Politik

“Pilkada Ulang Empat Lawang Jangan Jadi Dendam Ulang”

ist

Sumselterkini.co.id,- Kalau PSU ini sukses, kita bisa bilang ke anak cucu. “Nenekmu dulu ikut nyoblos ulang, tapi tetap santun kayak minum teh di sore hari.” Tak ada gebrak meja, tak ada dorong-dorongan di TPS, dan tak ada serangan fajar yang bikin amplop lebih ramai dari daftar hadir. Semua tenang, adem, dan damai. Inilah demokrasi yang kita idam-idamkan bukan cuma ramai saat kampanye, tapi tetap rukun saat hasil diumumkan.

Tapi tentu itu semua tidak akan tercapai kalau PSU (Pemungutan Suara Ulang) di Kabupaten Empat Lawang malah berubah jadi Panggung Sinetron Umum. Harusnya ini ajang untuk memilih pemimpin masa depan, bukan lomba saling jegal dan perang baliho. Kalau masyarakat masih ribut karena beda pilihan, berarti kita belum lulus dari ujian dasar demokrasi.

PSU juga bukan sekadar ulangan coblos, tapi ujian kedewasaan politik. Ibarat nyetir mobil, ini bukan soal siapa yang paling ngebut, tapi siapa yang bisa sampai tujuan tanpa nyerempet orang lain. Bahkan Pilkada  bukan sekadar rebutan kursi, tapi soal siapa yang layak duduk dan kuat berdiri dalam menghadapi amanah rakyat. Dan di sinilah letak pentingnya menjaga kondusifitas. Kalau suasana panas, emosi meletup, bisa-bisa PSU ini bukan Pemungutan Suara Ulang, tapi Panggung Sirkus Ugal-ugalan.

Gubernur Sumsel, Herman Deru, sudah pas banget gayanya. Netral, tegas, dan tidak malu-malu bilang bahwa ASN yang nakal akan kena sanksi. Mantap!. Tapi tantangannya bukan cuma soal ASN atau aparat, melainkan bagaimana masyarakat bisa menikmati pesta demokrasi tanpa takut-takut, tanpa embel-embel amplop, dan tanpa teror di ujung jalan.

Kalau kita ingin Empat Lawang naik kelas, bukan cuma soal aspal mulus dan jembatan kuat, tapi juga proses demokrasi yang matang dan bermartabat. Bayangkan saja, di Finlandia sana, pemilu bisa berjalan tanpa satupun aparat bawa senjata. Lha di sini, PSU aja sampai harus dideklarasikan damai, seolah-olah ini mau perang Padri jilid dua. Padahal yang kita cari cuma pemimpin, bukan gladiator.

Mari kita belajar dari desa kecil di Islandia. Warga di sana bahkan bisa saling tukar makanan waktu pemilu, bukan saling tukar sindiran dan spanduk sobek-sobekan. Di beberapa negara Skandinavia, anak muda ikut debat paslon di taman kota sambil bawa anjing dan es krim. Santuy, bro. Nggak ada yang pakai pengeras suara nyaringin telinga sampai ayam tetangga bertelur sambil ngamuk.

Di Indonesia, Empat Lawang bisa mencontoh Yogya punya tingkat partisipasi pemilih tinggi, warga cenderung dewasa dalam berpolitik, dan konflik antar pendukung sangat minimal. Bahkan, budaya guyub dan dialog di Yogya bikin suasana pemilu tetap adem kayak angkringan di malam hari, rame tapi santai. Pemilu di beberapa kabupaten seperti Bantul dan Sleman sering jadi rujukan karena pelaksanaannya tertib dan penyelenggaranya punya integritas.

Solo juga dikenal dengan proses pemilu yang tertib, partisipatif, dan minim hoaks. Bahkan saat Pilkada 2020, saat Gibran Rakabuming maju, banyak yang prediksi bakal panas. Tapi ternyata adem ayem, kayak sop buntut di siang mendung—hangat tapi nggak bikin keringetan. Bandung dan sekitarnya punya ekosistem pemilu yang cukup sehat, dengan partisipasi digital yang bagus dan komunitas pemantau pemilu yang aktif. Masyarakatnya kritis tapi tetap fair. Kalau debat antar pendukung pun, lebih sering lewat meme dibanding kericuhan fisik.

