SUMSELGLOBAL

Ketika Emak-emak Berkebaya Lebih Heboh dari Fashion Week

ist

KALAU dunia ini sedang panas-panasnya oleh perang, politik, dan tagihan listrik, maka pemandangan di halaman Kantor Gubernur Sumsel Minggu pagi kemarin ibarat es batu di dalam teh manis menyejukkan, menggembirakan, dan penuh senyum manis tanpa gula tambahan.

Ratusan perempuan berkebaya datang seperti angin segar dari pegunungan, membawa aroma nostalgia dan cita rasa budaya yang nyaris dilupakan. Biasanya halaman kantor dipenuhi mobil dinas dan wajah serius, kemarin pagi semuanya berubah jadi panggung modis bertabur keanggunan.

“Busana boleh jadul, tapi pesonanya awet seperti lauk rendang di kulkas dua minggu,” celetuk seorang peserta sambil merapikan sanggulnya yang mirip tumpeng mini.

Kegiatan ini bukan sekadar pamer kebaya, ini adalah parade perlawanan terhadap seragam-seragam fast fashion yang tiap minggu ganti tren.

Di zaman ketika daster sablon unicorn bersaing ketat dengan hoodie korea, kebaya datang dengan anggunnya sambil bilang, “Aku tak lapuk dimakan zaman, Dek”

Kota Palembang sendiri mengirim 25 peserta, Ketua Dharma Wanita Persatuan Kota Palembang, Ida Rodhiyani, bilang, “Kebaya itu simbol keanggunan perempuan Indonesia”. Betul, Bu. Kebaya itu kayak cinta pertama klasik, melekat, dan tak tergantikan.

Lalu muncullah Panji Cahyanto dari istana Sumsel, eh, maksudnya dari Staf Ahli Gubernur, dengan penuh khidmat (tapi senyumnya mirip habis lihat diskon sepatu), ia bilang bahwa tanggal 24 Juli dipilih sebagai Hari Kebaya karena dulu, Kongres Perempuan Indonesia ke-10 diselenggarakan pada hari itu, dan semua perempuan datang pakai kebaya.

Bahkan Bung Karno pun hadir langsung, bayangkan, suasananya mungkin kayak pertemuan PBB tapi versi emak-emak Indonesia anggun tapi tegas.

Dan lebih dari itu, sejak 4 Desember 2024 lalu, kebaya resmi diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Artinya, selain soto dan batik, kebaya sekarang sah dan wajib dipamerkan di level dunia. Jadi jangan malu kalau di luar negeri ditanya “What do Indonesian women wear?” Jawab saja, “Kebaya, darling. It’s like haute couture, but with sambal”.

Parade ini bukan lomba busana, tapi selebrasi identitas. Ada kebaya kutubaru, encim, lurik, sampai kebaya bordir yang kayaknya dijahit dengan kesabaran level malaikat.

Warnanya? Dari pastel kalem kayak sore di Lembang, sampai merah menyala seperti semangat emak-emak rebut diskon minyak goreng.

“Kebaya itu seperti pelukan budaya,” kata seorang peserta dari OKU Timur, “memeluk kita dengan sejarah, tapi tetap membuat kita tampak elegan meski dompet tipis”

Dalam parade ini, setiap langkah para perempuan berkebaya seolah bilang “Kami anggun, kami kuat, dan kami nggak perlu endorsement buat jadi trending topic!”.

Dan benar kata pepatah, “Wanita ibarat kebaya, makin tua makin berkelas, makin paham cara berdiri tegak meski hak tinggi patah”.

Motivasi dari Tokoh “Jangan pernah meremehkan kekuatan perempuan berkebaya. Di balik payet dan brokatnya, tersembunyi keteguhan seperti baja” – Anne Avantie, desainer kebaya legendaris.

Di tengah arus zaman yang kadang bikin kita pengin pensiun dini dari kehidupan, kebaya datang mengingatkan bahwa keindahan dan kekuatan bisa jalan bareng, seperti teh dan susu beda rasa tapi satu tujuan bikin hidup lebih manis.

Kalau saja dunia ini bisa sedikit meniru parade kebaya kemarin, mungkin perdamaian bakal lebih mudah diraih. Karena di balik sulaman benang itu, ada semangat yang tak bisa didekap oleh waktu semangat perempuan Indonesia yang anggun, tangguh, dan selalu punya gaya.[***]

———————————————————————————————————————————

“Move Over Fashion Week, Here Come the Kebaya Queens!”

WHEN the world feels too noisy with politics, conflict, and unpaid bills, what happened on Sunday morning at the South Sumatra Governor’s Office felt like a warm hug from grandma wrapped in lace. Sweet, comforting, and timeless.

Hundreds of women in kebaya gathered like a moving painting. It was elegance in motion, tradition on parade, and a gentle protest against fast fashion and its forgetfulness.

“Kebaya may look vintage, but its charm lasts longer than my grandma’s rendang in the freezer,” joked a participant as she adjusted her bun that resembled a mini rice cone.

This event wasn’t just about showing off embroidery. It was about showing up for heritage. Palembang sent 25 participants, led by the always-elegant Ida Rodhiyani who said, “Kebaya is the symbol of Indonesian women’s grace.”

Mr. Panji from the Governor’s staff reminded the crowd that July 24 is now National Kebaya Day, rooted in the historical Women’s Congress of 1964. And as of December 4, 2024, kebaya is officially recognized by UNESCO. Take that, Paris Fashion Week!

And if someone abroad asks you, “What do Indonesian women wear?” Just smile and say, “Kebaya, darling. It’s like couture, but with heart and sambal”

Each step in the parade whispered, “We are elegant, strong, and we don’t need viral challenges to trend”

Words of Wisdom”Never underestimate a woman in kebaya. Beneath those beads lies steel”- Anne Avantie

Kebaya is more than fabric. It’s a statement of pride, a symbol of strength, and proof that tradition doesn’t need to shout to be powerful. Let us walk with pride, wrapped in our kebaya and our stories.

Because in the end, nothing brings peace like a room full of graceful women in lace, laughing, walking, and reminding us all what elegance truly means.[***]

Terpopuler

To Top