DUA penulis asal Sumsel, Dahlia Rasyad dan Risqi Turama berbagi tips bagaimana menjadi penulis fiksi. Tips ini sepertinya mudah dan gampang, sama seperti dikemukakan Arswendo Atmowiloto dalam bukunya “Menulis itu Gampang”.
Tapi, paling tidak, apa yang disampaikan oleh kedua penulis ini bisa coba diterapkan. Siapa tau nanti bisa melahirkan penyair, cerpenis, bahkan novelis.
Dahlia Rasyad ya g tahun 2016 lalu pernai meraih penghargaan Ubud Writers and Reader Festival ini, menyampaikan tips-tips menulis saat ditanya audiens ketika tampil sebagai narasumber dalam Dialog Sastra di Sepekan Seni Dewan Kesenian Palembang, di Guns Cafe, belum lama ini.
Pertama, jangan lah bermimpi terlalu muluk. Misalnya, melalui karya yang ditulis berharap bisa menjadi penulis terkenal. “Jauhkan hal-hal seperti itu,”ujar penulis Novel Perempuan yang Memetik Mawar ini.
Tuliskan apa yang ada di dalam pikiran, tetapi usahakan melalui perenungan-perenungan. Sehingga ketika ditulis, yang mengalir itu adalah kata-kata pilihan.
Memang sulit, ujar alumni FKIP Bahasa Inggris Universitas PGRI Palembang ini. Apalagi, kalau menggunakan berbagai peralatan canggih, seperti laptop, komputer, bahkan handphone. “Kalau salah, dengan mudahnya kita delete. Bisa dihapus, dan ganti dengan kalimat lain. Itu tidak membuat kita selektif,” tambah penulis Novel Kisah Pemetik Kopi.
Karenanya, lebih bagus lagi. Buang jauh-jauh semua peralatan itu. Cari tempat yang dianggap bisa memberikan ketenangan. Ambil kertas dan pulpen. Lalu, renungkan apa yang akan ditulis. Pikirkan matang-matang sebelum menulis. Karena, selama menulis, usahakan jangan menghapus atau mencoret-coret yang sudah ditorehkan di kertas.
“ Usahakan, yang sudah ditulis itu merupakan kata-kata yang tidak akan bisa berubah lagi. Dan melatih kita mengurangi typo. Kalau ketemu momennya, semuanya akan mengalir,”tambah Dahlia yang mengaku di awal mulai menulis dulu pernah sampai 98 kali mengirim naskah cerpennya ke media massa, dan ditolak. Baru yang ke-99, cerpennya dimuat di media cetak nasional.
Diakui Dahlia memang tidak mudah untuk melakukan hal itu. Tapi harus dicoba. Dirinya mengawali aktivitas menulis dengan modal tidak menganal sama sekali tokoh-tokoh dan sastrawan yang telah naik daun dan terkenal. “Saya hanya bermodalkan cerita-cerita dongeng, yang dibaca. Lalu ditulis ulang. Itulah yang dilakukan berkali-kali dan berulang-ulang. Tapi, pahitnya, ya itu tadi hampir seratus kali tulisan ditolak oleh media massa,” ujarnya.
Karena itulah, menurut Dahlia, sangat harus untuk menambah wawasan, calon penulis itu membaca karya-karya sastra yang mendapat penghargaan internasional. “Sehingga kita bisa mengetahui seperti apa dan bagaimana karya-karya itu bisa mendapat penghargaan. Jadi bukan untuk meniru,” tambahnya. Sampai suatu saat, nanti seorang penulis itu akan menemukan ciri-ciri khas karyanya.
Meniru
Risqi Turama, karya-karyanya telah beberapa kali dimuat di Harian Kompas. Dan beberapa karyanya juga dimuat di Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas. Menurutnya, tidaklah salah kalau seorang penulis fiksi itu melakukan peniruan.
“Silakan meniru. Silakan membaca karya orang lain, terutama karya-karya terbaik. Lalu cobalah tiru, gayanya, tulisannya, alurnya,” ujarnya menyarankan.
Risqi yang juga Dosen FKIP Unsri ini menegaskan, dengan meniru itu, nanti seorang penulsi akan sampai pada titik kegagalan. Dia sangat yakin, penulis itu akan gagal. Karena tidak bisa menemukan identitas karya yang mebedakaannya dengan karya orang lain.
“Di situlah titik focus tujuan meniru itu, Supaya sampai pada titik kegagalan. Dan kalau sudah sampai di sana, kita akan menemukan sendiri, gaya, pola, dan alur penceritaan yang nantmya akan menjadi ciri khas. Kala sudah punya identity, maka penulis itu sudah punya karakter.
Sepertinya mudah, tetapi, itu perlu perjuangan. Melawan malas, melawan sungkan. Melawan penyakit baru menulis kalau sudah punya mood dan dapat ilham. Masing-masing penulis, punya pengalaman dan metode belajar yang tidak sama. Tetapi, hang mau belajar dari kegallan lah yang biasanya akan berhasil. Saat ini, Risqi tergabung dalam komunitas Kata Kota.
Di komunitasnya, mereka selalu berdiskusi dan membahas karya-karya sastra yang meledak dan berpengaruh. “Dari sana kami bisa membandingkan apa kelemahan dan kekurangan karya kami. Sehingga di karya berikutnya bisa lahir sesuatu yang bisa lebih baik. [***]
Penulis : sir