Seni & Budaya

Pesta di Rumah Rakit Cina : Catatan Pelarian Amerika

foto : ilustrasi

Oleh :

Arafah Pramasto,S.Pd.

(Penulis Buku Kesejarahan dan Pekerja Sosial Palembang)

 

1. Walter Murray Gibson : Si Petualang Pelarian

SI petualang ini memang unik, ia dikatakan lahir di selatan Amerika Serikat namun banyak yang meyakini bahwa Walter Murray Gibson lahir di Inggris pada 6 Maret 1822. Sejarawan seperti Anthony Reid dalam bukunya Witnesses to Sumatra : A Travellers Anthology (diterjemahkan menjadi Sumatera Tempo Doeloe : dari Marco Polo sampai Tan Malaka)lebih meyakini Gibson berasal dari Inggris. Reid memasukkan potongan memoar Gibson dalam bukunya itu seraya memberi ulasan singkat tentang diri si petualang.

Gibson yang lahir di Inggris kemudian tumbuh dewasa di South Carolina, ia menjadi orang yang ahli dalam interaksi karena kemampuan persuasifnya dibangun saat menjadi kapten kapal di Amerika Tengah.

Dari itu ia diangkat sebagai konsulat-jenderal untuk tiga republik di AS. Ia menemui masalah saat mengatur pembelian sekunar beras milik dinas perpajakan pemerintah AS untuk seorang jenderal asal Guatemala, Gibson sayangnya banyak melanggar berbagai aturan. Kebanyakan sumber menceritakan bahwa dirinya terlibat dalam penyelundupan senjata.

Ia memilih melarikan diri ke Sumatera. Kebetulan salah satu paman Gibson pernah menjadi pelaut dan berdagang di antara Muskat dengan Aceh. Akhirnya ia menjejakkan kaki pertama kali di Palembang pada awal tahun 1852. Catatan Gibson yang populer semasa di Palembang ialah waktu ia menghadiri sebuah jamuan pesta orang Cina. Sebelumnya mari kita menarik rentang lebih awal (sekitar tiga abad) sebelum kedatangan Gibson untuk melihat relasi orang Cina dan Wong Palembang.

 

2. Relasi Cina dan Palembang Abad ke-15 hingga ke-19

Bidang kemaritiman yang mencakup perdagangan laut masih menjadi salah satu sektor penting bagi Palembang bahkan setelah runtuhnya Sriwijaya. Pelabuhan di Nusantara mesti memiliki daya tarik yang besar bagi kapal-kapal asing, contohnya adalah pasar yang ramai dengan komoditas hasil hutan pedalaman maupun bahan makanan bagi konsumsi awak kapal.

Dalam perdagangan laut memang ada korelasi antara besarnya volume perdagangan – termasuk juga persediaan bahan makanan – dengan frekuensi persinggahan kapal di suatu pelabuhan. Pelancong asal Cina bernama Ma Huan memberitakan bahwa pada ke-15 kapal-kapal dari segala penjuru dunia datang ke kota Palembang melalui sungai Musi. Kata Ma Huan harapan akan laba adalah besar karena penduduknya, “….sangat makmur dan kaya. Tanahnya amat subur, seperti kata pepatah ‘hamburlah padi untuk satu musim, hasilnya menjadi beras untuk tiga musim’, demikianlah keadaan di negeri ini…”

Pola perdagangan yang biasanya terbentuk ialah orang Palembang membeli barang dari orang Cina dan membawanya ke pedalaman untuk dijual di sana. Belum ada orang Cina – bahkan juga orang Arab masa itu – yang berani sendiri berdagang ke daerah pedalaman ; mereka takut akan dirampok, demikian itu catatan seorang mantan residen Batavia bernama J.I. van Sevenhoven yang sempat menjadi komisaris regulasi di Palembang pada tahun 1821.Orang-orang Cina bukan saja mereka yang menjadi pedagang asing saja.

Di era Kesultanan Palembang sebelum Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap pada 1821, komponen masyarakat Palembang telah sangat plural. Di sana terdapat orang Cina-Tionghoa, Arab, dan orang asing lainnya. Menurut Java Gouvernement Gazette tahun 1812, orang-orang Tionghoa di Palembang umumnya menjadi pedagang perantara yang berkedudukan tetap di Palembang dan jumlahnya mencapai 700 jiwa. Itulah kota Palembang sekitar dua sampai tiga dekade sebelum kedatangan Walter Murray Gibson.

 

3. Pesta di Rumah Rakit Cina : Beberapa Catatan Menarik

a.Rumah Rakit Cina

Gibson memulai ceritanya dengan kekaguman pada dekorasi lampion yang indah berayun mengikuti naik turunnya arus sungai. Pemandangan itu memperlihatkan “rakit di atas sungai” atau rumah terapung milik orang Cina kaya. Ia kebetulan memiliki teman bernama Oey Soch Tchay yang tak lain ialah saudara dari tuan rumah yang punya hajatan.

