Uncategorized

Sedekah Kampung ala Kampung Kapitan Tionghoa di Palembang

Ist

PAGI itu, Minggu 11 April 2021, azan subuh  baru saja berlalu dari beberapa toa masjid. Suasana kehidupan sudah mulai terlihat. Anjungan atap rumah bergaya Tionghoa mulai tampak temaram. Rumah besar bernuansa klasik tersebut tampak kokoh berdiri di samping Musholla kecil yang asri. Kampung Kapitan, pemukiman yang diyakini sebagai titik awal berpindahnya komunitas pendatang Tionghoa ke daratan di Palembang, mulai berdenyut.

Berada di pinggiran Sungai Musi, pusat kota Palembang, tepatnya di Kelurahan 7 Ulu, kampung ini menjadi potret keragaman dan kesatuan etnis keturunan Tionghoa dengan masyarakat lokal. Dari catatan sejarah yang terpampang di berbagai dinding rumah ini, 1823 M adalah awal mula kampung di buka (Dokumen KILTV). Mayor Tjoa Kie Tjuan sebagai pemulanya. Langkah awal ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu Tjoa Ham Ling (1871M), ditunjuk menjadi pemimpin komunitas Tionghoa berpangkat Kapitan. Kendati berpangkat Kapitan, sejatinya ia bukanlah seorang pemimpin militer namun pejabat sipil yang mengurusi segala seluk beluk masyarakat Tionghoa di Palembang. Tjoa Kie Tjuan dan Tjoa Ham Ling adalah leluhur, tokoh pertama yang membuka kawasan ini, setelah dapat restu dari Kesultanan Palembang, maka berubahlah status “Cino Rakit”, kelompok Tionghoa yang berdiam di rumah-rumah rakit di pinggiran Sungai Musi. Merekapun memulai aktifitas di daratan. Tiga bangunan rumah besar dengan arsitektur campuran Palembang, Tionghoa dan Eropa pun didirikan. Itulah Rumah Kapitan, ikon utama kampung ini.

Di subuh itu, sebuah ritual penting akan dilakukan, Sedekah Kampung. Sebuah ritual yang sebetulnya tradisi khas masyarakat Sumatera Selatan, tapi diadopsi jadi acara tahunan yang wajib dijalankan. “Sejak dari leluhur kami sudah melakukan ini, kendati di tradisi Tionghoa sendiri tidak kami kenal, kami teruskanlah warisan ini,” ujar Ko Mulyadi, sang penunggu Rumah Kapitan, sekaligus keturunan ke-7 Kapitan Tjoa Ham Ling.

Kendati kawasan ini adalah “Pecinan” awal di Palembang, tapi lalu lalang warga tak banyak menunjukkan khas Tionghoa. Kecuali Rumah Kapitan, rumah-rumah lain tampak menyatu dan melebur dengan gaya rumah kekinian. Hanya Rumah Kapitanlah yang menjadi simbol bahwa ini adalah kawasan “Pecinan”, selebihnya seperti kampung lain adanya. Sebuah pagoda berukuran sedang tampak kokoh di tengah halaman rumah, juga jadi penanda.

Seekor bandot, kambing jantan besar bertanduk melengkung dengan “gendit” putih dipinggangnya, tampak gelisah terikat di pojok rumah. Sesaat lagi ia akan menjadi “santapan” bersama warga sekampung, penanda sedekah akan dimulai. Kambing gemuk yang dibeli dengan sokongan warga sekitar, tampaknya tak punya pilihan lain. “Setiap tahun kita selalu sembelih kambing dengan syarat tertentu, jantan, berkelir putih dipinggangnya tapi tidak boleh berwarna putih keseluruhan. Kita sokongan bersama, termasuk segala keperluan sedekah ini, semua biaya kita tanggung bersama,” kata Ko Herman Godek, adik Ko Mulyadi yang juga berdiam di rumah kapitan tersebut.

