Sumselterkini.co.id, – Di era ketika anak-anak lebih kenal Elsa ketimbang Cindelaras, lebih apal nama idol Korea daripada pahlawan nasional, siapa sangka ada seekor lutung yang bisa bikin kita bangga lagi sama kisah sendiri? Bukan lutung yang main lempar-lempar pisang di kebun binatang, tapi Lutung Kasarung, kisah klasik dari tanah Sunda yang kini tampil mentereng dalam bentuk drama musikal di panggung mewah Ciputra Artpreneur, Jakarta.
Pertunjukan ini bukan cuma soal nyanyi dan joget, tapi soal bagaimana caranya sebuah dongeng dari zaman nenek moyang bisa disulap jadi tontonan yang bikin anak muda rela lepas ponsel sejenak. Bahkan Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar saat menyaksikan pertunjukan belum lama ini sampai terharu, kalau bisa, mungkin beliau langsung nyumbang kostum. Tapi tenang, beliau cukup menyumbang apresiasi dan komitmen dukungan.
Kata beliau, ini ibarat sekali mendayung dua tiga monyet terlampaui. Pertunjukan ini melestarikan budaya sekaligus menggerakkan ekonomi kreatif. Ya betul juga sih, kalau dulu seni dianggap urusan pengangguran dan pelipur lara, sekarang seni justru bisa bikin lara jadi lara yang berdaya.
Sama seperti Broadway punya The Lion King yang menampilkan kisah si Simba dengan efek panggung yang bikin bulu kuduk berdiri, kita sekarang punya Lutung Kasarung, pangeran yang dikutuk jadi monyet dan tetap laku dicintai. Kisah ini relatable banget, apalagi buat para jomblo yang lagi merasa dikutuk nasib.
Coba bayangkan, Lutung Kasarung tampil di luar negeri dibikin versi Jepang, judulnya mungkin Saruwatashi Kiseki no Hutan. Atau kalau dibikin versi Korea, jadi Oppa Lutung Saranghaeyo. Bisa jadi viral, trus fansnya bikin fandom Lutungers. Merchandise-nya laris boneka lutung unyu-unyu dan baju bertuliskan Kasarung But Not Forgotten.
Tapi semua ini butuh ekosistem yang solid. Bukan cuma semangat 45 dan modal seplastik rujak, tapi dukungan dari pemerintah, swasta, dan masyarakat. Harus ada jembatan antara seniman dan pasar, bukan cuma jembatan yang dibangun buat peresmian terus ditinggal longsor.
Kalau monyet bisa nyanyi, berdandan, dan tampil di bawah cahaya spotlight, masak kita masih nunggu panggilan kerja sambil nonton reels motivasi? Pertunjukan ini jadi bukti bahwa cerita lokal, jika dikemas kreatif, bisa jadi kendaraan prestise dan prestasi.
Bayangkan kalau semua daerah meniru konsep ini. Kalimantan bikin Legenda Batu Menangis the Musical, Jawa Tengah bikin Jaka Tarub & the 7 Angels Live in Concert, atau Sumsel bikin Si Pahit Lidah Got Talent. Tiket ludes, UMKM laris, warung bakso depan gedung pertunjukan ikut naik omzet. Ini baru namanya ekonomi kreatif yang merakyat.
Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan budaya seperti sepupu jauh diakui saudara tapi nggak pernah diajak kondangan. Cerita seperti Lutung Kasarung itu seperti warisan nenek yang lama disimpan di peti kayu, padahal isinya berlian. Jangan cuma disimpan dan ditulis di buku pelajaran yang dilem sambil ngantuk.
Kita harus belajar dari pertunjukan ini. Bahwa kekayaan lokal kita itu bisa bersaing, bukan cuma soal heritage, tapi juga branding. Bayangkan kalau semua cerita lokal bisa dipoles dan dipasarkan dengan gaya modern, bukan cuma anak-anak kita yang bangga, tapi juga dunia yang ternganga.
Ekonomi kreatif bukan cuma tentang membuat karya, tapi juga membuka jalan jalan ke panggung dunia, ke dompet rakyat, bahkan ke hati investor. Kalau ini terus kita dukung, bukan tidak mungkin di masa depan kita punya Broadway versi Nusantara dengan cerita yang lebih banyak makan sambal dan pakai batik, tapi bikin dunia kagum dan penonton tepuk tangan sambil bilang, “This is genius! I cried when the monkey sang!”
Maka mari kita jadikan budaya sebagai kendaraan ekonomi, bukan sekadar ornamen 17-an. Biar lutung tidak lagi kasarung, tapi jadi bintang yang bersinar bukan di pohon, tapi di panggung internasional. Dan kalau nanti kita melihat Lutung Kasarung tampil di New York, jangan lupa semua berawal dari cinta pada cerita sendiri, dan keberanian menjadikannya panggung dunia.
Dan terakhir, ingatlah pepatah baru dari rakyat Indonesia modern “Yang megang budaya, kelak akan megang dunia. Yang nonton sambil nyinyir, kelak tetap jadi penonton saja.”[***]