KATA orang tua zaman dulu, “Gulai bisa basi, tapi adat jangan sampai mati”, benar saja, di era ketika anak-anak lebih fasih nyebut nama member boyband Korea daripada jenis tarian daerahnya sendiri, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) muncul seperti superhero budaya dengan jubah songket dan senjata rahasia bernama Gelumpai Bilah Seratus.
Sementara banyak daerah mulai bingung membedakan antara Cagar Budaya dan kue garpu, Muba justru tancap gas melestarikan Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dan Cagar Budaya dengan semangat setara konser Coldplay bedanya ini tanpa tiket mahal.
Di bawah kepemimpinan Bupati H. M. Toha, Muba tak cuma memeluk adat dalam seremoni. Mereka mendokumentasikan, mengajukan ke kementerian, sampai menggandeng tokoh adat dan budayawan lokal untuk menyelamatkan identitas budaya yang mulai tersisih oleh konten viral.
Di Ruang Rapat Serasan Sekate, para tokoh adat, seniman, hingga pejabat berkumpul bukan untuk nonton sinetron bareng, tapi membahas warisan budaya dengan serius. Gelumpai Bilah Seratus, Tari Burung Putih, dan Rumah Pangeran Anang Mahidin jadi topik utama.
Tak lupa, diselipkan pertanyaan eksistensial “Kalau bukan kita, siapa lagi yang jaga budaya ini?, jangan sampai nanti anak cucu kita -kira Rumah Adat itu konten prank.”
Upaya Muba ini bukan angin lalu, lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, mereka menyusun strategi penguatan identitas budaya, dari sekolah sampai media sosial. Di sekolah-sekolah, muatan lokal disuntikkan lebih kuat dari kopi tubruk.
Anak-anak diajak mengenal tarian daerah bukan cuma lewat buku usang, tapi lewat festival budaya, lomba kostum adat, hingga konten TikTok berjudul “Ngajarin Nenek Joget Tari Burung Putih” yang ternyata viral sampai ke kecamatan tetangga.
Menurut data dari Kemendikbud, hanya sebagian kecil warisan budaya lokal di Indonesia yang sudah terdokumentasi dan diakui secara nasional. Di sinilah Muba menyusup seperti intel budaya. Mereka ajukan puluhan karya budaya ke daftar Warisan Budaya Takbenda.
Hasilnya? Beberapa sudah resmi diakui, sisanya dalam proses. Ini ibarat daftar tunggu haji, tapi untuk budaya. Setidaknya, mereka bukan cuma diam sambil bilang “Duh, zaman sekarang beda ya,” lalu lanjut main catur di pos ronda.
Cagar Budaya di Muba juga tak luput dari sentuhan. Rumah Pangeran Anang Mahidin bukan sekadar bangunan tua yang jadi tempat selfie. Bangunan ini kini masuk dalam program revitalisasi, diberi papan informasi yang lebih informatif dari caption influencer, dan dilibatkan dalam kegiatan edukatif seperti kelas sejarah terbuka. Anak-anak tak lagi cuma tahu kisah pangeran dari negeri dongeng, tapi juga dari rumah yang jaraknya cuma selemparan sandal dari rumah mereka sendiri.
Muba juga sadar, pelestarian budaya tak bisa dijalankan hanya dengan niat baik dan doa bersama. Perlu dana, strategi, dan kampanye kreatif. Maka muncullah kolaborasi lintas sektor. UMKM lokal diajak memproduksi suvenir budaya. Generasi muda dilibatkan jadi duta adat. Bahkan muncul ide pertunjukan malam “Wayang di Tengah Sawah” yang katanya bisa ngalahin konser dangdut keliling.
Tokoh adat di Muba juga bukan cuma pemanis upacara. Mereka jadi mitra diskusi pemerintah, dilibatkan dalam penyusunan kurikulum budaya, dan menjadi narasumber tetap di berbagai workshop kebudayaan. Salah satu tokoh adat, Pak Ujang Gelumpai, bahkan sempat viral karena pidatonya tentang pentingnya budaya yang diakhiri dengan pantun “Kalau adat tinggal cerita, anak cucu kehilangan arah; kalau budaya kita jaga, masa depan tetap cerah.”
Di sisi lain, upaya pelestarian ini juga membawa manfaat ekonomi. Pariwisata berbasis budaya mulai bergeliat. Wisatawan lokal dan luar daerah mulai berdatangan ke festival budaya Muba. Ada juga program homestay di desa adat, di mana tamu bisa belajar masak gulai tempoyak sambil dengar cerita sejarah dari nenek-nenek setempat yang lebih bijak dari algoritma Google.
Namun tentu saja, tantangannya masih banyak. Mulai dari minimnya dokumentasi sejarah tertulis, generasi muda yang lebih tergoda main Mobile Legends daripada belajar sejarah lokal, sampai kendala anggaran dan cuaca ekstrem. Tapi seperti pepatah Melayu, “Sekali dayung, adat dan masa depan terlampaui.” Muba tampaknya tidak mau tenggelam dalam romantisme masa lalu. Mereka menjemput masa depan dengan membawa serta pusaka budaya di pundak.
Di tengah gempuran globalisasi, pelestarian budaya tak bisa sekadar jadi agenda seremonial tahunan. Ia harus hidup dalam keseharian, relevan bagi generasi muda, dan punya nilai tambah ekonomi. Kabupaten Musi Banyuasin memberi contoh bahwa menjaga budaya bukan pekerjaan kuno, tapi aksi strategis yang membutuhkan kolaborasi, kreativitas, dan keberanian.
Kalau anak-anak hari ini bisa hafal lagu BTS tanpa subtitle, maka mereka juga pasti bisa menghafal lirik pantun tradisional asal diajarkan dengan cara yang tak kalah menarik. Jangan biarkan budaya lokal jadi fosil Instagram. Sebaliknya, jadikan ia living heritage yang bisa berdansa di antara reels dan feed.
Pesan moralnya? Budaya bukan sekadar warisan, tapi bekal masa depan. Kalau generasi sekarang tak mau belajar budaya sendiri, jangan kaget kalau kelak mereka pulang kampung cuma untuk foto doang lalu balik ke kota dengan caption, “Di sinilah nenekku dulu pernah rebahan.”
Jangan tunggu budaya jadi konten horor karena dianggap kuno. Rawatlah ia, hidupkan ia, dan kalau perlu bikin versi sinetronnya. Minimal, anak cucu kita tahu bahwa tari Burung Putih itu bukan dance challenge TikTok, tapi bukti bahwa daerah ini punya sayap, bukan cuma followers.[***]