DULU, beli gorengan tinggal bilang “Bang, satu bakwan, satu tahu, sama ngutang lima ribu” Sekarang? Sebelum gorengan disentuh, pedagang sudah bilang “Scan dulu, Bang. QRIS-nya di dekat tabung gas”
Transformasi digital UMKM bukan lagi wacana. Sekarang, dari warung kopi sampai tukang pijat refleksi, semuanya udah mulai mengandalkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Satu kode buat semua transaksi. Praktis, cepat, dan (yang paling penting) gak ada kembalian permen!
Dulu, modal usaha itu ya meja, terpal, dan senyum ikhlas. Sekarang? Harus ditambah satu QRIS.
Dengan QRIS, pedagang tak perlu repot ngitung uang receh pakai air liur. Cukup satu kode QR yang bisa dibayar lewat Gopay, OVO, Dana, ShopeePay, sampai aplikasi dompet digital yang logonya belum sempat dihafal.
Menurut data Bank Indonesia, per Mei 2025 ini, pengguna QRIS telah menembus lebih dari 38 juta merchant, sebagian besar adalah UMKM, dari angkringan, lapak baju, sampai pedagang burung di pasar. Artinya, ekonomi rakyat jelata pun sudah mulai naik kelas, dari uang kertas ke teknologi nirkabel.
Banyak UMKM yang dulunya cuma jualan di pasar, sekarang juga ikut jualan lewat Instagram, WhatsApp, dan TikTok Shop. Bahkan tak jarang, nama tokonya berubah
Dari “Soto Mak Ndoro”jadi “@makndoro.soup.id” -biar lebih digital dan dapat follower.
Dengan kemudahan transaksi dan promosi digital, UMKM jadi lebih fleksibel. Misalnya:
-
Pembeli di Bekasi bisa beli sambal cumi dari Banyuwangi.
-
Pembeli di Palembang bisa pesan keripik pisang dari Medan.
-
Semua bisa dibayar pakai QRIS — tinggal scan, beres.
Bang Sugeng, pedagang wedang jahe keliling di Yogyakarta, awalnya skeptis sama QRIS.
Katanya, “Wong saya ndak ngerti hape canggih, gimana caranya QR itu?”
Tapi setelah diedukasi oleh Bank Indonesia dan komunitas UMKM digital, ia mulai mencoba. Sekarang? Dia naruh QRIS di termosnya. Tiap pembeli tinggal scan, minum, dan senyum.
“Lumayan, Mas. Kalau malam rame, nggak repot cari kembalian. Saya tinggal seduh, QR-nya yang kerja”
Tentu saja nggak semua semulus sinetron jam 7. Masih banyak tantangan seperti:
-
Sinyal lemah, apalagi di desa atau pinggiran kota. Scan QR bisa gagal karena sinyal ngumpet di balik bukit.
-
Literasi digital pedagang dan pembeli yang masih rendah. Masih ada yang takut QRIS itu jebakan batman atau “alat nyedot saldo”.
-
Perlu pelatihan berkelanjutan, agar pelaku UMKM bisa makin paham cara memanfaatkan digital marketing, manajemen stok, dan layanan pelanggan berbasis aplikasi.
QRIS, e-wallet, dan teknologi digital bukan lagi barang mewah. Mereka sudah masuk ke warung-warung kecil, gerobak mie ayam, sampai ke pangkalan ojek.
UMKM Indonesia mulai belajar pakai data, bukan cuma firasat.
Kita sedang menyaksikan sebuah revolusi dari nasi kucing ke jaringan satelit, dari karcis sobek ke QR yang bisa di-scan.
Dan siapa tahu, 5 tahun lagi, langganan angkringan kita udah bisa nerima pembayaran pakai retina mata. Tapi ya semoga gorengannya tetap dua ribu sebiji.[***]
Catatan: Bang Sugeng adalah tokoh fiktif dalam tulisan ini. Cerita disusun untuk tujuan edukasi ringan dan hiburan, tanpa bermaksud menyinggung pihak mana pun. Tulisan ini bukan advertorial, melainkan opini populer yang mengangkat fenomena digitalisasi UMKM.