Tekno

Asuransi Pintar, Data Terancam? Budaya Perusahaan Jadi Kunci

foto : komdigi

INDUSTRI asuransi kini sedang jatuh cinta sama AI, katanya biar cepat, biar efisien, biar tampak keren dan “pintar”. Tapi ya namanya juga cinta teknologi kadang bikin lupa risiko. Karena di balik AI yang katanya pintar, ada ancaman serius, data pribadi nasabah yang bisa bocor kapan saja.

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria mengingatkan bahwa di era kecerdasan artifisial (AI), potensi penyalahgunaan data pribadi di industri asuransi makin meningkat.

Menurutnya, teknologi AI memang makin banyak dimanfaatkan untuk menentukan premi, menilai klaim, hingga menjadi agen layanan pelanggan.

“Otomatisasi proses klaim dan layanan pelanggan dengan memakai teknologi AI juga dapat meningkatkan efisiensi. Namun, ada tantangan yang perlu kita antisipasi,” ujar Nezar dalam rilis Komdigi di  iLearn Seminar bertema Reinforcing Insurance Governance Through Data Management and PDP Alignment di Hotel Movenpick, Jakarta Pusat, Selasa (11/11/2025).

Ia menegaskan bahwa sistem AI membutuhkan data pribadi dalam volume besar untuk melatih model, yang otomatis meningkatkan risiko kebocoran data dan penyalahgunaan.

Lebih parahnya lagi, hasil perhitungan AI tidak selalu akurat. Data yang salah sedikit saja bisa bikin hasilnya bias. Nah, kalau biasnya sampai bikin klaim nasabah ditolak, bisa-bisa AI-nya yang pintar, nasabahnya yang pusing.

Sekarang bayangkan, eh…, maksudnya bukan dibayangkan tapi disadari, kalau AI salah baca data, bisa saja ada nasabah dianggap “berisiko tinggi”, padahal cuma karena alamatnya salah ketik. Yang tadinya mau klaim banjir, malah ditolak karena sistem mikir rumahnya di puncak gunung. Lah, gimana ceritanya?

Padahal Negara-negara canggih aja bisa bocor, apalagi kita, contohnya Amerika Serikat pernah geger gara-gara kasus Equifax, data jutaan warga lenyap begitu saja.

Selanjutnya Jepang, yang terkenal disiplin kayak jam tangan digital, pernah juga kecolongan data asuransi kesehatan. Bahkan Inggris? NHS-nya sempat dijebol hacker.

Nah, kalau mereka yang infrastrukturnya sekuat tembok baja bisa jebol, Indonesia yang kadang server-nya aja “maintenance terus” ya mesti lebih waspada.

Masalahnya, di kita ini, banyak perusahaan asuransi yang masih mikir pelindungan data pribadi itu cuma urusan hukum. “Yang penting patuh UU PDP, biar nggak kena sanksi,” katanya.

Padahal, seperti pepatah “Sekali air tumpah, tak bisa dikumpulkan lagi”. Data pribadi yang bocor nggak bisa dikumpulin kayak main puzzle. Begitu bocor, bisa ke mana-mana. Kadang ke dark web, kadang ke WA grup tetangga.

Wamen Nezar juga mengingatkan, pelindungan data itu bukan cuma soal kepatuhan hukum, tapi soal budaya perusahaan. Artinya, kesadaran menjaga data harus jadi DNA organisasi, bukan cuma pasang spanduk “Kami patuh UU PDP” di lobi kantor.

Budaya ini harus hidup, dari CEO sampai satpam yang jaga server. Kalau semua sadar, nggak ada lagi tuh password kantor yang isinya “admin123”.

Perusahaan yang cuma takut sanksi biasanya cuma fokus bikin dokumen formalitas. Tapi yang benar-benar punya budaya pelindungan data, mereka rutin audit keamanan, transparan ke nasabah, dan melatih karyawan agar ngerti cara jaga data pribadi. Bedanya kayak warung kopi yang rajin cuci gelas sendiri sama yang nunggu pelanggan protes baru dibersihin.

Lucunya, ada juga perusahaan yang merasa sudah aman cuma karena beli sistem AI mahal. Padahal, AI semahal apapun tetap bisa jadi bodoh kalau dikasih data yang salah.

Contohnya di luar negeri, ada AI yang menolak klaim pasien karena “dideteksi sudah meninggal dunia”, padahal orangnya masih hidup dan marah-marah di depan kantor. Nah lho, itu bukan error, itu dagelan versi digital.

Regulasi

Regulasi soal pelindungan data pribadi sudah ada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Bahkan sekarang sedang disusun aturan turunannya lewat Peraturan Presiden.

Tapi, seperti kata Wamen Nezar, hukum tanpa budaya cuma jadi pajangan. Kalau budaya datanya belum hidup, regulasi secanggih apapun nggak akan menolong.

Kita butuh perusahaan yang bukan cuma patuh pada aturan, tapi hormat pada data. Patuh itu karena takut sanksi, hormat itu karena sadar nilai. Karena di era digital ini, yang dijual bukan cuma polis, tapi juga kepercayaan. Sekali kepercayaan hilang, premi sebesar apapun nggak akan nutup kerugian reputasi.

Jadi, solusi bukan cuma bikin sistem makin canggih, tapi bikin manusia di dalamnya makin sadar. Perusahaan asuransi harus mulai membangun budaya pelindungan data dari dalam, rutin audit, edukasi staf, dan jujur ke nasabah soal bagaimana data mereka digunakan. Karena percuma AI punya IQ 180 kalau yang ngatur masih suka nyimpen file penting di flashdisk gratisan dari seminar.

Intinya, AI boleh pintar, tapi data harus lebih pintar dijaga. Karena di dunia digital, kebocoran data itu bukan soal “kalau”, tapi soal “kapan”. Bisnis asuransi yang bisa bertahan bukan yang paling cepat proses klaimnya, tapi yang paling dipercaya nasabahnya.

Oleh karena itu, jangan biarkan AI jadi lebih bijak dari manusia yang menciptakannya. Kalau mesin bisa belajar menghormati data, masa manusia malah abai?. Kalau itu sampai terjadi, ya siap-siap aja kita dengar berita kocak tapi miris “AI makin pintar, manusia makin ceroboh”.

Jadi, ketawa boleh, tapi sambil sadar, menjaga data pribadi itu bukan lelucon. Karena kalau bocor, yang ketawa terakhir biasanya bukan kita, tapi hacker-nya.[***]

Terpopuler

To Top