IKLIM demokrasi Indonesia sekarang ini semakin membaik. Indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) beberapa waktu lalu di London, Inggris, Indonesia termasuk negara dengan kinerja bagus dalam peningkatan demokrasi yang memberikan ruang berekspresi bagi warganya.
Menurut laporan lembaga media yang bergengsi itu, indeks demokrasi di Indonesia mencatat peningkatan terbesar kedua secara global – setelah Zambia. Pada 2020, indeks demokrasi Indonesia masih berada di peringkat 64. Pada 2021 lalu, peringkat RI melesat ke peringkat 52 dari 167 negara yang dikaji EIU.
Laporan indeks demokrasi Indonesia sepanjang 2021 itu, menunjukkan skor rata-rata 6,71. Skor itu naik dibandingkan dengan 2020, yakni 6,30. Penghitungan dari skala 0-10, makin tinggi skor, semakin baik iklim demokrasi suatu negara.
Di kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia mengungguli Filipina (6,62), Singapura (6,23), dan Thailand (6,04). Namun iklim demokrasi Indonesia masih di bawah Malaysia (7,24) dan Timor Leste (7,06).
Adalah Norwegia, dinobatkan sebagai negara paling demokratis di dunia dengan skor indeks demokrasinya tertinggi, yaitu 9,75. Capaian itu menjadikan Norwegia sebagai negara kampiun demokrasi sejagat dua kali berturut-turut. Pada 2020 silam, Norwegia meraih skor 9,81.
Indeks demokrasi tertinggi berikutnya adalah Selandia Baru (9,37), Finlandia (9,27), Swedia (9,26) dan Islandia (9,18). Negara yang selama ini dikenal sangat demokratis seperti Amerika Serikat, ternyata hanya mencatat skor 7,85 dan masih di bawah Perancis (7,99).
Sementara Afghanistan tercatat sebagai negara paling tidak demokratis. Negara itu menggeser Korea Utara dengan skor 0,32. Adapun lima negara paling bawah dalam indeks demokrasi 2021 adalah Republik Afrika Tengah (1,43), Republik Demokratik Kongo (1,40), Korea Utara (1,08), Myanmar (1,02), dan Afghanistan (0,32).
Dampak Pandemi COVID1-9
Sebenarnya, sebagian besar negara yang diteliti mengalami kemunduran demokrasinya – di antaranya faktor yang paling signifikan adalah gegara pandemi COVID-19. Banyak pemerintahan – termasuk pemerintahan negara yang maju demokrasinya – harus melaksanakan kebijakan yang represif terhadap sebagian besar warga yang tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan dalam upaya mengendalikan COVID-19.
Namun ada juga faktor lain yang memberikan kontribusi menurunnya indeks demokrasi.
Sebut saja Spanyol misalnya yang kini masuk dalam kategori negara yang cacat demokrasinya. Hal itu karena sistem peradilan di Negeri Matador sudah dianggap tidak lagi independen. Negara lain yang juga menurun indeks demokrasinya adalah Inggris.
Ada lima aspek yang diukur oleh EIU untuk menentukan indeks demokrasi sebuah negara, yaitu fungsi pemerintah, kebebasan sipil, partisipasi politik, proses elektoral, dan pluralisme.
Dari kelima aspek yang diteliti, skor Indonesia meningkat pada tiga aspek, yakni fungsi pemerintah, meningkat dari skor 7,50 di tahun 2020 menjadi 7,86 di tahun 2021, kebebasan sipil, naik dari skor 5,59 menjadi 6,18, dan aspek partisipasi politik, melesat dari skor 6,11 menjadi 7,22.
Namun begitu, ada dua aspek yang tetap stagnan – dibandingkan dengan tahun sebelumnya – yakni proses elektoral dan pluralisme, skornya tak beranjak masih di angka 7,92.
Menurut Joan Hoey, Editor EIU yang menyusun Laporan Indeks Demokrasi 2021, faktor sistem peradilan di Indonesia memberikan kontribusi terhadap membaiknya iklim demokrasi.
Ia memberi contoh keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan gugatan warga terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Keputusan MA mencerminkan peradilan yang independen dalam menghadapi intervensi Pemerintah RI.
Hal lain yang juga membawa dampak terhadap kehidupan demokrasi di negeri ini adalah keputusan Presiden RI Joko Widodo, untuk mengakomodasi berbagai kelompok politik, termasuk anggota partai politik yang kecil, mantan personel militer, dan tokoh agama, masuk dalam kabinetnya. Hal itu sangat kondusif untuk membangun konsensus dan kompromi di antara berbagai kubu kekuatan sosial – politik yang ada di negeri ini.
“Laporan Indeks Demokrasi 2021 EIU itu juga mencerminkan dampak negatif COVID-19 yang berimbas terhadap kehidupan demokrasi dan kebebasan di seluruh dunia selama dua tahun berturut-turut,” ujar Joan.
Dalam laporannya, EIU mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim, yaitu rezim demokrasi penuh (full democracy), rezim demokrasi cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian).
Negara-negara dengan skor tertinggi yang disebut di atas dapat dikelompokkan sebagai negara demokrasi penuh, yakni negara dengan sistem pemerintahan yang prima dalam memberikan pelayanan publik, sistem peradilan dan penegakkan hukum yang baik, serta kehidupan media massa yang independen.
Kondisi sebaliknya pada negara-negara yang diklasifikasikan masuk dalam negara dengan rezim otoriter. Di negara seperti Afghanistan dan Korea Utara praktis tidak ada kehidupan yang demokratis, kekuasaan yang sangat sentralistik, tidak ada penegakan hukum, dan media massa dikontrol sepenuhnya.
EIU juga mengelompokkan Tiongkok di peringkat 148 dengkan skor 2,21 dan Rusia di peringkat 124 dengan skor 3,24 sebagai negara otoriter, bersanding dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Oman, Qatar, Bahrain dan Yaman.
Meski kehidupan demokrasi semakin membaik namun EIU masih mengklasifikasikan Indonesia – termasuk Amerika Serikat dan Spanyol – kedalam kelompok negara dengan predikat demokrasi cacat. Kendati masuk dalam kategori demokrasi cacat, Indonesia tercatat sudah memiliki sistem pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil.
Menurut EIU Indonesia masih memiliki catatan rapor merah dalam praktik kebebasan pers yang terbatas, budaya politik yang antikritik, dan masih rendahnya partisipasi politik warga.
Namun begitu, seperti kata Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, “Perlu diapresiasi penilaian terhadap iklim demokrasi Indonesia yang terus membaik,’’ katanya.
InfoPublik (***)