Oey Tsee Yang, nama saudara Soch Tchay, sedang merayakan pernikahan anak perempuannya. Ruangan pesta itu ternyata cukup luas dan mampu menampung sekitar 200 orang. Memori Gibson ini nampaknya mendukung catatan sekitar kurang lebih dua dekade sebelumnya, Sevenhoven telah menuliskan bahwa rakit orang Cina biasanya dilengkapi dengan rumah belakang yang dibangun di atas rakit sendiri sehingga bagian tengah menyerupai pelataran (halaman) dalam rumah, biasa juga berfungsi sebagai ruang keluarga maupun dapur.

b. Melayu, Arab, dan Bali Turut Hadir

Gibson mencatat tamu undangan yang hadir bukan saja orang Cina. Ia menulis bahwa di antara “kepala botak licin dan berkepang” (model rambut yang diresmikan oleh orang Manchu) tampak pula kabyah (kebaya) Melayu dan sarung keris emas, bahkan ada dua tiga orang memakai surban Arab. Beberapa perempuan Melayu, tua dan muda, yang cantik maupun tidak, semuanya berpakaian indah.

Ada seorang tamu yang berasal dari Bali yang bercerita pada Gibson bahwa biasanya para tamu istimewa akan duduk di kursi utama tiap meja serta berhak memilih teman duduknya sendiri. Para bangsawan Melayu yang tidak ikut makan di meja nampak berjalan di antara meja-meja dengan gembira sembari menyapa para tamu yang duduk.

c. Musik, Tarian, dan Pertunjukan

Gibson dapat menangkap bahwa di dalam rumah itu tengah diadakan pesta karena bunyi gong dan lonceng. Selama pesta ada kelompok musisi yang duduk di lantai. Kelompok itu, kata Gibson, “memukul lonceng-lonceng kecil dia atas papan yang bentuknya menyerupai dulcimner ; memetik senar-senar kecapi, mendentingkan segitiga, dan menabuh genderang dengan bunyi ribut.” Tentang “lonceng” sebagai alat music juga pernah dicatatkan oleh pelancong Portugal pada abad ke-16 bernama Tome Pires.

Alat music lonceng dalam catatan Pires ialah bebunyian yang dimainkan bersama-sama seperti organ.Sedangkan papan yang menjadi tempat bagi lonceng-lonceng, sebagaimana disebut oleh Gibson, menyerupai dulcimer yakni alat music tradisional Amerika berupa siter berdawai tiga yang dimainkan dengan cara dipetik.Penyepadanan itu menandakan alat musik yang disaksikan oleh Gibson sifatnya melodis.

Kemungkinan besar ia melihat instrumen gamelan atau kulintang. Gibson melanjutkan bahwa ada laki-laki yang menari di lantai. Sementara ia melanjutkan makan, para musisi memainkan lagu yang lebih ramai, ada juga sekelompok pria maupun wanita bersiap memainkan wayang. Puncaknya adalah ketika mendekati akhir acara para penari ronggeng “menyanyi dan menari seperti orang kesetanan” dalam permaianan wayang (belum jelas jenis tarian yang diceritakan oleh Gibson ini).

d.Daging Anjing dan Sarang Burung Walet

Pood Djang, teman Gibson yang menjadi pelawak adalah orang pertama dalam mencicipi hidangan tuan rumah. Djang berkelakar bahwa “Hanya ada sedikit daging anjing dalam sup, tapi masih sangat muda sekaligus sangat hitam yang katanya sangat enak rasanya.” Soch Tchay tidak menyetujui candaan Pood Djang dengan berkata, “Di Palembang kami tidak makan anjing. Ada banyak sekali ayam dan burung yang lezat rasanya.

Gibson sendiri tidak percaya kelakar Pood Djang karena ia yakin daging anjing maupun cincang anjing tidak termasuk hidangan orang Cina di kota ini. Setelah itu ada hidangan tambahan istimewa berupa  sup kental yang mengandung sel-sel mirip lilin buatan burung walet kecil. Hidangan yang tepatnya disebut sebagai Sup Sarang Walet ini diperoleh dari gua-gua dekat laut, utamanya laut Jawa.

Sarang burung yang belum pernah dipakai mengerami telur amat mahal, bisa sampai satu setengah dolar per ons,namun yang sudah pernah dipakai hanya setengahnya saja. Belanda memperoleh untung dari perdagangan burung walet dan bagi warga Cina sendiri makanan ini memberi khasiat umur panjang serta menambah vitalitas. Memang dalam catatan Sevenhoven puluhan tahun sebelumnya tidak ada komoditas daging anjing dalam perdagangan di Palembang.

Ternak non-halal bagi  Muslim yang dijual hanya babi (antara 9-44 gulden) dan daging segarnya seharga 0.13 gulden/pon. Sevenhoven juga tidak memasukkan sarang burung walet sebagai barang dagangan di sektor unggas.

e. Ferdano Mantri Krama Jaya yang Dicintai Rakyat

Teman duduk Gibson salah satunya bernama Tchoon Long yang sudah beberapa kali menemuinya untuk berbincang di atas geladak kapal bernama Flirt.  Tchoon Long adalah laki-laki paruh baya bertubuh tegap,rambut tebalnya tidak dikepang panjang seperti gaya Manchu namun digelung tinggi ke belakang.