Tak butuh waktu lama, setelah jamaah sholat Subuh keluar dari Musholla, penyembelihan kambing dilakukan. Ustad Darja, sang imam di Musholla tersebut jadi eksekutor, didampingi beberapa lelaki lain, Ko Godek, Ko Afat dan Ko Acai, Eko serta Asep sebagai pemuda setempat. Kepala kambing dipisahkan dari tubuhnya, untuk selanjutnya digotong ke bagian belakang rumah, ditanam dalam sebuah lobang kecil yang sudah disiapkan. Selain bagian kepala, dimasukkan juga bagian kaki dan darah segar bekas sembelih. “Ritual ini memang ditandai pula dengan menanam kepala kambing di sekitar kampung. Mungkin ini ungkapan syukur sekaligus harapan agar warga kampung jauh dari berbagai bala ataupun bencana. Apapun itu, kita lakukan dan kita doakan secara Islam. Setidaknya kita menghargai leluhur yang sudah melakukan ini dahulu,” ujar Ustad Darja, pemuka agama setempat yang merupakan warga pindahan dari Serang, Banten.

Menjadi menarik sekaligus tanda tanya, apakah penghuni Rumah Kapitan atau para etnis keturunan Tionghoa di kampung ini adalah muslim? Ternyata tidak. Ko Mulyadi, ko Godek penganut Khatolik, sebagian warga Tionghoa lain ada yang beragama Budha dan Kong Hu Cu. “Ragam agama ada di sini, mulai dari Islam, Khatolik, Protestan, Budha dan Kong Hu Cu. Tapi itu tidak jadi masalah, sedekah kampung tetap diadakan, kambing di sembelih secara Islam oleh Ustad Darja, dimasak oleh tetangga yang beragama Islam, dan kemudian kami makan bersama-sama,” tegas Ko Herman Godek. Menjalankan sebuah tradisi yang kental dengan nuansa Islam, namun dilakukan lintas agama, adalah momen menarik. Ko Mulyadi sendiri mengatakan bahwa itu sudah dilakukan turun temurun, sejak Kapitan Tjoa Ham Ling sendiri.

“Saya yakin Kapitan dulu berprinsip bahwa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, seperti pepatah Minang. Itulah Sedekah Kampung ini diadakan. Sekaligus mungkin ingin mengatakan kita bukanlah orang Tionghoa, tapi orang Indonesia yang tinggal di Palembang, tapi keturunan dari Tionghoa,” ujar Ko Mulyadi.

Suasana samping Rumah Kapitan tampak ramai, ibu-ibu mulai meracik bumbu, kuali-kuali besar telah siap jadi tempat mengolah berbagai bahan makanan. Di ujung tempat yang disulap seolah jadi dapur umum tersebut, tampak tiga ekor ayam telah siap menuju tempat pemanggangan. Berbagai bumbu telah ditaburkan, harum aroma mulai menyeruak. Tiga ekor ayam dipanggang disiapkan untuk dijadikan semacam sesajen dalam ritual yang akan dilakukan. “Ada tiga tempat yang akan dijadikan lokasi sesajen ini, satu di dalam rumah, satu di pinggir Sungai Musi, dan satu di bagian depan rumah. Syaratnya harus ayam kampung jantan,” ujar Ana, wanita paruh baya yang sekarang dipercaya sebagai Hulubalang Kampung Kapitan. Sekali lagi, menurut Ana, ini adalah tradisi yang berlangsung sejak dulu, ia sendiri tak begitu paham maknanya, tapi tetap dilakukan. “Kita percaya saja, toh tidak ada yang dirugikan,” kata wanita berjilbab ini.

Sore selepas Ashar, segala persiapan telah selesai dilakukan. Halaman luas rumah menjadi pusat acara. Jamaah dari 4 musholla yang ada di sekitar kampung sudah berkumpul, tak ada kursi, cukup karpet besar yang dipinjam dari beberapa rumah warga jadi tempat duduk. Sekitar 200-an orang warga berkumpul bersama. “Kebetulan cuaca bagus, jika hari hujan baru kita naik ke atas rumah,” ujar Ko Herman Godek.

