DI sebuah Aula Tua yang pernah menjadi saksi bisu sejarah Palembang, kini terdengar suara yang tak bersuara, datang dari kertas gambar, dari sapuan warna, dari mata anak-anak yang berbinar saat menggambar wajah pahlawan.
Mereka tak sedang menggambar demi lomba semata, tapi sedang menenun ulang benang merah kebangsaan dengan cara yang paling jujur lewat seni.
Bertempat di Museum Sultan Mahmud Badaruddin [SMB] II dan disambung makan-makan (eh, maksudnya seremoni) di Guns Café, ratusan anak, remaja, hingga orang dewasa berkumpul bukan untuk rebutan diskon, tapi adu kreatifitas.
Lebih dari 120 peserta datang dari berbagai usia, menggenggam kuas dan pensil warna, seperti pejuang memegang bambu runcing, bedanya, yang ini tujuannya bukan usir penjajah, tapi menyuarakan cinta tanah air lewat warna.
Museum yang biasanya sepi kayak kos-kosan saat tanggal tua, hari itu mendadak hidup. Aura semangat patriotisme berkibar dari dinding ke dinding, dari langit-langit sampai lantai yang masih bau semir.
Lukisan wajah Sultan Mahmud Badaruddin II dan Dr. A.K. Gani tampil bukan kayak foto ijazah yang kaku, tapi penuh ekspresi dan gaya kekinian, ada yang pakai kacamata hitam, ada yang latarnya mirip film Marvel.
“Ini bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang bagaimana generasi muda menyampaikan rasa cinta Tanah Air lewat seni” kata Topan Arifin, Ketua Panitia sekaligus seniman dari Komunitas Suwarna Rupa, dengan gaya tenang tapi dalam hati mungkin deg-degan juga karena pesertanya bejibun.
Kalau dulu semangat nasionalisme ditulis dalam puisi Chairil Anwar, kini semangat itu dicoret-coret pakai crayon. Bahkan, workshop yang digelar juga bukan kaleng-kaleng.
Ada workshop melukis, ada juga bela diri Kuntau, seni pukul-pukulan khas lokal yang bisa bikin otot kencang dan nasionalisme makin kentang.
Coba bayangin, habis mewarnai gambar AK Gani, langsung latihan kuntau. Patriotismenya lengkap, dari otak sampai urat kaki.
Muhamad Nasir dari Dewan Kesenian Palembang berharap lomba ini jadi agenda tahunan, semoga bukan cuma harapan di udara, tapi juga terealisasi di kalender, karena kalau tidak dilanjutkan, itu ibarat nyalain kompor tapi nggak jadi masak sayang gasnya, sayang harapannya.
Bibit kebangsaan
Sementara itu, Iqbal Rudianto dari DKSS bilang ini bukan sekadar lomba, tapi tempat menggali potensi dan menyiram bibit kebangsaan dengan air seni rupa. Tepuk tangan dulu buat pernyataan ini, lebih segar dari quote motivasi di WhatsApp grup keluarga.
Jangan salah, dewan jurinya pun bukan sembarangan. Taufan Arifin, Dr. A. Erwan Suryanegara, dan Joko Susilo punya rekam jejak yang panjang dalam dunia seni rupa.
Jadi, peserta nggak usah khawatir dinilai sembarangan, mereka tahu mana yang seni, mana yang cuma iseng nyoret gara-gara bosan.
Di tengah maraknya game online dan algoritma yang bikin anak-anak lebih hafal nama YouTuber daripada nama pahlawan nasional, lomba ini seperti sambal di tengah opor membangkitkan selera nasionalisme yang hampir pudar.
Museum yang biasanya jadi tempat foto-foto prewedding atau pelarian saat hujan mendadak filosofis, hari itu berubah jadi tempat ziarah semangat.
Anak-anak yang biasanya lari-lari di mall, kini duduk manis menggambar wajah pahlawan, ada yang warnanya miring-miring, ada yang kuasnya belepotan, tapi semua punya satu benang merah: semangat.
Seperti kata pepatah, “Kalau tak bisa jadi mentari yang menyinari bumi, jadilah lilin yang menerangi jalan”.
Nah, anak-anak ini walau belum bisa orasi, seperti Bung Karno, setidaknya bisa menoreh warna seperti Van Gogh versi lokal yang telinganya utuh dan masih tinggal sama emak.
Lomba ini bukan sekadar acara iseng, tapi langkah kecil menuju bangsa besar, karena semangat kebangsaan itu bukan hanya milik bendera yang dikibarkan setahun sekali di tiang sekolah, namun juga milik anak-anak yang mencintai tanah air lewat crayon, lukisan, dan satu sapuan kuas.
Semoga tahun depan, sapuan kuas ini tetap hidup, siapa tahu, dari lomba ini lahir pelukis legendaris yang karyanya nanti dipajang di Louvre… atau minimal di ruang tamu rumah Wak RT.[***]