Tekno

Prabowo, Sabuga & Hilirisasi Otak, Saat Riset Jadi Bukan Sekadar Pajangan di Rak Laboratorium

ist

LAMPU Sasana Budaya Ganesa (Sabuga) yang kinclongnya mengalahkan kaca spion baru dicuci, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melangkah santai meninjau Pameran Hasil Riset dan Inovasi Industri di ajang Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025. Ini bukan pameran yang isinya sekadar robot joget atau poster warna-warni, melainkan etalase otak bangsa hasil jerih payah para peneliti, akademisi, dan industri yang mencoba membuktikan kalau riset bukan cuma hobi dosen yang tak berujung.

KSTI 2025 ini diinisiasi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek), yang tahun ini tampil seperti sutradara film laga mengumpulkan pemain dari lima unsur pentahelix: pemerintah, akademisi, industri, komunitas, dan media. Tujuannya jelas bikin peta jalan riset yang bukan cuma indah di PowerPoint, tapi juga nyambung ke pabrik, dermaga, dan meja makan rakyat.

Menterinya, Brian Yuliarto, bicara lantang, kita punya bahan baku melimpah. Masalahnya, bahan baku ini sering berhenti di level “dijual mentah”. Padahal, pepatah lama bilang “Kalau punya kelapa, jangan cuma jual batoknya” Hilirisasi dan industrialisasi adalah kunci, karena nilai tambah itu seperti bumbu rendang membuat semua jadi lebih lezat, bahkan di pasar global.

Pameran di Sabuga memamerkan inovasi mulai dari sepeda motor listrik EVITS, tablet DigITS, ventilator Covent-20, sampai tekstil fungsional dari serat rami yang siap menggantikan kapas. Kalau dulu kata “rami” cuma dikenal tukang tambang untuk mengikat karung, sekarang dia sudah naik kasta jadi bahan fesyen berkelas. Ada juga alat deteksi dini virus dengue, enzim industri ramah lingkungan, sampai pembersih fluks yang namanya mirip menu minuman kekinian Degostab dan Alfluks.

Kuncinya di sini adalah sinergi, tanpa itu, riset bisa bernasib seperti buku resep yang hanya dibaca tapi tidak pernah dimasak. Presiden Prabowo, lewat arahannya, ingin peneliti perguruan tinggi terjun langsung membangun ekonomi bangsa. Artinya, hasil riset tidak berhenti di jurnal internasional yang dibaca segelintir orang, melainkan masuk ke rak toko, katalog e-commerce, bahkan jadi kebanggaan ekspor.

Gelaran ini juga tidak cuma pamer barang, ada penandatanganan MoU, diskusi bersama peraih Nobel, hingga panel BUMN yang membahas masa depan delapan sektor strategis: energi, pertahanan, digitalisasi (AI & semikonduktor), hilirisasi dan industrialisasi, kesehatan, pangan, maritim, serta material dan manufaktur maju.

Semua ini dibungkus dalam ambisi besar menuju Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan di spanduk, tapi cita-cita agar bangsa ini berdaulat teknologi dan berdaya saing global.

Pesan moralnya sederhana negara maju bukan diukur dari banyaknya gedung tinggi atau mobil mewah, tapi dari kemampuannya mengubah ide jadi barang nyata, dan barang nyata jadi kesejahteraan rakyat. Seperti kata pepatah, “Ilmu tanpa amal ibarat padi tanpa ladang tak pernah jadi nasi.”

Kalau momentum seperti KSTI 2025 ini bisa dijaga, bukan mustahil suatu hari kita akan berhenti jadi pasar bagi teknologi asing. Kita bisa jadi produsen, penentu harga, bahkan trendsetter. Dan ketika itu terjadi, Sabuga bukan lagi sekadar gedung pameran di Bandung, tapi bisa dikenang sebagai titik di mana hilirisasi otak bangsa mulai berjalan serius dari ruang laboratorium, ke rak toko, hingga meja makan rakyat.[***]

Terpopuler

To Top