Ko Herman Godek sebagai tuan rumah di Rumah Kapitan mulai mengambil garu. Kayu kecil yang mirip lidi itu dibakar ujungnya. Ia beranjak menuju bagian tengah rumah, garu dijepit jari dan beberapa kali ia menggerakkan tangan ke atas ke bawah menghadap ke sederetan patung dewa-dewa yang berjejer di ruang tengah. Mata sipitnya tampak serius menatapi berbagai pernak-pernik ibadah ala Tionghoa. Tak lama itu dilakukan, sampai kemudian garu ditancapkan pada sebuah wadah besar berisi pasir. Aroma wangi garu terbakar terasa menusuk hidung, khas sekali seperti keyakinan Tionghoa. Sementara di bagian bawah rumah, warga yang menghadiri Sedekah Kampung dengan setia menunggu.

“Setidaknya kita harus permisi dulu dengan para leluhur. Saya bersembahyang sejenak sesuai tradisi dalam Tionghoa. Intinya saya ingin minta izin dan memberitahu maksud diadakannya acara ini,” jelas Ko Herman Godek.

Sembahyang yang dilakukan Ko Herman Godek menjadi penanda dimulainya acara sedekah. Izin sudah disampaikan, maksudpun sudah diutarakan. Selanjutnya Ustad yang memimpin acara mengambil posisi. Lantunan surat-surat Yassin serta doa Tahlil mulai berkumandang. Ko Herman Godek, Ko Acai, Ko Afat, Ko Eriyamin serta beberapa warga keturunan Tionghoa yang bukan beragama Islam, seakan larut dalam irama Surat Yassin yang dibacakan secara tartil. Mereka menyatu, kendati tak semuanya paham dengan apa yang dibacakan.

Wajah warga tampak khusuk, membaur dalam sebuah kebersamaan. Semua adalah warga Kampung Kapitan, dan sangat sulit membedakan mana yang keturunan Tionghoa dan mana yang warga pribumi.

Doa penutup menjadi penanda selesainya acara, nasi kotak dengan menu daging kambing mulai dibagikan (penggunaan nasi kotak karena masa pandemi Covid 19, sebelumnya ini dilakukan dengan makan hidangan), dan tiga ekor ayam sesajian juga sudah tempatnya. Semua mendapat bagian, dan semua menikmatinya, entah itu Muslim, Budha, Kristen, Protestan, Tionghoa atapun pribumi, menyatu dalam sebuah doa yang sama, semoga masa depan akan lebih baik dan kampung mereka terlindungi dari segala bala bencana. “Walaupun Tuhan kita berbeda-beda sebutannya, tapi doa kami sama,” ujar Eriyamin, sesepuh masyarakat keturunan Tionghoa di Kampung Kapitan.

Sedekah kampung di Kampung Kapitan seolah membantah berbagai stigma negatif selama ini bahwa komunitas keturunan Tionghoa itu tidak menyatu, ekslusif, dan tidak membaur. Apa yang ada dan dilakukan di Kampung Kapitan justru menjadi potret bahwa komunikasi antar masyarakat berbeda budaya, khususnya dengan etnis keturunan Tionghoa, telah berhasil menunjukkan efektifitasnya. Akulturasi telah berjalan, adaptasi itu telah selesai, simbol-simbol etnis tetap tampak, tapi substansi kesatuan dan kebersamaan sudah selesai ditingkat warga. Kalau toh kemudian banyak terlihat konflik yang membawa-bawa nama etnis Tionghoa, agaknya itu sudah menyimpang dari pesan leluhur, atau bisa jadi telah “diprovokasi” pihak-pihak lain. Pada Kampung Kapitan, kebersamaan itu sudah sangat jelas, dan Sedekah Kampung adalah salah satu indikatornya.[***]

 

Oleh : Henny Yusalia

(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD dan Dosen FISIP UIN Raden Fatah)

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com