DEMOKRASI dan kebebasan yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari perjuangan melawan rezim ototarian orde baru. Perjuangan itu tidak diraih dengan mudah, tapi diwarnai dengan jatuhnya korban jiwa dari masyarakat dan mahasiswa.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu adalah harga yang harus dibayar mahal dari keinginan meraih demokrasi dan kebebasan itu. Berbagai kasus pelanggaran HAM itu hingga kini tidak kunjung diselesaikan negara.
Padahal, penuntasan kasus-kasus itu tidak semata untuk menegakan kebenaran dan keadilan bagi korban, tapi juga menjadi tahapan penting yang menentukan masa depan demokrasi dan HAM di Indonesia.
Di tengah belum tuntasnya berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut, para pelaku yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM justru maju sebagai kandidat Capres 2019. Ini akan menjadi isue yang sangat menarik untuk dilemparkan ke publik, guna menyerang kandidat Capres bapak Prabowo Subianto dalam pertarunganPilpres 2019 mendatang.
Yang saya herankan saat ini kenapa hanya bapak Prabowo saja yang dituntut harus bertanggung jawab, padahal beliua pada saat itu hanya pangkostrat sedangkan panglimanya, kok tidak dituntun untuk bertanghung jawab juga.
Kita semua memiliki hutang sejarah terhadap seluruh korban penculikan dan korban kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya. Mereka adalah martir perubahan dalam perjuangan kolektif mewujudkan cita-cita terbentuknya negara Indonesia yang demikratis. Tanpa pengorbanan mereka, kita tentunya tidak akan bisa meraih, merayakan dan menikmati demokrasi serta kebebasan seperti ini.
Penting diingat dan disadari oleh kita bahwa perjuangan untuk membangun negara Indonesia yang demokratis dan menghormati HAM belumlah usai. Kebenaran dan keadilan masa lalu tetap menjadi agenda yang harus terus diperjuangkan. Kasus pelanggaran HAM, darah para korban dan penderitaan keluarga korban harus selalu di ingat dan diwujudkan oleh kita melalui pandangan dan sikap penolakan terhadap pelaku pelanggaran HAM. Keadilan dan kemanusiaan harus ditegakkan di atas kepentingan-kepentingan lainnya.
Lebih dari itu, kita juga mempertanyakan kenerja presiden Jokowi dalam 4 tahun terakhir ini, bagaimana kinerjanya dalam mengatasi pelanggaran HAM masa lalu seakan sirna tanpa kejelasan dan kepastian hukum yang tetep.
Oleh karena itu jangan sampai persoalan pelanggaran HAM masa lalu ini selalu menjadi isue yang selalu dilontarkan seakan tidak pernah ada ujungnya dalam penyelesaiannya.
Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas. Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita.
Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Kemudian Jokowi juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu disebutkan pula delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi beban sosial politik.
Ke delapan kasus tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk dan Tragedi 1965.
“Para pelanggar HAM itu telah menyatakan mendukung Jokowi. Itulah kenapa kasus- kasus pelanggaran HAM berat hingga kini berakhir dengan nol besar,”
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM diteruskan ke tahap penyidikan dibawah kewenangan Kejaksaan Agung.[**]
Penulis : Budina Sofiyan
Politisi Muda Partai Demokrat