ADA tiga hal yang konon bisa menyatukan umat manusia lintas batas dan kasta musik, makanan, dan olahraga. Musik bikin orang India berjoget di sawah, makanan bikin orang Korea bisa akur sama tetangga saat makan kimchi bareng, dan olahraga? Nah, ini yang paling dahsyat olahraga bisa menyatukan kawan dan lawan hanya dengan satu bola. Bahkan bola kecil seukuran mangkok bakso: bola tenis.
Begitulah yang terjadi di Sekayu, ketika dua kekuatan besar dalam dunia tenis Sumsel PELTI Musi Banyuasin dan PELTI Prabumulih bertemu dalam tajuk “Silaturahmi Melalui Olahraga”.
Mereka tidak sedang bertanding untuk rebut medali emas SEA Games, mereka juga tidak sedang memperbutkan kontrak endorsement raket seharga Avanza. Mereka cuma ingin saling menyapa lewat ayunan raket dan keringat persahabatan.
Dalam tradisi kita, silaturahmi sering diidentikkan dengan makan-makan ketupat, rendang, dan sirup merah. Tapi di sini, yang dihidangkan bukan nasi minyak atau pempek lenjer, melainkan ace serve dan smash kilat.
“Olahraga itu bukan sekadar keringat, tapi juga cara kita membangun jaringan sosial yang sehat,” kata Letkol Kav Fredy Christoma, Dandim 0401/Muba yang ikut memeriahkan acara. Bayangkan, seorang komandan tentara bersedia menukar seragam loreng dengan baju olahraga dan bertanding demi persahabatan. Itu seperti Hulk jadi penyiar radio langka tapi menggetarkan.
Kehadiran beliau mewakili Bupati Muba juga menjadi pertanda penting: bahwa pemerintah dan TNI siap turun ke lapangan bukan hanya saat reses dan rakor, tapi juga saat bola tenis sedang loncat-loncat di antara garis ganda.
Menurut Dr. H. Yusman Yasir, Ketua PELTI Muba, pertandingan ini bukan hanya soal menang kalah. Ini soal kerja sama, solidaritas, dan membangun ekosistem olahraga yang sehat. Ia seperti sedang menyusun blueprint masa depan yang tidak hanya terdiri dari lapangan tenis yang licin, tapi juga jiwa sportif yang lentur.
Usman Fitriansyah dari PELTI Prabumulih pun setuju. Baginya, pertandingan ini semacam “bubur ayam tanpa diaduk” semua rasa bisa tetap terasa kalau kita sepakat sejak awal soal porsinya.
Bahkan menurut Suharto yang barangkali bukan Presiden RI, tapi Presiden Hati Tenis Sumsel kegiatan seperti ini bisa memacu semangat melahirkan bibit unggul. Iya, bibit unggul. Karena dalam tenis maupun hidup, bibit unggul bukan hasil sulap, tapi hasil dari latihan, persahabatan, dan nasi yang cukup.
Lihat saja Wimbledon di Inggris. Turnamen elit itu selalu diawali dengan sesi friendly, di mana pemain top dunia seperti Federer atau Serena saling lempar senyum sebelum saling lempar bola. Olahraga elit, tapi tetap ramah.
Atau, mari kita tengok ke Jepang, di mana olahraga sekolah seperti tenis meja bahkan dijadikan alat untuk membentuk karakter. Di sana, murid yang rajin latihan raket dipercaya bakal jadi suami yang rajin nyapu.
Bahkan di Islandia, negara kecil yang pernah bikin kejutan di Piala Dunia, olahraga dipakai sebagai alat penangkal kriminalitas. Mereka bikin program “Football for Peace”, di mana anak-anak dari keluarga kurang mampu diajak bermain bola setiap sore. Kriminal turun, prestasi naik, hati senang.
Seperti kata legenda bulutangkis Indonesia, Alan Budikusuma “Olahraga bukan hanya soal teknik dan fisik. Tapi soal disiplin, kerja keras, dan rasa hormat pada lawan”
Bayangkan kalau kita bisa menerapkan prinsip ini di semua aspek hidup negosiasi bisnis, debat politik, bahkan rebutan remote TV. Dunia akan lebih damai, seperti pertandingan tenis yang berakhir dengan jabat tangan.
Apa yang dilakukan PELTI Muba dan PELTI Prabumulih bukan cuma soal hiburan akhir pekan. Ini adalah simbol dari sportivitas, silaturahmi, dan masa depan olahraga Sumsel yang cerah meski mataharinya kadang terik.
Mereka mengajarkan bahwa raket bisa lebih ampuh dari rapat, dan keringat persahabatan bisa lebih menyembuhkan dari retorika kampanye. Di lapangan, status sosial luntur, gelar akademik tak penting, yang penting siapa bisa menahan bola lebih sabar dan tak ngambek saat kalah.
Karena dalam hidup, seperti dalam tenis “Kalau bolanya out, ya out. Nggak usah disanggah. Tapi tetap kita peluk dan bilang, ayo ulang lagi”.[***]
——————————————————————————————————————————
IN this world, there are three universal unifiers of mankind music, food, and sports. Music gets Indians dancing in rice fields. Food gets Koreans peacefully sharing kimchi with neighbors. And sports? Sports can unite friends and rivals with just one ball. Even a ball as small as a meatball a tennis ball.
This was clearly demonstrated in Sekayu, as two tennis titans of South Sumatra PELTI Musi Banyuasin and PELTI Prabumulih joined forces in a friendly match themed “Friendship Through Sports”. This wasn’t about winning gold medals. It wasn’t about sponsorship contracts. It was about exchanging smiles through sweat and backhand strokes.
Dandim 0401/Muba, Letkol Kav Fredy Christoma, even joined the match himself an officer swapping camo for tennis shorts! This is the kind of unity we dream of when military meets matchpoint.
From the inspiring words of the chairman of PELTI Muba, Dr. Yusman Yasir, to the motivating message of Usman Fitriansyah of PELTI Prabumulih, the idea was clear tennis is not just a sport it’s a soft diplomacy, a character builder, and a bridge between districts.
Just like Wimbledon in the UK or school sports in Japan, we too can use sports to foster peace, discipline, and mutual respect. As Indonesian badminton legend Alan Budikusuma once said “Sport is not just about technique and stamina, but also about discipline, hard work, and respect for opponents”
So, let’s make the tennis court a miniature world. A place where every loss ends in laughter, and every serve begins with a smile.
Because in life, just like in tennis “If the ball is out, it’s out. No need to argue—just hug, reset, and rally again”.[***]