Tekno

“AI Pinter, Tapi Jangan Disuruh Ngaji-PR Tetap Butuh Rasa Manusia”

Komdigi/ist

KATA orang dulu, “sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu jatuh juga”. Nah, pepatah itu sekarang cocok banget buat teknologi canggih bernama Artificial Intelligence alias AI. Pintar sih pintar, tapi jangan dikira dia bisa gantiin rasa, apalagi hati.

Sekarang AI udah kayak kawan kantor baru yang nggak pernah ngeluh lembur, nggak minta THR, dan bisa nulis press release dalam 3 detik.

Dari nyusun siaran pers it, analisis data publik, bahkan sampai mantau sentimen netizen, semuanya bisa dia sikat. Tapi kata Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, jangan salah kaprah karena AI itu cuma asisten, bukan bos besar.

Dalam acara AI Masterclass: Shape the Future of Your Communication Strategy with AI, dilaman resmi komdigi,  Selasa (21/10/2025), Nezar bilang, “Kesuksesan PR masa depan bukan ditentukan seberapa cepat kamu pakai AI, tapi seberapa bijak kamu makai otak dan hati”. Nah, itu dia… yang terakhir itu, AI belum punya hati, apalagi AI tak bisa mengeluarkan air mata sedih…hehehe, apalagi mencium bau makanan yang sedap-sedap aja nggak bisa.

Makanya AI boleh canggih, namun manusia yang ggasih rasanya, Nezar bercerita bahwa banyak perusahaan PR sekarang udah ngandelin AI buat bikin laporan media, misalnya merancang kampanye komunikasi, bahkan buat monitoring sentimen publik. Tapi hasilnya, kalau nggak disuntik sentuhan manusia, rasanya kayak makan pempek tanpa “cuko”  hambar, bosku….

Memang AI bisa nulis kalimat rapi, tapi dia nggak tahu gimana cara bikin pembaca senyum, nyengir, atau baper, di dunia PR, kata Nezar, “To tell the story itu soal empati, soal ngerti siapa yang kita ajak ngomong”. Nah, empati itu cuma bisa lahir dari manusia yang punya rasa, bukan dari algoritma yang hafal kosakata.

Bahkan, kalau gak diteliti lagi, kadang malah AI suka ngelantur, bikin fakta halu, nah.,tahu-tahunya dia nyebut artis jadi menteri, atau bilang laut bisa terbakar. kan, gawat nggak nyambung..

Oleh karena itu,  Nezar mewanti-wanti, sebaiknya jangan asal comot hasil AI tanpa mikir, PR itu kerjaan yang lidahnya tajam tapi hatinya lembut, jika  salah ucap dikit, bisa viral seharian, waduh gawat kan!, secanggih teknologi pasti ada lemahnya juga.

Selain itu juga, AI itu kayak pisau dapur, misalnya di tangan koki, bisa jadi alat bikin sate terenak di dunia, tapi di tangan yang salah, bisa jadi bahaya. Maka dari itu, Nezar bilang, praktisi komunikasi harus punya etika, literasi digital, dan kemampuan berpikir kritis.

“AI bukan buat ngambil kerjaan kita,”pesan Nezar, tapi buat nguatin strategi kita, intinya, manusia tetap jadi nahkoda, AI cuma jadi mesin di bawah geladak. Kalau semua diserahin ke mesin, jangan kaget kalau nanti siaran pers bunyinya kayak skripsi tanpa humor.

Di sisi lain, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menambahkan Garuda Spark Innovation Hub, ini semacam dapur digital Nasional  dan menargetkan lahirnya dua juta wirausahawan teknologi dari Sabang sampai Merauke.

Coba pikirkan, bukan cuma di Jakarta dan Bandung, tapi nanti sampai ke Aceh, Medan, dan daerah lain. Tiap hub ini bakal jadi tempat anak muda ngumpul, kolaborasi, dan bikin inovasi.

Kata Meutya, tujuannya tak lain biar semangatnya from spark to impact , dari percikan jadi api unggun, program ini juga tujuannya, bukan cuma ngasih ruang kerja, tapi juga pelatihan, pendampingan, sampai akses ke investor.

“Jadi, bukan cuma startup di kota besar yang dapat spotlight, tapi juga anak daerah yang punya ide brilian tapi belum punya panggung,”jelasnya.

Menkomdigi Meutya bilang lagi, Garuda Spark ini bentuk nyata visi Presiden Prabowo, biar teknologi nggak cuma jadi urusan startup elite, tapi jadi kekuatan rakyat. “Teknologi harus memberdayakan rakyat,” paparnya.

Maksudnya bukan cuma bikin kita sibuk scroll, namun juga produktif dan berdaya, oleh sebab itu, melalui  Garuda Spark, Kemkomdigi juga mau nyambungin dunia startup sama birokrasi lewat program Digital Government Clinic.

Tujuannya? biar layanan publik nggak lagi lama kayak nungguin dosen bimbingan, tapi cepat, cerdas, dan manusiawi.

Meutya berpesan, inovasi nggak boleh berhenti di startup, tapi juga harus hidup di dalam birokrasi. Nah, ini dia… baru revolusi digital yang ngena ke rakyat, bukan sekadar jargon di panggung konferensi.

Kalau Nezar ngomong soal AI yang butuh etika, Meutya bicara soal teknologi yang butuh kolaborasi, maka dua-duanya satu napas, yakni manusia tetap di tengahnya dan  teknologi bisa bantu, tapi bukan jadi tuhan kecil yang ngatur segalanya.

Jadi, kita nggak mau masa depan komunikasi diisi robot yang ngomong “selamat pagi” tanpa ngerti siapa yang disapa dan tak punya rasa. Kita butuh komunikasi yang punya rasa  yang tahu kapan bercanda, kapan serius, dan kapan harus minta maaf.

Akhirnya, baik AI maupun Garuda Spark ngajarin satu hal penting setidaknya, masa depan digital bukan soal mesin yang makin pintar, tapi manusia yang makin bijak, sementara teknologi itu hanya cuma alat,  yang bikin ia bermanfaat atau berbahaya adalah siapa yang makainya.

Kayak kata pepatah,  “AI bisa bikin caption, tapi cuma manusia yang bisa bikin koneksi”, jadi ya, sekali lagi, biar aja AI nulis cepat, tapi biarkan manusia tetap yang menulis dengan hati.

Karena kalau semuanya diserahkan ke mesin itu, jangan salahkan kalau dunia komunikasi nanti terasa seperti pidato tanpa tepuk tangan nyaring tapi sepi rasa, nggak ada canda dan rasa.[***]

Terpopuler

To Top