– Dari Bangsa Tukang Top-Up ke Bangsa Tukang Coding
COBA bayangin adegan ini, di sebuah warung kopi, ada dua kubu abadi, antara lain kubu push rank dan kubu nongkrong nunggu WiFi gratis. Yang satu duduk serius dengan jempol lincah kayak ayam jago aduan, yang satunya lagi pura-pura baca skripsi padahal layar HP-nya penuh notifikasi gacha gagal. Itulah potret kecil bangsa ini 150 juta orang main game, tapi yang bikin game? Bisa dihitung jari pakai kalkulator jadul.
Ibarat pesta hajatan, kita rame-rame datang, makan, joget, bahkan ada yang rela minjem sandal tetangga buat tampil gaya, tapi yang masak? Paling cuma satu dua orang. Nah, developer lokal itu posisinya kayak tukang masak hajatan, sibuk ngulek sambel, tapi tamu lebih heboh selfie sama tumpeng.
Indonesia ini memang top-up banget, dari pulsa, paket data, sampai diamond Mobile Legends, semua dilibas, gamer kita rela hemat lauk sehari-hari demi bisa beli skin baru. Nasi tempe masih oke, asal skin hero kesayangan kinclong kayak motor baru dicat.
Masalahnya, top-up doang nggak bikin kita naik kelas, sama kayak kalau hidup cuma nabung stiker Indomie tapi nggak pernah punya pabrik Indomie, kita jago beli, tapi nggak jago bikin.
Pepatah lama bilang, “Kalau rajin menabung, lama-lama jadi bukit”. Tapi pepatah gamer kita versi baru “Kalau rajin top-up, lama-lama jadi bokek”
Di balik layar, sebenarnya ada para developer lokal yang rajin ngoding, mereka bikin game horor, game edukasi, sampai game kocak ala-ala simulasi. Tapi seringnya, posisi mereka di mata gamer lokal itu kayak NPC (Non-Playable Character) di game ada, tapi nggak diperhatiin.
Misalnya, ada developer bikin game dengan riset sejarah kerajaan Sriwijaya, plotnya keren, ada kapal layar, ada strategi perang, bisa jadi Civilization rasa Palembang. Tapi pas dipromosiin, yang ditanya gamer Indonesia cuma “Bang, ada battle pass-nya nggak?”
Waduh, ini game edukasi, bro, bukan gacha karakter.
Bapak Gamer (40 tahun): “Nak, cepet isiin diamond ML, bapak mau push Mythic!”
Anak Developer (22 tahun): “Pak, mending support game buatan aku, lagi bikin prototipe, lho.”
Bapak: “Game kamu ada skin Gundala nggak?”
Anak: “Nggak, Pak. Tapi ada fitur belajar sejarah Majapahit.”
Bapak: “Ah, mending bapak nonton sinetron kolosal aja.”
Begitulah kira-kira, developer lokal jadi kayak pedagang sayur di pasar yang teriak-teriak nawarin kangkung segar, sementara pembeli lebih milih beli mi instan di minimarket.
Kalau Indonesia itu warung makan, pembelinya bejibun tiap hari, sampai antrean kayak jemaah haji, namun tukang masaknya cuma satu dua orang, itu pun sering dimaki karena kehabisan bahan, sementara bahan makanan mewah daging wagyu, salmon Norwegia malah diimpor.
Begitu juga industri game kita gamer banyak, tapi developer masih ngos-ngosan cari modal, kalau nggak segera dibenahi, lama-lama developer lokal bisa pindah profesi jadi tukang service HP, karena lebih cepet balik modal.
Padahal, kalau serius digarap, harta karun kita banyak banget, dari kisah mistis kuntilanak sampai mitos Danau Toba, semua bisa jadi bahan game kelas dunia. Bayangin bule main game dengan misi “Kabur dari Warteg Hantu,” atau RPG “Prajurit Majapahit vs Alien Mars” Dijamin unik, dan dunia bakal bilang “Wow, ini Indonesia banget!”.
Tapi syaratnya, ekosistem harus dikuatin. Jangan cuma developer disuruh kreatif, tapi modal dan dukungan nol besar, ibarat petani disuruh panen jagung, tapi dikasihnya cangkul patah sama lahan kering. Ya hasilnya jelas zonk.
Kita perlu sadar, bangsa besar bukan cuma bangsa yang punya gamer banyak, tapi bangsa yang bisa bikin game sendiri, Kalau kita terus bangga jadi “pasar nomor satu Asia Tenggara,” ya sama aja kayak orang kampung pamer sawah luas tapi hasil panennya malah dijual semua ke tetangga.
Bangsa ini harus naik level dari top-up diamond, jadi top-up developer lokal, dari konsumen, jadi produsen, dari tukang push rank, jadi tukang push ekonomi kreatif.
Hari ini, kita boleh bangga dengan 150 juta gamer, tapi kebanggaan itu jangan jadi selimut tidur. Kita harus bangun, melek, dan mulai berpikir berapa banyak dari 150 juta itu yang bisa diajak bikin, bukan cuma main?
Kalau semua energi cuma habis buat ngejar skin, maka developer kita akan terus jadi “pemain cadangan” di industri global. Tapi kalau ekosistem dibangun, gamer didorong jadi kreator, dan masyarakat diajak hargai karya lokal, maka kita bisa berharap suatu hari nanti bule-bule top-up ke game buatan Indonesia.
Dan ketika hari itu tiba, pepatah baru pun lahir “Siapa yang menanam coding, dia yang menuai cuan”
Sampai saat itu, ingatlah bangsa ini jangan puas jadi tukang top-up, tapi harus jadi tukang bikin game, karena masa depan bukan milik yang punya skin, tapi milik yang punya server.[***]