Seni & Budaya

Serunting Sakti

Ist

Sumber: A. N. J. Th. A. Th. Van Der Hoop, (1932), Megalithic Remains in South Sumatra, Terjemahan oleh William Shirlaw, Penerbit: W.J. Thieme & Cie Zutphen,  Netherland. Diadaptasikan secara kreatif dan kontekstual dalam Disertasi: Konsep  Puyang pada Patung Megalit Pasemah, A. Erwan Suryanegara, (2018), FSRD – ITB. 

DIKENAL JUGA SEBAGAI CERITA RAKYAT  

SI PAHIT LIDAH 

Serunting Sakti adalah mitos yang umumnya sangat dikenal oleh masyarakat  Batanghari Sembilan, di wilayah Sumatra bagian selatan, di berbagai daerah ini  masing-masing kelompok etnik masyarakat memiliki versinya sendiri-sendiri yang  terkait tentang cerita Serunting Sakti ini. Sebagaimana legenda pada umumnya, cerita  tentang tokoh Serunting Sakti inipun disampaikan dari satu generasi ke generasi  berikutnya secara lisan atau dituturkan. Dalam penuturannya secara umum  diceritakan bahwa tokoh Serunting diimajinasikan sebagai seorang yang sakti  mandraguna, ia memiliki kemampuan yang hebat luar biasa atau memiliki semacam  ilmu sihir, sehingga disebut Serunting Sakti. Ia dapat menguasai dan merubah segala  sesuatu termasuk orang dan binatang menjadi batu, karena kesaktiannya itu pula  Serunting Sakti dijuluki juga sebagai si Lidah Pait atau si Pahit Lidah. 

Secara turun-temurun diceritakan bahwa patung-patung batu itu adalah sebagai  akibat dari perbuatan Serunting Sakti; sebagai contoh salah-satu dari patung yang ada  di Tinggihari, telah dipercaya sebagai Puteri yang berubah menjadi batu dan  kemudian disebut Batu Puteri. Konon khabarnya, bahwa satu ketika Puteri berjumpa  dengan si Pahit Lidah, Pahit Lidah bertanya pada sang Puteri tetapi Puteri tersebut  tidak menjawab, lantas dengan seketika Puteri disumpahi (dirubah) menjadi batu.  Batu persegi yang berada di samping patung Batu Puteri, diyakini adalah keranjang  bawaan sang Puteri yang ikut menjadi batu. 

Legenda si Pahit Lidah ini bahkan juga dikenal sampai ke Jambi, Bengkulu, dan  Lampung. Lebih lanjut, diceritakan bahwa suatu ketika Pahit Lidah bertemu dengan si  Mata Empat sebagai penguasa aliran sungai yang berasal dari danau Ranau. Si Mata  Empat mempunyai empat bola mata, dua di depan dan dua di belakang. Si Mata  Empat berhasil mempengaruhi Serunting Sakti untuk bersedia mengadakan  semacam taruhan adu kesaktian dengannya. Dimana masing-masing secara  bergantian harus tidur menelungkup di bawah pohon pinang, sedangkan yang lain  akan memanjat pohon tersebut dan menjatuhkan satu dahan besarnya.

Giliran pertama adalah si Mata Empat yang harus berada di bawah pohon, sedangkan  si Pahit Lidah yang memanjat pohon. Ketika cabang dijatuhkan oleh si Pahit Lidah, si  Mata Empat dapat mengetahui jatuhnya cabang itu karena ia memiliki dua mata di  belakang kepalanya, Mata Empat segera menghindar ke samping tepat pada  waktunya. Berikutnya si Mata Empat yang memanjat dan si Pahit Lidah yang harus  berada di bawah pohon. Walau bagaimanapun tentunya tokoh si Pahit Lidah tidak  dapat melihat jatuhnya cabang itu yang tepat mengenai kepalanya sehingga ia  meninggal seketika itu pula. 

Setelah si Pahit Lidah meninggal, si Mata Empat merasa sangat penasaran dan  berkeinginan untuk membuktikan apakah lidah si Pahit Lidah itu memang benar benar pahit. Dengan tidak membuang-buang waktu si Mata Empat kemudian  memasukkan ujung jarinya ke mulut si Pahit Lidah guna menyentuh lidahnya,  selanjutnya dengan penuh rasa penasaran dan keingintahuan yang besar untuk  membuktikannya, lantas si Mata Empat segera menjilat ujung jarinya tersebut.  Sebagai hasilnya tak dinyana-nyana si Mata Empat pun menggelepar sekarat karena  keracunan dan sesaat kemudian ia pun meninggal, ternyata lidah si Pahit Lidah itu  mengandung racun yang mematikan. 

