SUMSELGLOBAL

Bantuan Pangan Tepat Sasaran, Koordinasi OPD & Sanksi Efektif

ist

DI tengah hingar-bingar janji bantuan sosial, kadang kita tersenyum getir membaca realitas di lapangan, beras untuk warga miskin yang seharusnya menjadi penyelamat perut, nyatanya bisa salah alamat, potensi itu bisa saja terjadi, seperti pepatah Minang bilang, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, seharusnya bantuan diberikan sesuai hak, bukan asal bagi. Namun, kenyataannya, koordinasi antar OPD masih bagaikan orkestra tanpa konduktor.

Pemerintah Kota Palembang telah menyiapkan dana Rp1,5 miliar untuk bantuan beras 2026. Nilainya cukup untuk memberi makan ribuan warga miskin. Tapi, Rp1,5 miliar bukan sekadar angka, ia adalah tanggung jawab moral, sosial, dan birokrasi. Di sinilah peran koordinasi antar OPD menjadi kunci. Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan, Bagian Hukum, dan Bagian Perkonomian harus bermain sebagai tim yang selaras, bukan sekadar “saling lempar bola” birokrasi.

Aprizal Hasyim, Sekretaris Daerah Kota Palembang, dengan nada sederhana tapi tegas, mengatakan “Sebenarnya kami ingin semua bantuan sampai ke yang benar-benar membutuhkan. Tapi kalau data salah, ya… yang makan malah tetangga, bukan warga miskin. Kita nggak mau itu terjadi.”

Saat Rapat koordinasi lintas OPD, dan Audiensi mewakili Wali Kota dengan Perum Bulog Divre III Sumsel, Rabu (10/9/2025).Aprizal menambahkan “Ini tugas gampang-gampang susah. Kalau camat, lurah, atau RT nggak teliti, bantuan bisa salah alamat. Makanya kita dorong semua OPD untuk kerja sama, jangan main lempar bola birokrasi.

Namun, cerita lucu tapi miris muncul ketika data warga miskin tidak diperbarui, atau ada selentingan “ini tetangga saya, kasih dong”. Akhirnya, bantuan bisa tersasar, ibarat menembak burung dengan meriam, yang kena malah genteng tetangga. Humor seperti ini boleh membuat kita tersenyum, tapi kenyataannya masalah ini sangat serius. Salah sasaran bukan sekadar rugi materi, tapi menyakiti hati masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Berdasarkan pengalaman di lapangan, salah satu penyebab utama adalah koordinasi di tingkat paling bawah, camat, lurah, hingga RT. Di sinilah tali temali birokrasi harus rapihin. Setiap data warga miskin wajib diverifikasi. Tidak cukup hanya catatan lama atau rekomendasi sepihak. Perumpamaan yang tepat adalah “Seperti menanam padi, jika benihnya salah, panennya pun gagal.”

Selain itu, perlu ada kategori jelas, siapa yang benar-benar layak menerima bantuan, tidak semua yang mengangkat tangan bisa disebut miskin, ada warga yang tampak “miskin” secara penampilan, tapi ekonomi rumah tangganya cukup stabil.

Pemerintah harus berani menetapkan kriteria objektif, misalnya penghasilan per bulan, kondisi rumah, jumlah tanggungan keluarga, atau indeks kesejahteraan.

Dalam perspektif sanksi, ada pepatah bijak “Salah langkah, terjatuh sendiri”. Camat, Lurah, atau RT yang lalai dalam pendataan atau sengaja menyalurkan bantuan tidak tepat sasaran harus menghadapi konsekuensi administratif atau sanksi yang jelas. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi agar tanggung jawab dijalankan dengan serius. Misalnya teguran tertulis, pemotongan tunjangan, atau pencabutan hak rekomendasi. Sanksi ini bisa membentuk budaya kerja disiplin dan transparan, sehingga tidak ada ruang bagi penyalahgunaan.

Di sisi lain, pemerintah kota bisa mengembangkan sistem digital yang transparan, database warga miskin yang terverifikasi, sistem pelaporan real-time, dan audit berkala.

Dengan teknologi itu, kemungkinan salah sasaran bisa diminimalkan, sebagaimana pepatah China bilang, “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”, lebih baik pemerintah proaktif membangun sistem daripada menyesal di kemudian hari.

Namun, kritik ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan membangun, humor ringan boleh dipakai, misalnya menyindir “Kalau bantuan beras tersasar, mungkin tetangga yang lapar akan lebih sering datang ke rumah anda daripada pemerintah”. Sindiran seperti ini kocak, tapi mengingatkan bahwa transparansi dan akuntabilitas tidak bisa diabaikan.

Oleh sebab itu,  pentingnya pendidikan birokrasi di tingkat paling bawah. Camat, Lurah, RT, dan RW harus memahami bahwa menyalurkan bantuan sosial bukan sekadar tugas formal, tapi amanah sosial. Setiap kesalahan bisa berdampak nyata warga yang lapar, citra pemerintah turun, dan kepercayaan masyarakat memudar, seperti pepatah Jawa, “Alon-alon asal kelakon”, kerja harus teliti, tidak terburu-buru, agar bantuan tepat sasaran.

Pemerintah perlu merevisi regulasi,  perwali yang lama hanya mengatur bantuan saat bencana, perlu diperluas untuk mencakup masyarakat miskin non-bencana.Sistem pendataan terintegrasi, gunakan aplikasi digital, update berkala, audit independen. Beri pelatihan untuk camat, lurah, RT/RW agar mereka memahami prosedur, kriteria layak, dan risiko salah sasaran, bikin sanksi jelas dan tegas, teguran tertulis, pemotongan tunjangan, hingga pencabutan hak rekomendasi dan transparansi publik, publikasikan daftar penerima, alur distribusi, dan mekanisme pengaduan.

Karena bantuan pangan adalah hak dasar warga miskin, bukan sekadar kewajiban administrasi, koordinasi antar OPD harus dijalankan dengan teliti, santun, tapi tegas, seperti bumbu dalam masakan, untuk membuat kritik lebih santai tapi tetap kena sasaran.

“Kejujuran dalam distribusi adalah investasi kepercayaan masyarakat”, tanpa koordinasi yang tepat, bahkan dana miliaran bisa hilang percuma, dan warga yang benar-benar membutuhkan tetap kelaparan. Dengan regulasi yang tepat, sistem digital, pengawasan, sanksi tegas, dan kerja sama lintas OPD, bantuan pangan bisa benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar janji.

Jadi, mari kita jadikan pengalaman ini pelajaran, kerja sama itu penting, humor boleh hadir, tapi tanggung jawab sosial harus dijunjung tinggi, seperti pepatah Melayu “Biar lambat asal selamat”, lebih baik distribusi tepat sasaran terlambat sedikit daripada cepat tapi salah alamat.[***]

Terpopuler

To Top