DALAM Islam, persaudaraan kemanusiaan dibangun secara inklusif dilandasi prinsip kesamaan derajat manusia, kemaslahatan dan tolong menolong. Kehidupan masyarakat yang ditandai oleh adanya jurang antara si kaya dan si miskin, antara si kuat dan si lemah, adalah kehidupan yang tidak etis. Kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang jauh dari nilai-nilai akhlak yang luhur. tulis Prof. Dr. H. A. Mukti Ali dalam buku Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam (Bandung: Mizan, 1991).
Persaudaraan kemanusiaan sejati yang ajarkan Islam berbeda jauh daripada hubungan transaksional dimana relasi antarmanusia diukur dari sisi untung-rugi secara materi. Rasulullah SAW menegaskan dalam Hadisnya, Perumpamaan seorang mukmin terhadap mukmin lainnya dalam saling mengasihi, saling menyayangi, saling menyantuni, adalah seperti satu tubuh, apabila satu bagian dari tubuh itu menderita sakit, seluruh tubuh merasakannya. (HR Muslim)
Sejalan dengan itu Islam menetapkan kewajiban menunaikan zakat bagi muslim dan kegiatan usaha milik orang Islam yang telah mencapai nishab (batas harta kekayaan wajib zakat). Zakat merupakan ibadah sosial yang memainkan peran sebagai nilai instrumental ekonomi Islam.
Dr. Musthafa As Shibai dalam buku Masyarakat Islam (judul asli: Isytirakiyyatul Islam) mengemukakan, Islam menghormati hak milik perseorangan, namun di samping itu, menentukan bagian tertentu dari kekayaan seseorang untuk memenuhi kepentingan umum, di mana pemerintah dibenarkan untuk mengambil kekayaan perseorangan untuk dipergunakan sebagai jaminan sosial.
Pada waktu Rasulullah SAW membangun umat dan negara kota Madinah abad ke-7 M hingga kemudian meluas ke seluruh dunia telah mempraktikkan peran negara dalam memungut zakat. Pada zaman kenabian yang dilanjutkan khalifah pertama dan khalifah kedua, pemerintah menangani secara langsung pengumpulan dan pendistribusian zakat dengan mandat kekuasaan.
Zakat menjadikan kehidupan umat Islam lebih terjamin, terutama dari sisi kesejahteraan dan keadilan dalam pemenuhan hak-hak orang miskin. Setelah tegaknya sistem zakat, Islam lantas mengharamkan umatnya meminta-minta karena kemiskinan. Nabi Muhammad SAW mengingatkan, siapa yang meminta-minta mukanya akan gelap di hari kiamat. Mungkinkah peringatan di atas dapat diindahkan oleh orang miskin sekiranya sistem pemerataan rezeki dan jaminan sosial melalui zakat tidak berjalan sebagaimana mestinya?
Mohammad Natsir dalam salah satu tulisannya melukiskan, mereka yang menerima zakat itu, menerima hak mereka, bukan hutang budi. Dan pihak yang memberi, memberikannya dalam rangka menunaikan suatu kewajiban terhadap Ilahi dan terhadap sesama manusia. Tangan yang memberi dan tangan yang menerima adalah dua tangan yang sama terhormat.
Pendistribusian zakat kepada yang berhak (mustahiq) adalah sebuah tindakan konkrit untuk menimbun jurang kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Syariat Islam tentang zakat membawa misi pembebasan orang miskin dari kemiskinan dan kemelaratan.
Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, Islam mendorong setiap muslim supaya bekerja dalam rangka panggilan kewajiban sebagai khalifah dan hamba Allah di bumi. Muslim yang baik adalah yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan menginfakkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Sementara di sisi lain, Islam mengangkat derajat orang-orang fakir dan miskin supaya berkemampuan sebagai manusia yang produktif dan tidak selamanya menjadi beban masyarakat.
Peranan zakat sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan di negara kita yang berdasarkan Pancasila telah terwadahi melalui pengaturan Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan pelembagaan pengelola zakat dalam hal ini BAZNAS dan Lembaga-Lembaga Amil Zakat lainnya sesuai regulasi. Pengelolaan zakat secara terstruktur adalah sebagai upaya untuk mengoptimalkan potensi dana umat yang berasal dari zakat.
Penerapan manajemen modern dan standar profesionalisme menjadi keniscayaan dalam pengelolaan zakat, tapi bukan berarti mengubah sifat dan tujuan hakiki pengelolaan zakat. Semangat utama atau ruh zakat” ialah semangat memperjuangkan keadilan sosial. Semangat itulah yang harus senantiasa mewarnai seluruh kebijakan dan tindakan operasional seluruh lembaga pengelola zakat. Dana zakat, infak dan sedekah yang diterima oleh amil zakat dari muzaki, bukanlah milik lembaga dan untuk membesarkan lembaga, melainkan milik fakir miskin dan asnaf lain yang membutuhkan.
Ramadhan adalah momentum baik untuk menumbuhkan kesadaran berzakat dan kedermawanan sebagai bentuk pemuliaan sesama ciptaan-Nya. Wallahu alam bisshawab.(***)