SUMSELGLOBAL

Dua Sahabat dari Asia Datang ke Sumsel, Tanam Asa, Menuai Swasembada!

ist

Artikel ini disajikan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris. Scroll ke bawah untuk membaca versi bahasa Inggris.[This article is available in both Indonesian and English. Scroll down for the English version]

PAGI kemarin  langit Palembang masih malu-malu, awan belum sepenuhnya bubar, tapi semangat di Asrama Haji sudah cerah sejak awal. Bukan karena ada pengajian akbar atau lelang durian, melainkan karena dua tamu penting dari Asia PT Melaka dan PT Changfa Group datang bersilaturahmi ke Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru.

Mereka tidak datang membawa oleh-oleh khas luar negeri, tapi menawarkan sesuatu yang lebih penting teknologi dan kerja sama untuk mendukung Sumsel dalam mencapai cita-cita besar bernama Swasembada Pangan Berkelanjutan.

Mendengar itu, hati kita boleh saja berdebar-debar seperti mau panen perdana. Tapi tentu, harapan harus diiringi dengan kerja nyata, karena seperti kata petuah petani tua di Ogan Ilir, “Kalau mau panen besar, jangan cuma banyak bicara. Cangkul dulu yang dalam”.

Gubernur Herman Deru pun menyambut baik kolaborasi ini, dengan luas lahan sawah mencapai 519.000 hektare, Sumsel punya modal besar untuk naik kelas dari sekadar lumbung regional menjadi lumbung nasional atau bahkan jadi laboratorium pertanian tropis dunia. Apalagi, saat ini produksi gabah Sumsel bisa tembus 3 juta ton. Itu sudah prestasi, tapi masih bisa lebih kalau pupuk, benih, dan alsintan betul-betul tepat guna dan tepat waktu.

PT Changfa dari China dikenal sebagai perusahaan yang jago membuat alat pertanian modern. Sementara PT Melaka punya pengalaman kerja sama multilateral di sektor pangan dan pupuk. Kalau mereka masuk ke Sumsel bukan hanya bawa proposal, tapi juga turun ke sawah dan duduk bareng penyuluh, maka ini bukan sekadar tamu asing mereka bisa jadi sahabat petani.

Tapi… ya, tetap ada tapinya…..

Kolaborasi teknologi tidak akan berhasil kalau akar masalah klasik belum diselesaikan, salah satunya masih menjadi kendala klasik, yakni distribusi pupuk subsidi yang belum merata, data petani yang belum sepenuhnya akurat, hingga kesiapan penyuluh yang masih tambal sulam.

Petani kita bukan tidak pintar, mereka hanya butuh sistem yang adil dan dukungan yang hadir sebelum musim tanam, bukan setelah panen gagal.

Apa gunanya traktor bisa bajak 6 hektare per hari kalau petaninya masih kesulitan cari pupuk ke kios tetangga? Jangan sampai kita punya teknologi dari luar, tapi sistem dalam negeri masih tertinggal, seperti sepatu kanan dan sandal kiri.

Maka, kehadiran PT Melaka dan Changfa ini setidaknya bukan hanya menjadi proyek seremoni, tapi momentum evaluasi bersama.

Beberapa daerah sudah membuktikan Sragen misalnya, mampu menerapkan distribusi pupuk digital berbasis KTP dan kartu tani. Di Thailand, sistem penyuluhan pertanian terkoneksi langsung dengan rantai distribusi pupuk tanpa perlu 7 tandatangan hanya untuk 2 karung urea.

Sumsel bisa belajar dari mereka, lalu menyesuaikan dengan kearifan lokal, jangan sampai teknologi canggih malah bikin petani bingung, seperti petani muda yang disuruh pakai aplikasi tapi kuota HP-nya nggak ada.

Jika kolaborasi ini dikelola dengan serius, kita bisa memimpikan sesuatu yang lebih dari sekadar angka statistik petani yang untung, lahan yang produktif, dan Sumsel yang benar-benar swasembada, bukan hanya dalam kata-kata.

