Sumselterkini.co.id ,- Ada kalanya dunia ini seperti panggung sirkus, lengkap dengan atraksi akrobatik, sulap-sulapan, dan tentu saja badut.
Tapi sayangnya, badutnya bukan cuma satu bahkan kadang yang tampil bukan badut profesional, tapi badut freelance yang masuk tanpa jadwal, tanpa kostum, dan yang paling parah tanpa malu.
Mereka kebakaran jenggot sendiri, lalu dengan percaya diri menuduh orang lain megang korek, lucunya, jenggotnya palsu, koreknya juga pinjem. Seolah-olah hidup ini sinetron laga kolosal, padahal yang ditonton lebih mirip drama komedi dari channel yang sinyalnya setengah-setengah.
Belakangan ini kita seperti disuguhi pertunjukan dagelan, banyolan dadakan, seseorang atau sekelompok manusia yang mendadak saleh nasional tiba-tiba muncul sebagai “pahlawan kesiangan”. Mereka datang dengan sorban kebenaran di kepala, padahal tadi malam masih main gaplek sambil nge-live TikTok di pos ronda.
Tingkahnya kayak mau menyelamatkan negara dari kehancuran, padahal baru bangun kesiangan, lupa gosok gigi, dan masih pakai sarung bolong. Mereka berkhotbah soal moralitas, integritas, dan keberpihakan pada rakyat, sambil ngetik caption pakai filter kamera buram level 11.
Kalau sudah ditegur, langsung bawa-bawa nama rakyat, katanya demi kepentingan bersama, demi suara-suara yang dibungkam, demi nurani katanya. Padahal kalau ditelusuri, ujung-ujungnya demi engagement akun pribadi dan mungkin endorse skincare yang belum BPOM.
Ini semacam kucing kampung yang mendadak ngerasa dirinya singa karena dipasang filter di Instagram. Jalannya mendongak, suaranya digedein, tapi begitu dilempar sandal, langsung kabur ke bawah mobil.
Semua ini terjadi di tengah masyarakat yang makin melek informasi, tapi juga makin muak sama tontonan yang isinya cuma teriak-teriak tanpa isi. Sayangnya, si pemeran utama tak sadar bahwa aksinya bukan lagi heroik, tapi tragikomik. Seperti nonton gladi resik pertunjukan yang tak pernah jadi final. Bising, berdebu, dan bikin migrain.
Penonton pun banyak yang pintar, tapi memilih diam. Bukan karena takut, tapi karena lelah. Lelah menjelaskan pada orang yang merasa paling tahu segalanya. Menjelaskan pada yang merasa suci, padahal jejak digitalnya bisa bikin Google down.
Sebagaimana kata pepatah masa kini “Kalau kau bukan lilin yang menyala, jangan pula jadi korek yang main-main api. Apalagi kalau jenggotmu kering dan banyak minyaknya.”
Kita sedang hidup di zaman di mana literasi sudah sampai ke Mars, tapi kelakuan masih ngendon di pos ronda sambil main gaple. Orang yang dulu rajin nonton berita kini malah lebih suka nonton kucing main bola di YouTube lebih lucu, lebih jujur, dan lebih masuk akal.
Lalu muncullah orang-orang yang mengaku “pejuang kebenaran akal sehat”, padahal surat domisilinya masih di negeri angan-angan. Kampungnya pun fiktif, dusun Halusinasi, Kecamatan Overpede, Kabupaten Tak Tahu Diri.
Sebaliknya, justru datang dari ketidakpedulian. Orang pintar duduk di pojok, nyeruput kopi, sambil berkata pelan, cuek bebek..he..he, ente gak sadar kalau jadi bahan ketertawaan.”Lihatlah, sang badut tengah berpidato dengan mic mati dan spotlight redup. Saking gelapnya, bahkan akalnya tersandung”.
Dan ketika panggung sudah bubar, sound system dimatikan, dan para penonton pulang tinggallah si “pahlawan kesiangan” sendirian. Bingung, lalu marah-marah ke kursi kosong dan mic yang tak lagi hidup, seperti orang yang datang ke hajatan padahal undangannya salah hari, salah kostum, dan bawa amplop kosong.
Ia pun menyalahkan semuanya, wartawan dianggap konspirasi, dosen dianggap S-3 pun gak ada artiya. Kucing lewat pun dibilang intel. Padahal yang salah cuma satu dia tak pernah bercermin, dan kalaupun bercermin, kacanya retak.
Kita tak butuh pahlawan yang datang pas nasi sudah basi, kita juga tak butuh badut yang suka sok serius di depan kamera, tapi sesungguhnya sedang menutupi kepanikan personal. Rakyat itu bukan penonton sirkus mereka pembayar tiket kehidupan nyata. Mereka tak butuh drama, mereka butuh logika.
Kalau mau jadi pemimpin, belajarlah lebih dulu. Kalau mau jadi panutan, jangan mempermalukan diri sendiri. Jangan jadi tokoh utama dalam sinetron kebodohan, yang bahkan penulis skripnya malu mengakuinya.
Karena dunia ini bukan panggung sirkus sembarangan. Dan negeri ini serius, ya sudah terlalu sering jadi tempat latihan bagi yang belum lulus ujian berpikir.
Kita juga tak kekurangan orang pintar, yang kita kekurangan adalah orang yang tahu kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara masuk akal. Negeri hingga pelosok ini butuh pemikiran jernih, bukan jeritan galau dari panggung dadakan. Bukan pula drama korek api dan jenggot gosong tiap minggu.
Kalau mau jadi pahlawan, datanglah sebelum api membesar bukan setelah rumah kebakar lalu selfie di depan puing-puing sambil bilang “Saya prihatin”. Kalau ingin bicara atas nama rakyat, belajarlah dulu menjadi rakyat biasa bukan cuma pakai baju lusuh buat konten lalu pulang naik mobil dinas.
Dan buat yang diam tapi sebenarnya tahu sesekali bolehlah kita angkat suara. karena diam terlalu lama bisa bikin panggung diisi terus sama badut yang merasa dirinya jenius. Jangan sampai negeri hingga kampung jadi seperti warung kosong yang dikuasai orang yang salah air tinggal seteko, tapi yang ngoceh kayak mau buka cabang.
Akhir kata, mari kita doakan semoga para badut dadakan segera sadar bahwa dunia ini bukan TikTok 24 jam. Dan semoga korek pinjemannya dikembalikan, sebelum jenggot palsunya bikin kebakaran lebih besar.[***]