UNIVERSITAS Brawijaya [UB] Malang ibarat dapur raksasa tempat mahasiswa jadi koki ide, mereka mengaduk kreativitas, menambahkan bumbu teknologi, dan voila, lahirlah produk AI yang bisa bikin Indonesia tersenyum bahkan sampai mahasiswa di Palembang kepo, “Kapan giliran kita?” Ya..kata -kata itu terdengar jelas di telinga saya kemarin salah satu tongkoran di kantin salah satu Universtas Termuka di Palembang kemarin. Ternyata mereka juga sudah membaca kabar itu melalui situs komdigi…
Patut diapreasi mahasiswa UB, tenyata mereka bukan saja sibuk membaca buku, bukan kuliah sembri scroll di medsos sambil ngemil mie instan. UB kini memegang obor kreativitas dan inovasi, menyalakan api semangat bagi mahasiswa seluruh Nusantara.
Bahkan Peluncuran AI Talent Factory baru-baru ini bukan sekadar seremoni, ini panggilan bagi seluruh kampus di Indonesia, termasuk Palembang, bahwa generasi muda kita punya potensi mencetak talenta AI yang siap mengubah bangsa.
Rektor UB, Prof. Widodo, mengakui hampir semua produk AI yang digunakan masyarakat masih berasal dari luar negeri. Padahal, anak-anak muda Indonesia bukan sekadar bisa nonton tutorial YouTube sambil ngemil keripik, mereka mampu menciptakan produk sendiri. UB seolah berkata, “Ayo mahasiswa seluruh Nusantara, termasuk Palembang!. Berlomba-lomba berkreasi, ciptakan ide gagasan, dan bersama-sama ubah Indonesia jadi lebih maju!”
Mahasiswa Indonesia, bahkan yang sedang menimba ilmu di luar negeri, sering membuktikan kepintarannya. Di ajang lomba Internasional fisika, matematika, kimia, atau robotika, nama Indonesia kerap menempel di papan juara. Tidak selalu ranking satu, tapi konsistensi meraih prestasi menunjukkan bahwa kita punya potensi luar biasa.
Seandainya, jika kampus-kampus di Palembang mengikuti jejak UB, bukan sekadar meniru bentuk bangunan atau logo, tapi cara pandang kreatif yang mengutamakan kolaborasi dan inovasi. Mahasiswa tidak lagi sekadar duduk di kelas, tapi didorong untuk brainstorming, membuat prototipe, dan menghasilkan IP lokal yang bernilai global.
Kalau semua kampus Palembang dan seantero Nusantara menerapkan model ini, dampak positifnya berlapis ekosistem inovasi merata, dari Bukit Siguntang sampai Jakabaring, sehingga Palembang tidak sekadar jadi penonton perkembangan teknologi.
Selain itu mahasiswa terbiasa berpikir kreatif dan kritis, bukan hanya menghafal teori. Ekonomi digital meningkat, karena ide-ide kreatif bisa menjadi startup, produk, atau solusi yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Seperti pepatah Minang “Kalau baso tidak dimakan, percuma jadi kering”, semua potensi harus dieksekusi. UB sudah menyiapkan tanah dan pupuk kreativitas kampus di Palembang tinggal menyiram dengan ide-ide segar agar inovasi tumbuh subur.
Metode pembelajaran UB 50% diskusi & brainstorming, 30% eksplorasi mandiri, 20% belajar mandiri bisa menjadi model bagi kampus di Palembang. Bayangkan, setiap kampus menjadi laboratorium ide, melahirkan portofolio nyata, bukan sekadar CV tebal tapi kosong. Mahasiswa belajar bahwa kegagalan bukan akhir, tapi bahan bakar untuk inovasi berikutnya.
Mahasiswa Indonesia, meski kadang telat bangun, malas mandi pagi, atau lebih sering ketawa di grup WhatsApp, sebenarnya punya otak encer. Tinggal diberi kesempatan, mereka bisa menghasilkan ide brilian. AI Talent Factory UB bisa diibaratkan toko es krim inovasi, mahasiswa bebas pilih rasa kreativitas sendiri, campur-campur ide, dan lahirlah produk AI asli Indonesia yang manis di mata dunia.
Universitas Brawijaya di Malang ini ibarat dapur raksasa tempat mahasiswa jadi koki ide. Mereka mengaduk kreativitas, menambahkan bumbu teknologi, dan voila lahirlah produk AI yang bisa bikin Indonesia tersenyum bahkan sampai mahasiswa di Palembang kepo, “Kapan giliran kita?”
Jangan takut bersaing
Oleh sebab itu, jangan takut bersaing, jangan takut berpikir berbeda, jika model UB direplikasi di kampus Palembang dan Nusantara, Indonesia tidak lagi menjadi penonton teknologi, tapi pemain utama yang menciptakan solusi sendiri, bahkan untuk masalah global.
Kreativitas itu seperti pohon mangga, butuh tanah subur, pupuk kesabaran, dan air dorongan konsisten. UB sudah menyediakan tanah dan pupuk kampus di Palembang tinggal menyiram dengan ide segar agar pohon inovasi Indonesia berbuah lebat dan bisa dinikmati dunia.
UB mengajarkan satu hal penting kemajuan bangsa datang dari keberanian membuka diri untuk berkreasi, bukan sekadar mengikuti rutinitas lama. AI Talent Factory menunjukkan bahwa kampus bisa menjadi pusat kreativitas, memicu kolaborasi lintas daerah, dan menghasilkan IP lokal bernilai global.
Jika model ini direplikasi di Palembang dan seluruh Nusantara, dampaknya luar biasa, distribusi talenta digital merata, mahasiswa melek inovasi, dan ekonomi kreatif nasional meningkat signifikan.
Generasi muda Indonesia, baik di kampus negeri, swasta, maupun yang menimba ilmu di luar negeri, memiliki potensi sama kepintaran, kreativitas, dan semangat juang yang tak kalah dengan negara maju manapun.
Tinggal bagaimana kita menyediakan ruang, peluang, dan dorongan agar potensi itu mekar. Siapa tahu, satu ide sederhana dari mahasiswa Palembang bisa jadi produk AI yang mengubah cara orang bekerja, belajar, atau hidup di masa depan.
Kuncinya sekarang sadar dan adopsi filosofi UB kolaborasi, eksperimen, inovasi tanpa takut gagal. Seperti pepatah Jawa “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya”.
UB sudah menorehkan jejak karya kampus di Palembang dan seluruh Nusantara bisa ikut menorehkan sejarahnya. Indonesia tidak lagi sekadar menonton, tetapi aktif mencipta dengan kreativitas mahasiswa sebagai mesin penggerak utama.[***]