Tapi mari kita jaga bersama: jangan biarkan harapan ini jadi hiasan di baliho, tapi bawa sampai ke lumpur sawah, ke bahu para petani yang lelah, dan ke dapur rakyat kecil yang menanak nasi dari hasil panennya sendiri, karena swasembada sejati bukan soal data panen, tapi ketahanan perut rakyat dan martabat petani.

Saat dua sahabat Asia datang membawa bantuan, mari kita pastikan bahwa Sumsel juga siap menyambutnya dengan sistem yang rapi, niat yang tulus, dan kerja yang berpihak pada petani. Jangan sampai kita heboh di ruang pertemuan, tapi sunyi di ladang yang menanti perubahan.

Karena petani itu tidak butuh janji besar, mereka hanya ingin pupuk yang cukup, harga yang adil, dan panen yang bisa dibanggakan.[***]

——————————————————————————————————————————–

Two Friends from Asia Visit South Sumatra: Sowing Hope, Harvesting Food Sovereignty

THE morning sky in Palembang was still a bit shy. The clouds lingered lazily, but the atmosphere at the Hajj Dormitory was already bright and hopeful. It wasn’t because of a culinary festival or a government roadshow -no, this was something bigger.

Two key guests from Asia had arrived PT Melaka and PT Changfa Group. Their purpose? Not tourism, not trade talks, but something far more vital  to collaborate with South Sumatra in achieving sustainable food self-sufficiency through agricultural innovation.

Governor Herman Deru welcomed them warmly, hoping this partnership would not only stay on paper but take root in the real fields of South Sumatra. As one wise farmer in Ogan Ilir says, “If you want a good harvest, don’t just talk big-dig deep first.”

With over 519,000 hectares of rice fields producing around 3 million tons of dry milled rice, South Sumatra is already a major food producer. But the dream is bigger. With the right tools quality seeds, modern machinery, and reliable input supply the region can become a true national food basket, and possibly even a model for tropical agricultural development.

PT Changfa, a Chinese company well-known for agricultural machinery, and PT Melaka, with its expertise in agricultural networks and fertilizer supply, are not just “foreign investors.” If they engage with the farmers, extension workers, and local leaders, they could become real partners in progress.

However… yes, there’s always a “however.”

Partnerships, no matter how promising, won’t work if our local systems are still tangled inaccurate farmer data, uneven fertilizer distribution, and under-equipped extension services.

Farmers in South Sumatra are not lacking in skill or will. They just need support systems that work before planting season, not crisis-response after crop failure. What’s the use of a high-powered tractor if the farmer still has to borrow fertilizer from the neighbor?

That’s why this international collaboration should be seen not just as investment but also as a moment of self-reflection.

Regions like Sragen in Central Java have already implemented KTP-based fertilizer distribution systems effectively. In Thailand, local extension workers coordinate directly with input distributors through an integrated platform.

South Sumatra can learn from such cases but must also adapt solutions to local wisdom. Technology should empower, not confuse. Let’s not create apps farmers can’t use because they’ve run out of mobile data or signal.

If this collaboration is handled seriously, we can hope for more than just good statistics. We can imagine Profitable farmers, productive fields, and A South Sumatra that truly feeds its people not just in slogans, but in real, everyday meals.

Let’s make sure this partnership doesn’t become another line in a press release or a photo op on social media. It must reach the muddy boots of farmers, the backs that bend in the sun, and the family kitchens that cook rice with pride.Because real food sovereignty isn’t just about yields it’s about dignity, independence, and justice for the ones who feed us all.

As these two Asian partners arrive with innovation and intention, let us prepare ourselves with clean systems, strong community support, and clear commitments. Farmers don’t ask for much. They just need timely inputs, fair prices, and a harvest they can count on.[***]

Terpopuler

To Top