 

Makam tokoh mitos Serunting Sakti di Pelangkenidai, Sukabanjar –Danau Ranau (Diadaptasi dari Van der Hoop, 1932) 

 

Orang sakti yang berasal dari wilayah Batang Hari Sembilan itu dikuburkan di tepian  danau Ranau yang lokasinya dapat dijumpai di Pelangkenidai – Sukabanjar. Ada cerita  lain tentang Serunting Sakti, dikatakan bahwa Serunting Sakti meninggal di pulau  Jawa – kemudian menjelma menjadi ayam hutan, ayam Kinantan. Muncul pertanyaan yang seakan tak berjawab, padahal diceritakan mereka wafatnya hampir bersamaan  atau berurutan, ke mana dan mengapa si Mata Empat tidak berkubur? Itulah ciri  mitos atau cerita rakyat yang bukan sejarah. Si Mata Empat dan si Pahit Lidah, 

sesungguhnya ingin mempresentasikan karakter masyarakat Uluan atau dikenal  sebagai masyarakat Batanghari Sembilan, bahwa mereka berpandangan luas atau  berpengetahuan dan paradigmatik, serta dalam keseharian hidup mereka menyatu  dan selaras merespon alam, bukan sebaliknya mengeksploitasi alam seperti  kecenderungan manusia sekarang. 

Terlepas dari pertanyaan itu tadi, si Mata Empat adalah personifikasi dari keluasan  ilmu pengetahuan, si Pahit Lidah personifikasi dari perilaku manusia yang selalu  berkata benar dan implementatif atau paradigmatik, di antaranya diceritakan bahwa karya budaya berupa artefak patung megalit itu hasil sumpahan si Pahit Lidah.  Melalui legenda Serunting Sakti dapat ditarik beberapa pelajaran berharga, di  antaranya: tidak ada orang yang paling unggul, tidak boleh berprilaku sombong, sifat  kesewenangan pada akhirnya akan hancur, makhluk pun benda tidak abadi dan lain  sebagainya. 

 

 

Letak makam Serunting Sakti di Tepian Danau Ranau  (Diadaptasi dari Van der Hoop, 1932) 

 

Dari legenda Serunting Sakti terlihat adanya kesinambungan antara kebudayaan  prasejarah Pasemah dengan kebudayaan berikutnya, bahkan hingga sekarang.  Legenda ini ternyata mampu menjembatani dan merajutkan benang merah antara  Pasemah purba dengan Pasemah di masa berikutnya, dan juga dapat dikatakan  bahwa legenda Serunting Sakti merupakan respon masyarakat yang lebih kemudian  atas karya budaya para leluhurnya. Catatan menariknya, ternyata: Mitos si Pahit Lidah  lebih mampu atau sakti dalam menjaga keberadaan patung-patung megalit Pasemah  dibanding UU Cagar Budaya. [***]

 

 

BIODATA 

Nama :  DR. A. Erwan Suryanegara, M.Sn

Budayawan

Tempat & tgl. lahir : Palembang, 14 Oktober 1962 

Alamat : Jl. Anggada no. 6 RT. 08 RW. 02 Kelurahan Kalidoni,  Palembang – 30119 Hp. 081368829559; WA 082177172240 

  • Perintis dan pernah Ka. Prodi Desain Komunikasi Visual (DKV), Fakultas Ilmu Pemerintahan dan Budaya, Univ. Indo Global Mandiri (UIGM) Palembang, 2008-2014. Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, sejak 2009 s.d. sekarang. 
  • Perintis/Kepala Pusat Kajian Sriwijaya – Pemerintah Kota Palembang, 2012-2014. Peneliti, penulis buku, dan produser film dokumenter Sriwijaya. 
  • Penulis syair dan produser Lagu Jayasiddhayatra Sriwijaya. 
  • Peneliti, penulis buku, dan produser film dokumenter Ragam Hias Sumatra Selatan. Pembicara/pemakalah Temu Budaya ANBTI, di Bogor dan Yogjakarta. 
  • Pembicara/pemakalah Kongres Bahasa Wilayah Barat, di Lampung. 
  • Narasumber acara di radio dan televisi, Sumatra Selatan. 
  • Peneliti Seni Rupa Megalitik, Dataran Tinggi Pasemah – Sumatra Selatan. Pemateri pada seminar nasional dan internasional tentang Seni Rupa Megalitik. Penulis pada jurnal nasional dan internasional tentang Seni Rupa Megalitik. Penggagas Monumen Kapal Sriwijaya sebagai Ikon Bhumi Sriwijaya & Jalur Rempah Nusantara. Pembina Dewan Kesenian Palembang dan Dewan Kesenian Sumatra Selatan. Pameran Seni Rupa di Palembang, Jakarta, Bandung, dan Malaysia.
  • Kurator Pameran Seni Rupa.

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com