Bahkan yang lebih  salut lagi Kota Salatiga, sering masuk daftar kota paling toleran di Indonesia. Kalau toleran sudah mendarah daging, demokrasi pasti ikut adem. Di Salatiga, pemilu bukan jadi ajang permusuhan, tapi pesta yang diikuti tanpa kehilangan akal sehat. Dan terakhir bisa jadi contoh Makasar, meski pernah punya sejarah panas, tapi Makassar pelan-pelan menunjukkan kemajuan dalam kualitas demokrasi lokalnya. Ada perbaikan dalam netralitas ASN dan pengawasan pemilu yang lebih ketat.

Empat lawan pasti bisa dong, tinggal rakyat kudu cerdas, karena Empat Lawang punya sejarah sebagai daerah perjuangan pemekaran. Maka jangan kotori perjuangan itu dengan PSU yang penuh drama. Jangan sampai semangat otonomi daerah berubah jadi “otonomi drama”, di mana tiap kotak suara punya cerita horor masing-masing.

KPU dan Bawaslu sudah kerja keras, aparat keamanan juga sudah pasang badan. Tinggal satu yang dibutuhkan kedewasaan warga dalam memilih. Jangan cuma gara-gara kaos atau nasi bungkus, pilihan digadaikan. Ingat, pemimpin itu lima tahun, tapi nasi bungkus cuma lima menit.

Pesan untuk paslon

Dan pesan penting buat para paslon, kalau memang cinta rakyat, tunjukkan dengan cara elegan. Jangan saling jegal, saling sindir, atau saling serang di medsos kayak influencer rebutan endorse. Politik santun itu bukan lemah, tapi kuat dalam menahan diri dan bijak dalam berstrategi.

Jadi, mari kita jadikan PSU di Empat Lawang ini sebagai contoh demokrasi lokal yang layak dijual ke dunia Internasional. Biar desa di Swiss atau daerah lain di Indonesia bilang, “Liat tuh Empat Lawang, keren ya demokrasinya!” Kalau perlu, kita patenkan namanya jadi “Empat Lawang Model Demokrasi Tropis 2025”. he.he !

Kalau rendang aja bisa dimasak sampai empuk, masa demokrasi di Empat Lawang nggak bisa dibikin enak juga? Jangan mau kalah sama desa di Finlandia, cuy.

Kalau kamu setuju bahwa PSU ini bukan sekadar coblos-mencoblos, tapi ujian kedewasaan kita sebagai warga negara yuk, kawal prosesnya. Bukan cuma biar aman dan damai, tapi juga biar kita bisa bangga berkata. “Ini Empat Lawang, bukan sembarang lawang. Tapi lawang demokrasi yang terbuka untuk masa depan cerah.”

Karena, PSU ini bukan soal siapa yang menang hari ini, tapi soal siapa yang bisa membawa Empat Lawang naik kelas besok. Kita tidak butuh pahlawan palsu, tapi butuh pelayan publik sejati. Kalau PSU ini sukses, kita bisa bilang ke anak cucu.

“Nenekmu dulu ikut nyoblos ulang, tapi tetap santun kayak minum teh di sore hari.”. Bukan yang ikut ribut sampai sandal hilang di TPS. Karena sejarah itu ditulis bukan oleh yang paling keras suara sorakannya, tapi oleh yang bisa jaga akal sehat dan hati nurani.

Mari kita jaga Empat Lawang ini. Bukan cuma agar damai dan tertib, tapi agar bisa kita kenang sebagai daerah yang pernah gagal sekali, tapi bangkit dengan elegan dan dewasa sehingga suatu saat, daerah lain di Indonesia bilang “Tiru tuh Empat Lawang. PSU-nya rapi, hasilnya dipercaya, rakyatnya dewasa.”.[***]

Terpopuler

To Top