DEMOKRASI di Indonesia sendiri pada dasarnya terus berdinamika dengan persoalan keanekaragaman yang seringkali menjadi pemicu ketidakharmonisan antar kelompok. Perbedaan atas dasar keragaman di Indonesia telah banyak mencatatkan sejarah sebagai faktor utama munculnya konflik, seperti konflik antar agama, antar etnis, antar suku, dll. Konflik-konflik tersebut semakin berkembang bukan saja sebagai konflik antar satu identitas melainkan telah memasuki babak baru sebagai konflik antar identitas.
Perluasan konflik antar identitas tersebut seringkali kita jumpai sebagai bagian dari proses demokratisasi, yang lebih tepatnya dikatakan sebagai “demokrasi liar”. “Demokrasi liar” tidak terbatas pada konsep demokrasi yang seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan bernegara, akan tetapi ketidakterbatasannya kebebasan yang diberikan oleh demokrasi di Indonesia pada saat ini telah menciptakan huru hara tanpa henti, bahkan tanpa segan telah menyentuh ranah keyakinan kelompok beragama. Perbedaan pendapat dan pandangan lintas agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam isu politik masa kini.
Mengenai Politik identitas masih menjadi isu baru di Indonesia Walaupun pada dasarnya aspek-aspek tersebut telah ada sejak lama, efek yang ditinggalkan baru dirasakan belum lama ini. Apalagi ketika bentuk politik identitas digunakan sebagai ajang mencari massa oleh para pemangku kepentingan. Dalam hal ini, para elite politik menggunakan kesamaan suku, agama, ras dan etnik untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Berangkat dari pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017 lalu, dapat kita pahami bahwa imbas dari adanya politik identitas ini begitu hebat. Efek langsung dari peristiwa tersebut tentu saja sangat terasa ketika masa pemilu presiden 2019. Dalam peristiwa tersebut, begitu banyak isu bernuansa politik identitas yang beredar di masyarakat, terutama melalui sosial media. Dimana hal itu tentu saja berbahaya karena berpotensi menggiring opini masyarakat.
Menurut Muhtadi (2019) adanya fenomena politik identitas dengan populisme agama akan menjadi ranjau bagi demokrasi negara ketika digunakan oleh pemimpin yang tidak cakap. Politik identitas akan menggiring opini publik bahwa orang yang tidak beridentitas sama dengan mereka tidak pantas untuk menjadi pemimpin. Ini tentu saja menyebabkan kaum minoritas akan kehilangan hak yang sama dalam pemerintahan negara, khususnya dalam ranah pemilu maupun pemilihan. Serta dikhawatirkan secara lambat laun akan mencederai demokrasi.
Sejak Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, penggunaan isu politik identitas mulai kerap digunakan dalam rangka mencari dukungan suara. Banyak hoax dan ujaran kebencian berbau SARA yang ditunjukkan kepada salah satu pasangan calon atau calon perseorangan, dengan harapan lawan politik kehilangan dukungan masyarakat. Masalahnya adalah, ketika isu-isu tersebut sampai ke calon pemilih yang tidak memiliki cukup pengetahuan dan mudah terpengaruh, besar kemungkinan para calon dari kaum minoritas ini akan kehilangan apresiasi rakyat. Bahkan sekalipun jejak karier serta prestasi calon tersebut cukup mumpuni untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Lalu, bagaimana dampak dari adanya politik identitas itu sendiri? Menurut Aryojati (2020) maraknya isu populisme dalam politik identitas akan mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Penggunaan isu keagamaan dalam penghimpunan dukungan politik mempunyai lubang besar yang bisa saja ditumpangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dan memang menginginkan perpecahan Indonesia. Jika hal ini terus berlanjut, semangat persatuan dan kesatuan yang rendah akan meningkatkan potensi polarisasi masyarakat bahkan elite politik.
Selanjutnya, menurut Anam (2019) politik identitas juga berpotensi menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi. Kita tahu bahwa sistem demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang dianut Indonesia mengingat pluralisme masyarakatnya. Apabila populisme dalam politik identitas semakin menguat, tidak akan ada lagi keadilan sosial, persamaan hak untuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan kebebasan untuk orang lain maupun diri sendiri.
Politik identitas berbasis agama yang digunakan dalam kampanye politik juga akan menciptakan jurang pemisah antar kelompok umat beragama di Indonesia. Kuatnya tekanan dari kelompok agama radikal di Indonesia secara tidak langsung akan memberikan dampak buruk bagi pemeluk agama yang lain. Pemeluk agama minoritas akan merasa didiskriminasi, sehingga akan memunculkan perpecahan antar umat beragama.
Belajar dari pengalaman pemilu serentak 2019, tidak menutup kemungkinan bahwa isu-isu itu akan kembali muncul dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Peristiwa yang lalu memiliki kesempatan besar untuk terus digaungkan oleh kelompok radikal demi keuntungan pribadi. Begitu pula oleh golongan-golongan yang memang pada dasarnya menginginkan perpecahan antara kaum mayoritas dan kaum minoritas di Indonesia.
Menghilangkan praktek politik identitas akan menjadi salah satu PR penting bagi Indonesia menjelang pemilu 2024 mendatang. Hal ini menjadi penting, terlebih karena berhubungan erat dengan kesetaraan hak, persatuan dan kesatuan masyarakat, serta prinsip-prinsip demokrasi. Apalagi, masalah SARA merupakan hal yang lumayan sensitif untuk dijadikan alat kampanye.
Sebagai negara yang multikultural serta demokratis, sudah sepantasnya semua masyarakat memiliki kesetaraan hak dalam pemilu. Tidak hanya orang Jawa yang bisa menjadi pemimpin negara, orang luar Jawa juga bisa. Tidak hanya orang islam saja yang bisa menjadi pemimpin negara, orang non-islam juga bisa. Dalam artian bahwa hak seseorang untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat tidak didasarkan pada suku, agama, ras, atau etnik semata, tapi lebih kepada kemampuan orang-orang itu untuk memimpin dan mengayomi masyarakat.[***]
Oleh : Muhammad Iqbal
Mahasiswa Uin Raden Fatah Palembang