DUNIA perumahan itu sebuah hajatan kampung, maka developer besar biasanya jadi tuan rumah yang nyediain tenda dan kursi. Tapi jangan salah, tanpa ibu-ibu yang masak di dapur, hajatan bisa bubar jalan. Dalam ekosistem perumahan, ibu-ibu dapur itu ya… toko bangunan dan UMKM kecil. Mereka yang jual semen, pasir, cat, sampai paku, barang-barang yang kalau nggak ada, rumah impian tinggal jadi gambar di brosur.
Sekarang bayangin, pemerintah lagi bagi-bagi amplop kondangan lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan. Bedanya, ini bukan buat belanja baju lebaran, tapi buat modal kerja. Bunganya disubsidi pemerintah, jadi lebih ringan. Mirip kayak warung kopi yang kasih promo beli satu gratis segelas air putih, tetap saja menguntungkan buat pelanggan.
Ambil contoh Yasin, pemilik toko bangunan dari Cirebon, katanya, dia siap banget ambil KUR Perumahan, buat Yasin, modal segar itu ibarat tabung gas cadangan bikin kompor usaha nggak gampang padam. Lalu ada Ita dari Garut, seorang pengembang rumah subsidi. Tahun ini dia bangun 213 unit, tapi dengan KUR, targetnya bisa melonjak jadi 500 unit. Coba bayangin, dari 213 jadi 500, itu kayak kamu niat buka warung pecel lele cuma satu lapak, eh tiba-tiba punya cabang di lima kota.
Cerita mereka ini menunjukkan satu hal, KUR Perumahan bukan cuma bancakan untuk konglomerat properti, tapi bisa jadi bensin oktan tinggi buat motor ekonomi kecil yang sehari-hari mondar-mandir di jalan kampung.
Pernah dengar pepatah “sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit”?. Nah, di sektor perumahan, pepatah itu berlaku banget, setiap satu rumah dibangun, puluhan karung semen terjual, ratusan batang kayu berpindah tangan, ribuan paku masuk ke ember tukang.
Efek bergandanya dahsyat, sopir truk dapet setoran, warung nasi di dekat proyek kebanjiran pembeli, bahkan tukang tambal ban di pojokan pun kecipratan rezeki.
Artinya, KUR Perumahan bukan sekadar kredit, tapi seperti jaring ikan yang sekali tebar bisa nangkep banyak, modal cair ke toko bangunan, toko bangunan jual barang ke pengembang, pengembang bayar tukang, tukang belanja di warung. Roda berputar, ekonomi lokal berdendang.
Tapi tunggu dulu, program bagus itu sering kandas di lapangan gara-gara birokrasi ribet, syarat kredit tebalnya bisa ngalahin skripsi mahasiswa, prosesnya lama kayak antre berobat gratis. Padahal UMKM butuh cepat, sederhana, jelas, jangan sampai KUR Perumahan yang harusnya jadi motor malah berubah kayak sepeda ontel ban kempes, jalannya seret, bikin ngos-ngosan.
Pepatah Jawa bilang “Alon-alon asal kelakon”, betul sih, tapi kalau soal ekonomi, alon-alon bisa bikin proyek mandek. Ingat, tukang bangunan nggak bisa nunggu lima bulan hanya karena formulirnya kurang tanda tangan RT, jadi, perbankan harus bisa kayak kasir minimarket: gesek kartu, langsung bunyi ting modal masuk.
KUR Perumahan ini pada dasarnya bentuk gotong royong modern, pemerintah kasih subsidi bunga, bank salurkan kredit, UMKM manfaatkan, rakyat punya rumah. Semua pihak pegang sendok masing-masing di dapur besar pembangunan, kalau salah satu sendok hilang, masakannya hambar.
Jadi jangan heran kalau menteri sampai keliling sosialisasi ke kampus, asosiasi, bahkan hotel-hotel, karena program ini baru pertama kali ada dalam sejarah Indonesia merdeka. Ibarat baru buka warung sate pertama di kota harus gencar promo biar pembeli datang, jangan sampai ayamnya gosong tapi nggak ada yang makan.
Program sebesar Rp 130 triliun akan percuma kalau nggak menyentuh orang-orang seperti Yasin dan Ita. Jangan sampai kredit ini cuma mampir ke developer gede yang sudah kenyang modal. Ingat pepatah Minang “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan amal”.
Nah, pemerintah pun akan diingat bukan dari berapa kali pidato soal KUR, tapi sejauh mana program itu bikin rakyat kecil senyum karena punya rumah dan punya kerja.
Pada akhirnya, rumah itu bukan sekadar tembok dan atap, rumah adalah simbol kemandirian, dan di balik setiap rumah, ada toko kecil yang jual semen, ada sopir yang nganter pasir, ada tukang yang keringetan pasang bata. KUR Perumahan harus jadi bensin agar motor ekonomi kecil bisa terus ngebut, bukan mogok di tikungan.
Kalau ini berhasil, kita akan melihat perumahan bukan lagi sekadar proyek, tapi hajatan nasional, dari rakyat, untuk rakyat, dengan cara gotong royong. Jadi, jangan ragu kasih akses modal ke toko bangunan di pojokan desa, karena dari situlah semen berubah jadi senyum, dan paku kecil bisa ikut memaku kokoh masa depan bangsa.[***]