Artikel ini tersedia dalam dua bahasa, versi Bahasa Inggris tersedia di bawah setelah garis pemisah.
DI tengah daun sawit yang nyaris tak sempat gugur, karena angin pun segan mampir, tiba-tiba terdengar suara anak kecil mengeja
“A… Ba… Ta… Tsa…”
Bukan sulap, bukan sihir, itu bukan bunyi jangkrik lapar, tapi suara masa depan yang mulai dibentuk di SDIT At-Tibyan, sebuah sekolah dasar Islam terpadu yang baru saja resmi berdiri di Desa Dawas, Kecamatan Keluang, Kabupaten Musi Banyuasin.
Kalau biasanya anak-anak desa disuruh jaga kebun, ini justru mereka disuruh jaga hafalan, kalau biasanya orang tua mikir, “Sekolah dekat mana?”, sekarang bisa mikir, “Sekolah ini dekat ke surga atau nggak?”
Boleh dibilang, SDIT At-Tibyan ini ibarat rebung yang tumbuh di antara tunggul sawit. Kecil, tapi lentur dan penuh harapan. Di tempat yang orang kota mungkin cuma lihat di Google Maps, di sinilah sekolah ini berdiri. Bukan gedung mewah, tapi hati yang mewah. Bukan kursi empuk, tapi cita-cita yang tegak lurus ke langit.
KH Syarofi, pimpinan pondok, menyebutnya sebagai bentuk ikhtiar.
“Biar anak-anak sini gak cuma bisa motong buah sawit, tapi juga bisa memetik ayat satu-satu dari mushaf,” katanya dengan gaya yang tenang, tapi menusuk sanubari.
Ini bukan soal papan nama sekolah atau jumlah siswa yang baru 38. Ini tentang keberanian menanam benih di tanah keras.
Seperti pepatah “Setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya kembali juga ke kubangan”. Oleh karena itu, setinggi-tinggi harapan orang tua, tetap ingin anaknya kembali pada nilai.
Dan siapa bilang anak desa tak bisa bersaing?, justru dari sinilah biasanya muncul kejutan, karena seperti kata pepatah nenek kita dulu, “Batu kerikil di ladang kadang lebih tajam dari mata pedang”
Mereka belajar Qur’an, belajar hidup, belajar mengenal huruf dan mengenal Tuhan. Apa tidak manis hidup itu?
Kalau sekolah kota kadang jadi pabrik nilai ujian, sekolah desa ini jadi rumah nilai kehidupan.
Aan Cipta Mandiri, anggota dewan yang bantu urus izin sekolah ini, pantas kita ucapkan terima kasih. Tapi lebih dari itu, kita harus ucapkan terima kasih pada orang tua, guru, dan anak-anak yang sudah berani mimpi di tengah kebun, di tengah ketidakpastian.
Karena pendidikan itu seperti menanam tebu, awalnya pahit dirawat, akhirnya manis dipanen.
Dan seperti kata motivator favorit kita, ya kita sendiri “Kalau kamu tak bisa sekolah di Istana, buatlah sekolahmu jadi tempat yang bisa mengantar anak-anak masuk Surga”.
SDIT At-Tibyan mungkin baru berdiri, mungkin belum punya lapangan basket, belum ada kantin, belum ada tempat parkir motor guru yang rapi. Tapi sekolah ini sudah punya satu yang sangat penting semangat untuk tidak menyerah pada keadaan.
Mereka tidak menunggu semua sempurna, baru mulai, mereka mulai dari yang ada dengan doa, dengan Qur’an, dan dengan cinta.
Dan kita semua yang baca ini, yang tahu ceritanya, yang masih bisa merasa haru dan lucu di waktu bersamaan harus percaya satu hal “Masa depan bangsa ini bisa dimulai dari satu kelas kecil di tengah sawit. Asal ada guru, ada murid, dan ada harapan”.
This article is bilingual. English version starts here
GB, EDUCATION: A School in the Palm Fields, and a Heart Full of Qur’an: Between Sugarcane, Surahs, and Rural Dreams
AMID the vast palm oil plantations where even the wind hesitates to blow, a soft voice breaks the silence:
“A… Ba… Ta… Tsa…”
No, it’s not a lost jungle chant. It’s the voice of the future slowly forming inside SDIT At-Tibyan, a newly inaugurated integrated Islamic elementary school in Dawas Village, Keluang District, Musi Banyuasin.
While most village kids are told to watch over the farm, these ones are watching over their Qur’an memorization. And where most parents ask “Where’s the nearest school?”, now they can ask, “Is this school leading my kid to heaven?”
SDIT At-Tibyan is like a bamboo shoot sprouting between stumps of oil palm. Small, but flexible and full of promise. Forget shiny buildings and luxury chairs this is a school of determination and sky-high dreams.
KH Syarofi, the head of the At-Tibyan Islamic Boarding School, calls it a sacred effort.
“So these kids don’t just harvest palm fruits, but also harvest verses,” he said calmly, with a smile that could soften stone.
This isn’t about a fancy signboard or having 38 students. It’s about courage the courage to plant hope in hard soil. Because as the old proverb goes “No matter how high the crane flies, it returns to the swamp”
Likewise, no matter how high the parents’ hopes, they want their children grounded in values.
Who says village kids can’t compete? Often, surprises come from the smallest corners. Like grandma used to say,
“Pebbles in the field can be sharper than any sword”
These children learn the Qur’an and learn life. They learn to read letters and recognize the Creator. What could be sweeter?
If urban schools are sometimes factories of grades, this rural school is a home of life values.
Special thanks to Mr. Aan Cipta Mandiri, the local lawmaker who helped smoothen the licensing. But above all, let’s thank the brave parents, teachers, and students who dared to dream in the middle of oil palms, in the middle of uncertainty.
Because education is like planting sugarcane: bitter to manage at first, sweet to harvest in the end.
And as our favorite self-made motivator once said (yes, it’s us) “If you can’t study in a palace, make your humble school a place that leads children to paradise”
SDIT At-Tibyan may be new. It may lack a basketball court, a snack bar, or a fancy motorcycle parking lot. But it has one thing money can’t buy the courage to begin.
They didn’t wait for perfection.
They started with what they had prayer, Qur’an, and love.
And all of us who read this, who feel it, who can laugh and cry in the same breath must believe this “The future of this country might begin in a single, humble classroom among palm trees as long as there are teachers, students, and hope”.[***]