Sebuah nama yang panjang, memang. Tapi percayalah, ini bukan sekadar pelatihan biasa. Ini semacam Hogwarts-nya anak muda kreatif, tapi alih-alih belajar sihir, mereka diajar bikin game pakai Unity, kenalan sama AI, dan dibekali senjata pamungkas bernama sertifikat resmi dari Google dan Unity yang kalau diselipin di dompet bisa bikin HRD refleks ngundang wawancara meskipun belum kirim CV.
Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, yang pagi itu tampil seperti protagonis utama dalam game Simulator Pejabat Gaul, menyampaikan pidato yang lebih berapi-api dari kompor kosan. Dengan intonasi tenang tapi penuh tenaga dalam, beliau menyampaikan. “Ekonomi kreatif sebagai mesin pertumbuhan baru telah menjadi barometer perkembangan kreatif global…”
Bahasanya memang terdengar seperti password WiFi di kedutaan besar, tapi maksudnya jelas anak-anak muda yang selama ini dibilang cuma “main HP doang” itu sebenarnya sedang menabung masa depan.
Karena dalam visi Presiden Prabowo (yang bakal dicatat dalam sejarah sebagai Presiden yang open world vision-nya luar biasa), industri kreatif harus jadi lahan subur penciptaan lapangan kerja. Bukan kerja yang bikin bahu pegal dan gaji miring, tapi kerja yang bisa dibanggakan sama calon mertua.“Ini saya, Pak. Saya bukan nganggur. Saya pengembang gim. Sertifikat saya dari Google!”
Menurut laporan dari Yuzu (bukan buah), pasar gim Indonesia nilainya sudah 2 miliar dolar AS. Gede banget. Kalau diibaratkan, itu cukup buat beli kuota satu negeri selama setahun dengan bonus headset gaming RGB. Pemain gim aktif kita? 148 juta orang. Itu lebih banyak dari jumlah orang yang nonton sinetron jam tujuh malam.
Dan ironisnya, dari jutaan pemain itu, yang jadi pembuat gim masih segelintir. Ibarat desa yang penduduknya suka makan mie, tapi nggak ada yang bisa bikin mie. Nah, program inilah yang datang kayak ninja developer, ngajarin cara bikin mie instan versi digital alias gim.
Enam bulan pelatihan. Mandiri. Dikasih akses premium ke Unity. Belajar AI. Ada mentoring, magang, dan setelah tamat, peserta bisa dapet sertifikat dari Google dan Unity. Sertifikat ini semacam ijazah dari kampus dunia maya bergengsi. Bisa dibanggakan, bisa dipamerkan, bahkan bisa diprint dan dipigura buat dipajang di ruang tamu.
Targetnya? 500 pengembang gim lokal dengan standar global. Angka yang mungkin terdengar kecil, tapi ingat Mojang bikin Minecraft cuma pakai tim kecil. Siapa tahu salah satu dari 500 peserta ini jadi “Markus Persson dari Mojokerto”.
Dari pihak Google, hadir Karen Toa, yang menyampaikan pada 2023, pengembang Indonesia sudah meraup Rp2,14 triliun [wow..luar biasa.!!!] dari aplikasi di Google Play. Itu bukan receh, itu pundi emas. Ada 33.800 aplikasi aktif, dikembangkan oleh 10.400 developer Indonesia.
Artinya apa? Anak-anak bangsa bukan cuma bisa bikin stiker WA atau nonton reaction TikTok, tapi juga mampu bikin teknologi yang usable dan bisa dijual.“Kami percaya Indonesia punya potensi luar biasa dalam ekonomi kreatif digital,” ujar Karen, sambil mungkin dalam hati membayangkan kelak dunia main game “Legenda Roro Jonggrang The AI Awakens” buatan studio dari Cirebon.
Jago bikin gim
Acara peluncuran ini dihadiri banyak tokoh dari Google dan Kemenekraf. Nama-nama seperti Kunal Soni, Putri Alam, Agung Pamungkas, Shafiq Husein, hingga Deputi-deputi Kemenekraf yang nama jabatannya panjang tapi tugasnya satu memastikan anak muda nggak cuma jago main game, tapi juga jago bikin game.
Jadi, kalau selama ini orang tua bilang. “Main game terus, kapan suksesnya?”
Sekarang jawab aja. “Bentar lagi, Ma. Saya ikut pelatihan Google-Unity bareng Kemenekraf.”
Karena di dunia sekarang, yang bisa bikin virtual world, bisa mengubah real world. Dan lewat program ini, Indonesia nggak lagi sekadar pasar pengguna, tapi bisa jadi kiblat kreator.
Karena seperti kata pepatah versi game. “Barang siapa yang menanam coding, kelak akan memanen dollar dan prestasi.”
GGWP, Kemenekraf. GGWP banget. Karena kalau bicara soal sukses dari industri gim, dunia udah punya banyak contoh, seperti Korea Selatan, misalnya dulu dikenal karena drakor dan boyband, sekarang juga disegani karena developer-nya rajin bikin gim online yang bikin dompet gamer internasional auto kempes.
Atau Finlandia, negara dingin yang berhasil menghangatkan perekonomian lewat Angry Birds dan Clash of Clans dua gim yang lahir bukan dari markas alien, tapi dari garasi kreatif anak-anak muda berskill tinggi.
Kanada? jangan ditanya. Negara ini bukan cuma jago bikin maple syrup, tapi juga markas studio kelas dunia kayak Ubisoft yang melahirkan gim-gim sekelas Assassin’s Creed dan Far Cry. Bahkan Vietnam sempat bikin dunia heran lewat Flappy Bird, gim sederhana tapi mendunia. Saking viralnya, pemainnya lebih banyak dari jumlah motor di Jabodetabek.
Nah, Indonesia bisa seperti itu asal mau terus push rank, bukan cuma di game, tapi di ekosistem pengembangannya. Kita punya bakat, pasar, dan semangat. Yang penting, jalannya dibuka, fasilitasnya ada, pelatihannya jalan, dan… kuota internet tetap bersahabat.
Jadi, kalau negara-negara itu bisa sukses dari game, kenapa kita nggak?. Oleh sebab itu, tak salah jika peluncuran Google Play x Unity Game Developer Training ini jadi momen epik dalam sejarah ekonomi kreatif. Mungkin sekarang kita baru mulai dari level 1, tapi ingat semua pemain hebat pun dulunya cuma punya satu nyawa dan harapan.
Kalau ini diunggah di media sosial, dijamin bikin pembaca klik, senyum, dan… mungkin akhirnya ikut pelatihan. Jangan heran kalau nanti anak tetangga yang dulunya suka dicibir karena tiap hari nongkrong di warung kopi sambil ngoding, tiba-tiba muncul di berita teknologi sebagai CEO studio gim asal Indonesia yang baru diakusisi perusahaan global. Jangan-jangan, itu hasil dari pelatihan ini.