MALAM Jumat, pukul 23.50 WIB, kondisi sunyi senyap seperti hati mantan yang belum move on. Di luar rumah, cuma suara kodok yang ribut kayak lagi rapat RT. Saya duduk sendirian di meja makan, lampu dapur remang-remang, menghisap sebatang rokok ditemani laptop tua merek Acer yang udah 7 tahun yang selalu setia, meski engselnya bunyi kriyet-kriyet tiap dibuka. Di pojok ruangan, suara kulkas berdengung kayak pesawat mau lepas landas, ditambah AC yang kadang ngasih angin, kadang cuma bunyi.
Dalam kondisi seperti ini di tengah kesepian, kode freon, dan nostalgia RAM 4GB saya iseng buka situs Kemenparekraf. Eh, malah kejebak baca satu artikel yang judulnya bikin mikir ulang hidup Pidato Peradaban World Disorder and The Future of Our Civilization. Waduh, ini mah bukan artikel biasa, isinya berat banget kayak skripsi anak filsafat yang habis nonton film “Interstellar” tiga kali.
Ini semacam surat cinta buat umat manusia, bahkan ini adalah semacam GPS moral. Apalagi yang pidato mantan Presiden RI ke-6, Pak SBY, yang 30 Juli kemarin tampil layaknya Gandalf dari Pacitan, memberikan wejangan soal nasib peradaban dunia, lengkap dengan musik, lukisan, dan tentu saja keresahan mendalam, malam itu pastinya jadi malam perenungan peradaban.
Bahkan acara ini bukan sekadar seminar sambil makan snack risol. Ini kayak campuran TED Talk, konser galau, dan pameran seni spiritual. Ada pidato, ada lukisan “Stop War”, ada lagu “Save Our World”, dan yang paling penting ada pesan moral bahwa dunia ini makin ruwet kayak kabel headset di saku celana. Pak SBY menyebut bahwa kita sedang menghadapi global disorder, atau kalau bahasa warungnya semesta lagi masuk angin berat.
Beliau menyebut empat tsunami besar yang bisa bikin peradaban ini tumbang kayak domino globalisasi ekonomi, badai teknologi, kerusakan lingkungan, dan pergeseran nilai budaya. Serius, ini bukan cuma masalah kurangnya sinyal Wi-Fi atau harga cabai naik, tapi krisis identitas kolektif manusia! Dan di sinilah momen dramatisnya Pak SBY bilang, tanpa keadilan dan demokrasi, peradaban hanyalah kuda lumping yang nari-nari tanpa musik. Ngeri-ngeri sedap, bro.
Di sinilah menariknya kalau kita tarik mundur, era 90-an ke bawah, orang nonton berita cuma dari TVRI atau majalah Intisari. Gosip dikumpulin dari pos ronda, bukan algoritma. Dunia masih terasa pelan, tapi manusia punya waktu untuk merenung. Sekarang? Semua serba cepat, tapi justru bikin mental gampang ngadat. Ini bukan berarti kita anti-kemajuan, tapi perlu sadar kemajuan tanpa arah itu bisa jadi muter-muter kayak spinner rusak.
Tiba-tiba muncul Menteri Ekraf kita, Teuku Riefky Harsya, yang langsung gas pol ikut bicara tentang pentingnya sektor kreatif buat nyelametin peradaban. Bayangin ya, dunia ini lagi gonjang-ganjing kayak film “The Day After Tomorrow”, eh Indonesia malah nyodorin ekonomi kreatif sebagai solusi. Tapi makin dipikir-pikir, iya juga sih. Kalau nggak ada konten kreatif, mungkin anak-anak kita bakal belajar sejarah lewat video TikTok yang isinya joget Napoleon dan podcast tentang Kerajaan Majapahit ala stand-up comedy.
17 subsektor ekraf
Menurut Pak Menteri, 17 subsektor ekonomi kreatif itu bisa jadi semacam “candi digital” yang menyatukan masa lalu dan masa depan, lokal dan global, angklung dan AI. Misalnya, batik bisa dikolaborasikan dengan teknologi NFT. Atau kuliner tradisional jadi konten mukbang Go Internasional. Asal jangan kue klepon dikasih boba aja, itu sudah keterlaluan.
Tentu saja, di balik semua guyonan ini, ada pesan serius ekonomi kreatif itu bukan cuma jualan totebag di festival kampus. Ini soal martabat bangsa. Kata Pak Menteri, kalau ekosistemnya kuat, kreator dilindungi hak ciptanya, dan ada pelatihan yang bener, maka sektor ini bisa jadi mesin peradaban. Bisa jadi bantalan ekonomi saat industri lain megap-megap karena perang, krisis iklim, atau alien datang nyari BTS.
Yang menarik, pidato ini juga mengangkat pentingnya karakter, spiritualitas, dan nilai kebangsaan. Ini semacam reminder halus bahwa meskipun kita udah bisa bikin robot nyanyi dangdut, tapi kalau lupa jati diri, ya ujung-ujungnya jadi bangsa bingung. Istilah orang tua “Pinter boleh, tapi jangan sampe ilang pekerti”. Atau dalam pepatah Betawi “Kalau lu kagak tau asal usul, ntar dikira spanduk nyasar”
Menko Infrastruktur AHY pun tak mau ketinggalan. Beliau bawa bendera “konektivitas” ke panggung peradaban. Intinya, kalau semua daerah terhubung dan sentra ekonomi baru tumbuh, maka Indonesia bisa jadi negara yang kuat kayak nasi uduk di pagi hari beragam isinya, satu tujuannya. Kolaborasi global jadi kata kunci, karena peradaban itu bukan urusan satu negara doang. Ini kerja bakti antarplanet!
Jadi kalau mau jujur, pidato ini kayak nasi bungkus dari luar kelihatan sederhana, tapi isinya komplit. Ada ayam (nilai moral), sambel (kritik global), tempe (ekonomi kreatif), dan kerupuk (kebudayaan digital). Kita cuma perlu ngunyahnya pelan-pelan, jangan asal telan, supaya bisa mencerna arah peradaban dengan kepala dingin dan hati hangat.
Oleh karena itu, sobat kreatif sekalian, kalau dunia lagi demam global dan peradaban masuk angin, jangan cuma diam sambil update IG. Mari kita bawa imajinasi, inovasi, dan identitas lokal ke panggung dunia, karena kadang, penyelamat peradaban bukan datang dari laboratorium NASA, tapi dari studio kecil di pinggiran kota, tempat seorang anak muda bikin animasi tentang kisah kucing hilang yang nyasar ke planet Mars.
Karena peradaban itu soal pilihan, mari jaga akal sehat, rawat imajinasi, dan jangan lupa ngopi. Peradaban butuh kita bukan hanya yang pintar, tapi juga yang waras dan nyeni, dan hari ini, kita punya pilihan untuk tidak jadi penonton sejarah. Setuju?[***]