Sosial

Gub.Sumsel : Darah Kita Sama Merahnya, Solidaritas Lintas Etnis di Sumatera Selatan

ist

ADA pepatah lama yang bilang, air bisa berbeda rasa, tapi darah tetap sama warnanya, di meja makan kita bisa ribut soal sambal ada yang pedasnya bikin keringat segalon, ada yang manis kayak gula jawa, tapi begitu urusan darah, tak ada embel-embel etnis atau agama. Darah dari warga Tionghoa, darah orang Palembang asli, darah orang Batak, darah wong Jawa, semua sama-sama merah, sama-sama bisa menolong siapa saja yang sedang terbaring di rumah sakit.

Itulah yang terasa hangat di Yap Ballroom Palembang, Minggu (24/8/2025), bukan pesta nikahan, bukan pula konser dangdut, tapi suasananya mirip ramai, penuh tawa, dan bikin hati adem. Ratusan orang berkumpul, bukan untuk rebutan kue lapis atau cendol, tapi untuk antre mendonorkan darah. Yang unik, acara ini digelar oleh Paguyuban Tionghoa Sumatera Selatan dan dihadiri langsung oleh Gubernur Sumsel, H. Herman Deru.

Kalau biasanya orang ketemu lintas suku suka adu gengsi yang satu bilang, “pempek paling enak ya buatan wong Palembang,” yang lain ngotot, “ah, rendang lebih top, dunia sudah mengakuinya” hari itu semua sepakat dalam satu hal  darah adalah hadiah terbaik yang bisa dibagi.

Ada seorang pemuda keturunan Tionghoa yang baru pertama kali donor, katanya, deg-degan setengah mati, mirip nunggu jawaban gebetan. Begitu jarum masuk, wajahnya pucat. Tapi setelah selesai, dia malah tersenyum bangga “Ternyata nggak sakit-sakit amat, ya. Malah lega, kayak buang unek-unek”.

Di sebelahnya, ada bapak dari Sekayu yang sudah rutin donor lebih dari 20 kali. Dia bilang, dulu anaknya pernah selamat karena ada stok darah di PMI.

Sejak itu, ia bertekad jadi pendonor setia. “Balas budi itu nggak selalu dengan amplop, bisa juga dengan setetes darah,” katanya sambil terkekeh.

Donor darah bukan sekadar aksi sosial, tapi juga kisah-kisah kecil tentang cinta, balas budi, dan keberanian menghadapi jarum suntik.

Acara donor darah ini sesungguhnya jadi potret solidaritas lintas etnis di Sumatera Selatan, kalau di luar sana media sosial penuh debat kusir soal perbedaan, di ruangan itu justru yang terasa adalah kesamaan sama-sama punya nadi, sama-sama punya rasa peduli.

Kita sering mendengar pepatah, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Tapi di sini pepatahnya berubah “Merah sama diteteskan, nyawa sama diselamatkan”

Gubernur Herman Deru pun menyelipkan pesan, donor darah bukan hanya aksi sosial, melainkan wujud kasih sayang, dan benar, kasih sayang itu tak pakai paspor etnis atau KTP agama.

Kalau kita rela antre demi beli tiket konser Coldplay atau rebutan diskon 11.11 di marketplace, mestinya antre donor darah bukan perkara sulit. Bedanya, kalau belanja diskon bikin dompet menipis, donor darah justru bikin tubuh lebih segar. Kata dokter, donor itu seperti servis rutin kendaraan biar darah baru terus diproduksi, mesin tubuh tetap prima.

Jadi, kenapa harus pelit dengan setetes darah yang bisa menyelamatkan tiga nyawa? Bukankah pepatah bilang, “Sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit”. Nah, dalam konteks ini, setetes demi setetes lama-lama jadi lautan kehidupan.

Kegiatan donor darah di Sumatera Selatan bersama Paguyuban Tionghoa bukan sekadar acara sosial, tapi juga simbol solidaritas lintas etnis. Di ruangan itu, darah semua orang bercampur dalam tujuan yang sama membantu sesama. Tidak ada lagi batasan identitas, semua larut dalam semangat kemanusiaan.

Mari kita belajar satu hal penting donor darah itu bukan hanya berbagi, tapi juga merawat persaudaraan, sebab benar kata orang bijak, “Kalau tangan bisa saling menggenggam, maka darah pun bisa saling menolong”. Dan ya, jangan lupa, darah kita sama-sama merahnya.[***]

Terpopuler

To Top