Berangkat dari mengurusi anak jalan melalui Yayaysan Kuala Merdeka, kini Tarech Rasyid dipercaya mengelola Universitas Iba Palembang menjadi kampus merdeka.
Tangan dinginnya diharapkan bisa menjadikan kampus yang terletak di Jalan Mayor Ruslan ini menjadi kampus yang bisa melahirkan geerasi muda yang merdeka dan berakhlak.
“Ketika saya memimpin Kuala Merdeka, titik tekannya adalah pemberdayaan anak jalanan dengan menggunakan konsep pendidikan “children street education”. Pola pendidikan ini dilakukan di jalanan tempat anak jalanan mangkal. Di situ kami menggelar pendidikan dengan menggunakan alat pembelajaran seperti permainan “ular tangga” yang sudah dimodifikasi dengan konsep-konsep Hak-Hak Anak,” ujarnya ketika diwawancarai di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.
Sementara itu, ketika dia memimpin Universitas IBA, maka akan melakukan percepatan untuk mewujudkan Kampus Merdeka- Merdeka Belajar. Dalam Merdeka belajar, mahasiswa memiliki hak belajar baik di prodi yang berbeda dari prodi asalnya di kampus yang sama selama satu semester (20 SKS) maupun di kampus berbeda atau lintas kampus dan magang selama dua semester (40 SKS).
Kalau di “Kuala Merdeka”, Tarech Rasyid memang terlibat dalam pendidikan anak jalanan sejak tahun 1995. Anak jalan yang dididik itu terdiri dari tiga kategori, yaitu: (1) anak jalanan 24 jam berada di jalan, dan putus komunikasi dengan orangtuanya, (2) anak jalanan 6-8 jam yang masih berkomunikasi dengan orangtuanya, dan (3) anak jalanan yang hanya 2 jam di jakanan dan masih intensif berkomunikasi dengan orangtuanya.
Sementara itu, di Kampus Merdeka, terutama “Merdeka Belajar” doktor alumnus UGM ini mengatakan bahwa dia terlibat dalam mendidik mahasiswa yang memiliki hak belajar di empat Fakultas (Hukum, Ekonomi, Pertanian, dan Teknik) dengan tujuh Program Studi (ilmu hukum, manajemen, akutansi, agroteknologi, agrobisnis, tehnik Mesin, dan Teknik Sipil). Mahasiswa yang mengambil Program Studi tertentu itu dapat belajar di lain prodi di universitas yang sama, juga dapat belajar di prodi yang berbeda di lain kampus, disamping itu mereka juga dapat magang di dunia usaha dan dunia industri, termasuk di instansi pemerintah.
Anjal dan sekolah demokrasi
Mengurusi anak-anak jalanan (anjal), sudah dilakukan Tarech Rasyid ketika belum banyak orang peduli pada anjal. Kini, setelah pemerintah menjadikan urusan anjal sebagai program pemerintah, aktivis ini justru dipercaya sebagai pimpinan kampusnya untuk periode 2020-2024. Seebelumnya, dia membangun demokrasi melalui sekolah informal. Namanya, Sekolah Demokrasi. Aktivitas Tarech Rasyid tidak begitu saja langsung menggeluti dunia anjal. Suami Rina Bakrie ini justru mengawali kariernya setelah menamatkan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tahun 1986.
Selanjutnya dia menjadi dosen di Universitas Persada Indonesia, Jakarta, lalu IAIN Raden Fatah Palembang, dan sampai sekarang terdaftar sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Ida Bayumi (UIBA), Palembang. Sebelum akhirnya dilantik menjadi rektor.
Selain pernah menjadi wartawan, Tarech dan kawan-kawannya, tahun 1990 mendirikan Kelompok Studi Kebudayaan Kali Musi (KSKKM). Sempat pula ia menerbitkan bulettin kebudayaan Dinamika dan kehadirannya mampu menggairahkan kehidupan seni-budaya di daerah ini. Namun, kegiatan itu terpaksa terhenti karena keberadaan mereka di Taman Budaya Sriwijaya yang kemudian dibangun untuk kawasan Mal Palembang Squere, digusur sebab aktivitas mereka dinilai berbahaya.
