COBA kasih perangko ke anak Gen Z, besar kemungkinan mereka tanya polos, “Ini buat ditempel di journal aesthetic, Kak?”
Ada juga yang lebih niat, “Bang, ini QR-nya di mana?, kok gak bisa di-scan?”.
Begitulah nasib perangko hari ini, barang kecil itu, yang dulu bikin deg-degan kalau nempel miring di surat cinta, kini nasibnya hampir sama kayak mantan, masih disimpan, tapi udah jarang dibuka-buka.
Padahal, di balik bentuknya yang imut dan ringan kayak kulit lumpia, perangko itu punya bobot sejarah setara batu prasasti. Lewat selembar kertas kecil itu, dunia tahu siapa pahlawan, siapa presiden, bahkan siapa yang kumisnya paling tebal di zamannya.
Nah, Senin kemarin (20/10/2025), halaman Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang mendadak berasa kayak mesin waktu.
Ketua Umum Perkumpulan Penggemar Filateli Indonesia (PPFI) yang juga Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, resmi melantik pengurus PPFI Sumsel masa bakti 2024–2029.
Acara ini bukan sekadar pelantikan, meski di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang sibuk bikin content dan scroll till dawn, para filatelis datang dengan album tebal berisi kenangan dunia. Romantis, tapi juga heroik karena di zaman semua serba cepat, mereka memilih memelihara sesuatu yang butuh kesabaran.
Fadli Zon bilang, filateli bukan cuma hobi, tapi cara belajar sejarah bangsa, masuk akal, soalnya perangko memang kayak cermin kecil peradaban.
Kalau perangko kita bergambar pahlawan, berarti masih ingat jasa mereka, kalau bergambar seleb TikTok, nah… berarti dunia sudah benar-benar berubah arah.
Bahkan anak zaman sekarang mungkin belum pernah pegang amplop seumur hidup, mereka tahunya “surat cinta” itu file PDF.
Kalau dulu orang sabar nunggu balasan surat berminggu-minggu, sekarang nunggu read di WhatsApp lima menit aja udah bikin galau.
Fadli Zon juga bilang, “Walau dunia sudah digital, perangko tetap dicetak di seluruh dunia, karena perangko itu artefak sejarah”
Betul juga… sebab tengok aja di Negara Jepang, perangko malah jadi souvenir mewah dan bergambar bunga sakura dan karakter anime.
Sementara di Inggris, koleksi perangko Ratu Elizabeth jadi harta Nasional, dan di Palembang?, koleksi perangko kini jadi bahan edukasi di pameran bertema Para Pendiri Bangsa dan Jumpa Museum. Melihatnya satu per satu seakan kayak jalan-jalan di lorong waktu, tanpa harus isi e-money atau bayar tiket pesawat.
Di sela acara, seorang bapak kolektor nyeletuk ke anak muda yang lagi selfie di depan etalase. “Nak, zaman dulu kalau mau kirim cinta, bukan lewat ‘story’, tapi lewat amplop, kalau perangkonya kebalik, tandanya gebetanmu kurang niat”. ha..ha..ha!
Lucu juga, dan juga ngena, persis kata pepatah “Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit”., jadi begitu pula dengan perangko meski kecil bentuknya, tapi kumpulannya bisa jadi gunung sejarah.
Bahkan kolektor perangko itu bukan orang yang terjebak masa lalu, tapi orang yang tahu caranya menghargai masa lalu tanpa kehilangan masa depan. Mereka kayak penjaga memori bangsa versi tanpa jubah, tapi bawa album tebal dan kaca pembesar.
Lanjut lagi ke Korea Selatan, disetiap sekolah punya stamp day, hari di mana murid belajar bikin desain perangko bertema Nasionalisme.
Sementara di Australia, anak SD ikut lomba desain perangko dan pemenangnya bisa masuk edisi cetak resmi negara. Coba bayangkan, wajahmu nempel di surat ke seluruh dunia, itu bukan mainan, itu sejarah!.
Di Indonesia?, masih ada semangat itu, tapi kalah tenar sama unboxing video dan haul baju online.
Padahal kalau dipikir, koleksi perangko itu healing yang menyehatkan, misalnya nempel, nyimpen, baca sejarah, sambil ngopi sore di teras, pasti gak perlu lagi dengan drama netizen, gak perlu scroll timeline.
Coba pikirkan, kalau perangko kita punya edisi limited misalnya ada bergambar Pempek Kapal Selam, Jembatan Ampera, atau Sriwijaya Air.
Pasti dijamin viral!, dan siapa tahu, anak muda jadi tertarik, bukan cuma ngoleksi, tapi juga belajar karena gambar kecil itu bisa menyimpan kisah besar.
Maka dari itu, meskipun perangko mungkin cuma selembar kecil, tapi ia pernah membawa berita besar, dari surat cinta prajurit, sampai surat keputusan penting negara, semuanya dimulai dari benda mungil yang direkatkan dengan harapan.
Jadi Kesimpulannya zaman boleh berubah, tapi makna “mengirim pesan” tetap sama yakni menyampaikan rasa dan makna.
Kalau sekarang perangko diganti emoji dan reaction, itu cuma bentuknya saja, tapi intinya sama, yaitu manusia ingin terhubung.
Nah, sebelum terlalu sibuk ngejar trending, ente sesekali boleh buka album lama, siapa tahu dari selembar perangko yang sudah menguning itu, kita belajar satu hal, bahwa setiap hal kecil bisa meninggalkan jejak besar, asal disimpan dengan cinta dan konsisten.
Oleh sebab itu, Palembang hari ini bukan sekadar jadi tempat pelantikan, tapi panggung kenangan dan Fadli Zon menegaskan, kebudayaan bukan cuma seni dan musik, tapi juga cara kita menjaga sejarah.
Sementara perangko itu, si kecil yang diremehkan adalah saksi betapa hebatnya bangsa yang tahu menghormati masa lalunya, karena kalau kata orang tua dulu. “Bangsa yang lupa sejarah ibarat amplop tanpa perangko, nggak bakal pernah sampai tujuan”.[***]