Di pemilihan umum pada tahun 2024 ini diperkirakan akan memunculkan kembali tentang isu-isu politik identitas seperti pemilu pada tahun sebelumnya di 2019 yang silam. Isu-isu politik identitas dapat lahir dari berbagai macam faktor yaitu seperti agama, suku, gender, etnik, dan lain sebagainya. Bentuk politik identitas itu sendiri biasanya digunakan oleh para pemangku kepentingan untuk memperoleh dukungan serta sebagai ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan tersebut untuk mencari dukungannya dari masyarakat.
Seperti Contohnya Pada tahun 2019 tentang pemilihan gubernur DKI Jakarta yang lalu, bisa kita pahami bahwa imbas dari keberadaan politik identitas ini begitu luar biasa. Efek langsung dari keberadaan peristiwa tersebut tentu saja masih terasa ketika masa pemilu presiden pada tahun 2019. Dalam peristiwa itu, begitu banyak isu-isu yang bernuansa politik identitas yang beredar di kalangan masyarakat, terutama melalui media sosial. Dimana hal tersebut tentu saja bisa berbahaya karena berpotensi menggiring opini masyarakat.
Sejak di mulainya pilgub DKI Jakarta 2017 yang lalu, penggunaan tentang isu politik identitas mulai kerap digunakan dalam rangka untuk mencari berbagai dukungan suara. Banyaknya berita hoax serta ujaran berbau SARA yang ditunjukkan kepada salah satu para pasangan calon maupun calon perseorangan, Agar supaya harapan para lawan politik kehilangan dukungannya dari masyarakat.
Semakin kesini, makna dari politik identitas itu selalu diartikan dengan hal-hal yang buruk. Sebab, politik identitas dianggap sebagai teknik dari suatu promosi politik yang mengedepankan identitas dibandingkan dengan gagasan. Tak hanya halnya tentang agama saja, politik identitas ini sendiri juga sering kali mengedepankan berbagai macam isu-isu sensitif lainnya seperti suku serta budaya. Dari dampak buruk politik identitas sendiri amatlah besar, karena kandidat yang akan bertarung di dalam pemilihan umum ini biasanya abai terhadap kualitas dan kebijakan yang mereka tawarkan apabila hanya berfokus mengusung politik identitas. Pun juga, dengan masifnya kampanye menggunakan politik identitas akan membatasi ruang lingkup diskusi kebijakan politik itu sendiri juga mendorong hadirnya dari tindakan diskriminatif.
Dari sejauh ini, partai peserta pemilu 2024 yang jelas secara terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai partai yang mengusung politik identitas ialah Partai Ummat. Melalui dari ketua umumnya, Ridho Rahmadi, ia menyebutkan bahwa Partai Ummat merupakan dari partai politik identitas. Ia menambahkan bahwasanya tanpa hadirnya moralitas dalam beragama, politik yang akan kehilangan sebuah arah dan akan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional. Politikus muda tersebut menganggap bahwa politik identitas merupakan dari politik yang sudah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.Namun, beberapa kritikus menyatakan bahwasannya Partai Ummat ini cenderung memperkeruh isu-isu identitas serta memperluas kesenjangan sosial yang terdapat di dalam lapisan sosial masyarakat yang ada.
Mendengar itu Menkopolhukam, Mahfud MD menanggapi isu politik identitas yang digaungkan oleh Partai Ummat, Mahfud menganggap bahwa politik identitas tidak perlu dipersoalkan apabila digunakan sebagai alat untuk menyadarkan umat Islam agar bersama-sama dalam menjaga Indonesia. Namun, Mahfud juga mengingatkan apabila politik identitas itu sendiri dimaknai dengan cara yang lain seperti provokasi dan kebencian, maka hal tersebut tidak perlu untuk dikampanyekan.
Pada era pasca reformasi, banyak partai-partai politik di Indonesia masih kental dengan identitas masing-masing pemilih partai. Contohnya, Partai Keadilan Sejahtera yang mewakili kader-kadernya tarbiyah yang berkiblat pada sistem yang diciptakan oleh Ikhwanul Muslimin, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan yang kental dengan pemilih-pemilih dari organisasi Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama, serta masih banyak partai politik lainnya dengan identitas pemilihnya masing-masing.
Identitas dalam berpolitik ini merupakan dari sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan. Partai Politik sendiri harus memiliki identitasnya agar dapat mewakili orang-orang yang memiliki identitas yang sama dengan mereka.
Menurut Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia ini dalam pandangannya politik identitas dapat menjadi hal yang positif jika digunakan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Namun di sisi lain apabila digunakan untuk kepentingan politik sempit dan memecah belah terhadap masyarakat, maka politik identitas dapat menjadi sumber konflik dan ketidakstabilan.
Maka dari itulah, seiring matangnya kesadaran politik masyarakat di Indonesia terutama di kalangan Gen-Z sekarang ini, diharapkan isu-isu politik yang berkaitan tentang identitas dan dibalut dengan provokasi serta kebencian tidak menjadi faktor utama dalam menentukan pilihan pada Pemilu 2024 yang akan mendatang. Pemilih yang tidak rasional akan terus bermunculan jika politik identitas tersebut dibalut dengan kebencian terus digunakan sebagai senjata dalam berpolitik. Dan Jangan juga sampai konstelasi Pemilu ini terus menghadirkan polarisasi atau perpecahan di tengah lapisan sosial masyarakat Indonesia.[***]
Oleh : Kgs Ahmad Syukri
Mahasiswi prodi ilmu politik
Fisip UIN Raden Fatah Palembang