KAMU udah tiga kali pindah kos karena harga sewa nambah terus tiap Lebaran, atau pernah bikin tenda dari spanduk bekas karena KPR serasa mimpi basah yang tak pernah basah, berarti ini saatnya kamu kenalan sama satu jurus jitu perumahan berbasis koperasi.
Lho, emangnya bisa?
Bisa banget, kata Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono, pas hadir di acara Festival Pamer Kampung Kota dan peresmian Model Koperasi Perumahan di Yogyakarta (13 Juli 2025).
Beliau datang bukan cuma buat selfie sama backdrop atau ngicip pastel di stand UMKM, tapi beneran niat ngajak rakyat jelata termasuk kita-kita ini, buat ngonsep rumah idaman bareng komunitas, bukan ngandelin cicilan 25 tahun yang bikin uban tumbuh lebih dulu daripada pagar rumah.
“Komunitas itu sebenarnya udah punya basis koperasi. Jadi kenapa nggak sekalian bikin rumah bareng-bareng? Dari tanahnya, bangunannya, sampe pengelolaannya bisa gotong royong,” kata Pak Wamenkop.
Nah ini, konsep rumah gotong royong! Bukan gotong royong narik utang, tapi gotong royong bikin hunian! Asli, ini kayak arisan emak-emak tapi hadiahnya bukan rice cooker, melainkan sertifikat rumah.
Biasanya yang jadi developer kan perusahaan yang iklannya ada di TV, ngasih gambar rumah dua lantai tapi begitu datang, dapurnya bisa digeser pakai kaki. Tapi koperasi ini beda! Ia bukan cuma jadi pengembang alias developer, tapi juga jadi penggerak masyarakat, pengelola bahan bangunan, dan bahkan bisa mengatur skema pembiayaan yang ngga bikin dada sesak tiap akhir bulan.
Bayangin, kamu dan komunitasmu punya koperasi, koperasi itu yang beli tanahnya, bangun rumahnya, dan atur pembiayaannya. Modalnya? Dari simpanan wajib yang disepakati bareng. Bukan dari utang ke tengkulak atau pinjaman online yang bunganya bisa bikin dompet lemes kayak tahu direndam.
Contohnya udah ada lho, Rumah Flat Menteng di Jakarta Pusat, ini bukan gosip kompleks, tapi kenyataan. Warga di sana, berbekal koperasi, bisa punya rumah bertingkat yang legalitasnya jelas Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama koperasi. Ini bukan sekadar hunian, tapi komunitas yang solid kayak balok LEGO.
Jangan kira cuma Indonesia yang mikir gini, di Norwegia, misalnya, 15% dari total perumahan dikembangkan oleh koperasi.
Di Kanada, model cooperative housing udah jadi bagian penting dalam solusi perumahan kota besar seperti Toronto dan Vancouver.
Bahkan di Jerman, yang terkenal dengan presisi dan sosis bratwurst-nya, ada sistem Baugruppen (kelompok bangun rumah) yang mirip koperasi, warga patungan buat bangun rumah bersama sesuai kebutuhan.
Jadi kalau orang luar negeri aja bisa patungan buat bikin rumah tanpa drama, masa kita kalah yang katanya budaya gotong royong udah jadi sarapan sejak jaman batu?.
Kenapa Harus Koperasi?
Karena koperasi itu kayak teman lama yang selalu siap bantu, bukan minta utang. Dia dibangun dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota.
Dalam hal ini, untuk punya rumah. Jadi kamu nggak cuma ngontrak terus sampe anakmu jadi anak kos juga. Kamu bisa punya rumah dari keringat sendiri dan gotong royong sesama warga.
Kata pepatah lama “Di mana ada kemauan, di situ ada tukang bangunan”, tapi kita tambahin dikit “…dan di situ juga ada koperasi yang siap bantuin”.
Sekarang pertanyaannya, kamu udah ngapain bareng komunitasmu selain ngumpul makan bakso dan arisan tupperware? Kenapa nggak mulai ngobrol soal perumahan? Soal koperasi? Soal masa depan yang nggak harus ngontrak terus kayak orang lari dari masa lalu?.
Kata Wamenkop “Kita akan review regulasinya, akan kita koperasikan”. Artinya, pemerintah buka jalan, tinggal kita yang nyetir. Kalau kita terus nunggu developer turun dari langit, ya yang turun paling hujan cicilan, bukan rumah.
Jadi, teman-teman sekalian yang masih tidur di atas kasur lipat sambil mikir KPR, ini saatnya bangun. Rumah itu bukan cuma buat mereka yang punya warisan, tapi juga buat yang punya niat dan komunitas.
Mari koperasian! Supaya kelak, anak cucu kita bisa bilang “Kakekku nggak mewariskan utang, tapi rumah hasil gotong royong”.
Kalo nggak sekarang, kapan lagi? Koperasi bukan pilihan terakhir, tapi justru jalan tengah yang bikin hati senang, dapur tenang, dan cucian bisa dijemur dengan senyum.[***]