan.
Bukanlah wartawan juga merupakan agen of change dalam kehidupan bermasyarakat. Terutama melalui fungsi informasi dan kontrol sosialnya. Seperti dikutip dari kantor berita Antara 2 April 2018, Buku “121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang” merupakan ensiklopedi wartawan dan humas Pemprov Sumbar yang dibagi pada beberapa periode. Periode itu masing-masing zaman perintisan dan perjuangan kemerdekaan.
Wartawan yang menonjol pada periode ini tercatat Abdul Rivai, Abdul Muis, Agus Salim dan beberapa tokoh lain. Periode proklamasi hingga orde lama dengan tokoh diantaranya Anas Makruf, Rusli Amran dan Rosihan Anwar. Kemudian periode orde baru hingga reformasi dengan tokoh diantaranya Zulharman Said, Junisaf Anwar dan Karni Ilyas. Buku ini juga memuat biografi singkat juru bicara “Rumah Bagonjong” atau Kepala Biro Humas Sumbar.
“Buku itu ditulis oleh sepuluh wartawan senior Sumbar masing-masing Nasrul Azwar, Eko Yance Edrie, Syafruddin Al, Hasril Chaniago, Dody Nurja, Firdaus, Indra Sakti Nauli, Aci Indrawadi dan M. Bayu Vesky,” seperti dikutip dari Antara. .
Dengan fakta-fatka di atas, dapat kita pahami bahwa bukanlah tabu dan diharamkan kalau wartawan itu menulis dan mencatatkan pengalamannya sendiri. Memang terkesan onani, kalau sisi baiknya saja yang ditonjolkan. Tetapi, bisa menjadi lembar sejarah, kalau berbagai sisi dan sudut pandang juga diungkap. Tak ubahnya tatkala wartawan itu menyajikan laporan yang cover both side.
Setidaknya, melalui buku ini pembaca tidak hanya akan menjumpai romantisme dunia jurnalistik, melainkan kompleksnya dunia jurnalistik terutama ketika ia berbenturan dengan berbagai kepentingan. Mampukah wartawan itu jujur dengan dirinya sendiri dan sekitarnya tentu dapat diukur dari pengalaman yang tersaji dalam buku ini.[**]
Semoga
Muhamad Nasir
Wartawan Utama dan anggota Dewan Kehormatan PWI Sumsel periode 2014-2019