SALAH satu aktor penyebab terjadinya korupsi dalam ranah politik munculnya budaya percukongan. Kehadiran cukong sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat setiap suksesi pesta demokrasi. Praktek korupsi dan penggunaan kekuasaan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal membuat sistem pemerintahan dan budaya masyarakat pun berada di bawah bayangan para “kleptomania” yakni pengidap penyakit mencuri.
Dalam ilmu psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang mencuri sesuatu, meskipun ia telah memiliki sesuatu yang dicuri. Hal ini menandakan pengidap penyakit kleptomania biasanya berwatak serakah. Negara kleptokrasi adalah negara yang dalam gambaran filsuf Friederich Nietzsche: “ibarat monster yang paling dingin dari yang terdingin karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan penduduk dengan bermacam alasan, sehingga elite korup ibarat kera yang saling menginjak untuk mendapatkan materi dan kekuasaan”. Tidak ada sebuah bentuk Negara yang bernama Negara Kleptokrasi. Ini hanya sebuah ungkapan gramatikal yang ada karena fenomena yang ada pada Negara tersebut.
Dengan mencermati banyaknya para pemerintah dan pejabat mulai dari tingkat pusat, daerah bahkan sampai yang lebih rendah menyalah gunakan hak kekuasaannya yang seharusnya memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya justru hanya memberikan kesejahteraan bagi dirinya, keluarganya, dan orang yang dekat di sekitarnya. Demokrasi yang menjadi teori yang paling indah yang di idam-idamkan masyarakat dan rakyat dinodai oleh maling-maling berdasi pejabat sebuah instansi pemerintahan yang merusak cita-cita demokrasi.
Di arena politik, mata rantai korupsi itu sudah sejak dari pilkada sampai terbentuknya birokrasi. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yakni pemerintahan oleh para pencuri.
Akan halnya asal-muasal korupsi di pemerintahan, salah satu sumber utamanya adalah biaya kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. Sebab itu, ia merupakan proyek yang melibatkan uang banyak pihak dalam jumlah besar. Korupsi mengikis kemampuan institusi pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi. Lantas, kepercayaan lenyap dan begitupun toleransi mati.
Korupsi menimbulkan distorsi didalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana upah dan sogokan tersedia lebih banyak. Pejabat menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Tanamkan dalam institusi-institusi pendidikan kita, spirit menentang arus yang tidak dimiliki dalam budaya kita; spirit untuk tidak terjerumus dalam praktik kleptokrasi. Dan jika KPK semakin berani dan detail, maka akan terjadi antrian panjang para pejabat dan politisi untuk masuk hotel prodeo…[***]
Penulis : Reni Apriani, S.Ip., M.Si,
Dosen FISIP UIN Raden Fatah