Tchoon Long terlihat murung, ia sebenarnya sangat ingin bicara pada Gibson namun terlalu banyak orang di sekitarnya. Long kemudian mendekati Gibson untuk berbicara mengenai orang hebat dari Palembang, Ferdano Mantri (Perdana Menteri) Krama Jaya, mantan wazir Sultan Badroodin (Mahmud Badruddin II) yang gagah berani melawan Belanda hingga tuannya tertangkap. Semasa pertempuran melawan Belanda tahun 1819, Pangeran Krama Jaya adalah salah satu nama terpenting di samping Pangeran Ratu, Pangeran Prabu dan Pangeran Kramadiraja.

Setelah Belanda mengalahkan kesultanan, Pangeran Krama Jaya diangkat selaku pelaksana tugas harian kesultanan dengan gelar Perdana Menteri, ia telah disumpah di hadapan komisaris Sevenhoven tanggal 5 September 1823.

Pangeran Krama Jaya digambarkan sebagai sosok yang dicintai rakyat, khususnya masyarakat Palembang dan Passumah (Pasemah). Badannya tinggi dan kuat, wajahnya bersih (terbuka / ramah) dan hatinya ‘putih’ (jujur). Ia memberi makan 2000 orang (laki-laki, perempuan, maupun anak-anak) setiap harinya. Rakyat banyak memuji serta memujanya sebagai “orang yang terkenal di laut barat hingga timur dan rakyat pulau Sumatera memuji kehebatan serta kebaikan hati si Perdana Menteri.”

Figur baik hati yang dicintai rakyat Palembang itu ditawan Belanda karena si penjajah tak senang dengan orang hebat ; kecuali “orang hebat” buatan Belanda sendiri. Putra-putri, sanak saudara maupun ratusan ribu rakyat mendoakan agar Krama Jaya kembali dari tahanan di Karawang (Jawa).

Doa saja tak cukup, maka ada sekitar ratusan ribu rupe disimpan di “tangan yang aman” di Singapura. Uang itu akan dibayarkan kepada Tchoon Long yang akan berlayar dengan kapal bersama sejumlah lelaki pemberani guna membawa sang Ferdano Mantri kembali ke Palembang.

4.Penutup dan Makna

Betapapun sederhananya catatan Walter Murray Gibson ini, kita memperoleh beragam informasi menarik. Gambaran tentang kehidupan masa silam berupa rumah rakit cina, musik, tarian, hingga hidangan pesta cukup mampu memutar nalar khayal tentang masa silam.

Gibson kemudian ditangkap oleh pemerintah kolonial karena isu akan mengobarkan pemberontakan, setahun setelah ditahan di Batavia ia akhirnya bisa kabur. Petualangan eksotis di kepulauan berhasil ditemukan lagi oleh Gibson yang nantinya diangkat sebagai Menteri Luar Negeri pertama Kerajaan Hawaii (1882-1887).

Lebih dari pada jiwa petualang Gibson, masyarakat Indonesia kini dapat melihat catatan bagaimana interaksi harmonis antar identitas etnis maupun agama di Palembang.

Kisah tak kalah mengejutkannya adalah betapa warga Palembang maupun Tchoon Long sebagai seorang Cina sangat menghormati dan mengagumi sosok pemimpin seperti Pangeran Krama Jaya. Jika saja ini diresapi, niscaya takkan ada ambisi “menyambar-nyambar” antara eksklusifitas identitas serta nafsu politik, dan sudah barang tentu tendensi SARA akan hilang dengan sendirinya.

Sumber :

  1. Lapian, Adrian B., Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 , Depok : Komunitas Bambu, 2017. Hlm. 96-97.
  2. Van Sevenhoven, J.I., Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang , Yogyakarta : Ombak, 2015. Hlm. 57.
  3. Wargadalem, Farida R., Kesultanan Palembang dalam Pusaran Konflik , Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2017. Hlm. 5.
  4. Cit. Hlm. 6-7.
  5. Reid, Anthony (ed.), Sumatera Tempo Doeloe : dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Depok : Komunitas Bambu, 2014. Hlm. 295.
  6. Gordon, Steward, Asia Menguasai Dunia , Jakarta : Ufuk Press, 2008. Hlm. 222-223.
  7. Banoe, Pono, Kamus Musik , Yogyakarta : Kanisius, 2003. Hlm. 126.
  8. Reid, Anthony (ed.), Sumatera Tempo Doeloe : dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Depok : Komunitas Bambu, 2014. Hlm. 295.
  9. Ibid , 296 & 298.
  10. Van Sevenhoven, J.I., Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang , Yogyakarta : Ombak, 2015. Hlm. 81-82.
  11. Wargadalem, Farida R., Kesultanan Palembang dalam Pusaran Konflik , Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2017. Hlm. 232.
  12. Reid, Anthony (ed.), Sumatera Tempo Doeloe : dari Marco Polo sampai Tan Malaka, Depok : Komunitas Bambu, 2014. Hlm. 298-299.

 

 

 

Comments

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com