Yayasan Kuala Merdeka
Tak kapok, lalu Tarech bersama para seniman Palembang menerbitkan Bulettin Kebudayaan Pradeka yang kemudian dibreidel oleh Departemen Penerangan Provinsi Sumatera Selatan, lantaran memuat teks ”Proklamasi Indonesia Emas” yang ditandatangani Tarech Rasyid bersama Anwar Putra Bayu, serta memuat pula kritik-kritik terhadap budaya korupsi di kalangan birokrasi dan budaya politik Orde Baru. Sebagai bentuk perhatiannya terhadap anak jalanan, bersama seniman dan aktivis LBH Palembang, Tarech Rasyid kemudian menggagas pendirian Yayasan Kuala Merdeka (YKM). Atas prakarsa Tarech, Chairil Syah, Anwar Putra Bayu, JJ Polong, dan Muhammad Yamin, lalu berdirilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengurusi anak jalanan pada tahun 1995.
Mereka memberikan advokasi dan perlindungan serta mendidik anak jalanan. Rumah Singgah anak jalanan disiapkan di Jalan Letnan Mukmin, Palembang. Jumlah anjal yang mereka bina mencapai 318 orang.Para anjal dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu; anak yang berada di jalanan selama 24 jam, anak yang 16 jam di jalanan, serta anak yang berada di jalanan hanya 2-4 jam.. Mereka semua dibina dan diberi pemahaman akan hak-haknya serta diberi bekal keterampilan seperti mengelola barang-barang daur-ulang untuk kemudian dijual kembali Pembinaan terhadap kelompok anjal itu dibina secara terpisah dengan pendekatan yang berbeda.
Terhadap masalah-masalah perempuan, Tarech pun ikut peduli dengan mendirikan Masyarakat Kajian Perempuan Paranusa (MKPP), keprihatinanya terhadap marjinalisasi seniman perempuan mendorongnya menerbitkan antologi puisi ”Perempuan Musi I” dan ”Perempuan Musi II”. MKPP kemudian berubah menjadi Yayasan PUSPA Indonesia (Pusat Studi Pemberdayaan Perempuan dan Anak Indonesia). Juga mendirikan Komite Indenpenden Pemantau Pemilu Daerah (KIPPda) Sumsel, serta Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) di Sumsel.
Pada tataran praktis, Tarech pun terjun ke jalanan melakukan demontrasi mengusung suara rakyat tertindas dan ketidakadilan, jauh sebelum reformasi bergulir. Tahun 1999, Tarech mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Anak Indonesia (LBHAI) dan menggagas pendirian lembaga keuangan untuk masyarakat marjinal dengan nama Balai Ponjen Rakyat. Juga mendirikan Sekolah Rakyat untuk anak-anak marjinal. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Di sela-sela kegiatan menyelesaikan doktornya di Universitas Padjadjaran 2007 lalu, Tarech Rasyid masih menyisihkan waktu mendirikan Sekolah Demokrasi di Banyuasin. ”Ini merupakan bentuk partisipasi masyarakat sipil untuk membangun demokrasi di tingkat lokal guna mencapoai kesejahteraan dan keadilan sosial,” jelasnya. Bagi yang lulus dari Sekolah Demokrasi akan memperoleh sertifikat kelulusan. Tarech menjadi Koorditar Program Sekolah Demokrasi, istrinya Rina Bakrie sebagai Direktur Eksekutif Yayasan PUSPA Indonesia yang dipercaya Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) untuk melaksanakan program Sekolah Demokrasi tersebut. Program Sekolah Demokrasi di Sumsel ini merupakan satu dari lima sekolah serupa di Indonesia.
Dipilihnya Banyuasin ketika itu dengan berbagai pertimbangan, antara lain karena anggota DPRDnya 70 % tamatan SMA.Para siswa, dikhususkan berasal dari Banyuasin.
Di hari kemerdekaan RI k-75, semangat juang menjadi spirit khusus dalam membangun pendidikan. Sebagai akademisi yang juga menggeluti dunia pergerakan dan budaya, Tarech Rasyid pun akan berbicara soal nasib seninam di era pandemi. Bersama Dr. Didi Suhendi, M.Hum, Maspril Aries, dan Dr. Darwin Effendi, M.Pd, mereka akan mengupas dan membolak-bolik persoalan seninam dari sudut pandang berbeda. Webinar Plus Dewan Kesenian Palembang (DKP) menjadi sarana mereka beragumentasi sehingga nantinya akan menjadi masukan bagi seninam dan pihak terkait lainnya dalam menyikapi pandemi. Art Normal-Iklim berkesenian menuju kenormalan baru, menjadi tema dialog dalam kemasan silaturahmi dan gelar kartya yang digagas DKP, Rabu (19/8). Anak jalanan, sekoilah demokrasi, dunia pergerakan, dan aktivitas budaya memang xenantiasa melingkari perjalanan kehidupan Tarech Rasyid.
Palembang, 20 Agustus 2020
Muhamad Nasir
Kandidat Doktor Universitas Negeri Jakarta dan Dosen Universitas PGRI Palembang