PENCITRAAN politik berasal berasal dari gabungan dua kata citra dan politik. “Citra menurut Frank Jefkins yakni kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman. Menurut Soleh Soemirat dan Elvinaro citra adalah bagaimana pihak lain memandang sebuah perusahaan, seseorang, suatu komite, atau suatu aktivitas. Dan menurut Buchari Alma citra merupakan perasaan atau konsepsi yang ada pada publik mengenai perusahaan terhadap suatu objek, orang atau lembaga. Sedangkan politik terdapat dua pengertian, secara teoritis adalah mengambil keputusan berdasarkan kebijaksanaan, sedangkan secara praktis cara untuk mencapai suatu tujuan. (Novel Ali, 1999).
Jadi citra dapat diartikan perasaan atau konsepsi bagaimana pihak lain memandang suatu objek baik individu ataupun lembaga. politik pencitraan diri dilakukan sebagai suatu tindakan untuk mencapai tujuan dengan cara melakukan konsepsi terhadap orang lain untuk melihat apa yang dilakukan.
Sedangkan Komunikasi Politik adalah “Seluruh proses transmisi, pertukaran, dan pencarian informasi (termasuk fakta, opini, keyakinan, dan lainya) yang dilakukan para partisipan dalam rangka kegiatan politik yang terlembaga.”(Seta Basra, 2011) Ilmu Komunikasi bukanlah disiplin ilmu yang seratus persen bersifat teoritis, Komunikasi politik di Indonesia, dipakai oleh aktor politik sebagai ajang pembentukan opini publik melalui pencitraan-pencitraan yang dilakukan dalam bentuk berita di media cetak maupun iklan di media elektronik. Saat penyelenggaraan pemilihan kepala daerah isu-isu politik disebarkan, akibatnya menimbulkan keresahan di masyarakat hal ini dapat dikaji dari lunturnya pergerakan politik rakyat, dalam memperjuangkan hak-hak rakyat.
Kecenderungan tersebut secara langsung akan menimbulkan keresahan di masyarakat, ketika masyarakat dibuat bingung oleh transformasi (pertukaran arus informasi) simbol-simbol politik, yang bernada kasak-kusuk, saling tuding menuding dan menjelak-jelekan pihak lain, tetapi selalu mengangap diri, kelompok atau golongan sendiri sebagai yang benar. Akibatnya, baik masyarakat maupun pemerintahan berada didalam kondisi dibawah kekuasaan komunikasi politik (Political Communication), yang penuh akan kepentingan. Dampak komunikasi politik tak dapat dihindari. Komunikator (aktor politik) dalam proses komuniasi politik memainkan peran sosial utama, terutama dalam pembentukan opini publik.
Sekalipun secara teoritis komunikasi politik di era keterbukaan justru harus menempatkan rakyat sebagai prioritas, tetapi mayoritas masyarakat masih tetap menjadikan pemerintahan sebagai sumber terpercaya. Dengan kata lain informasi politik yang layak dipercaya (credible) adalah yang bersumber dari pemerintah. Itu berarti masyarakat tetap membiarkan berlangsungnya komunikasi politik dengan etika komunikator bukan dipihak rakyat, melainkan dipihak pemerintah.
Proses komunikasi politik pada era keterbukaan adalah “proses sharing of needs and interst (berbagai kebutuhan dan kepentingan), baik antar unsur pemerintah, masyarakat, maupun antara pemerintah dan masyarakat, hal ini harus berlangsung tanpa manipulasi, baik terbuka maupun terselubung”(Novel Ali, 2009). Ini berarti masyarakat tidak boleh lagi menerima kebenaran simbol komunikasi politik hanya karena pemerintah bertindak sebagai sumbernya.
Masyarakat harus melakukan check and recheck untuk mengkonfirmasikan kebenaran sumber informasi yang diperoleh. Belajar dari opini publik akan banyak memperoleh pengetahuan praktis. Sekedar untuk bercermin kepada realitas sejarah bahwa mereka yang bersikap tidak memperdulikan opini publik akan jatuh lebih cepat. Apapun dan siapapun orangnya, yang mengangkat opini publik sebagai suatu yang artificial (palsu), akan dihancurkan oleh opini publik itu sendiri.
Bila komunikasi politik dilandasi oleh keinginan membentuk kebersamamaan, melalui proses berbagai kehendak, harapan, kebutuhan, kepentingan, dan sebagainya diharapkan komunikasi politik yang hanya mengedepankan kepentingan orang atau kelompok tertentu akan tercegah, sehingga tidak akan sempat menimbulkan keresahaan bagi pihak manapun.
Untuk itu tidak boleh ada satu pihak-pun di negeri ini yang seolah memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur pihak lain. Atau memandang diri sendiri, kelompok, atau golongannya, lebih berjasa, dan senantiasa lebih benar dibandingkan pihak lain. Inilah mengapa Politik sering kali ditafsirkan sebagai kekuasaan, artinya politik juga dipandang sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, sedangkan untuk mencapai kekuasan ada cara dan strategi yang harus dilakukan agar dapat mencapai kekuasaan tersebut.
Pencitraan dilakukan untuk menimbulkan kesan seseorang terhadap suatu obyek tertentu, sikap dan tindakan seseorang terhadap terhadap obyek tersebut akan ditentukan oleh citra obyek yang menampilkan kondisi yang paling baik.(Kartika Djoemadi, 2010). Strategi pencitraan yang terstruktur akan mempermudah dalam mempengaruhi penilaian, tanggapan, opini, kepercayaaan publik, asosiasi, lembaga dan juga simbol-simbol tertentu terhadap bentuk pelayanan, nama perusahaan, penguasa, pribadi orang tertentu, nama perusahaan dan merek suatu produk atau barang atau jasa yang diberikan kepada publik sebagai khalayak sasaran (audiens).
Berbicara mengenai strategi pencitraan, tak lepas dari peran media massa sebagai alat untuk melakukan strategi pencitraan. Peranan media sebagai tempat untuk pemberitakan mengakibatkan pemberian citra dari sebuah aktivitas yang dilakukan oleh aktor politik yang diberitakan, ini akan menjadi perhatian publik. Strategi pencitraan yang dilakukan pada media cetak menjadi agenda pengaturan yang penting bagi aktor politik. Jika berita-berita tersebut dijadikan berita utama (headline) pada media cetak akan menjadi perhatian publik, artinya publik disodorkan berita yang memang diagendakan oleh media cetak menjadi berita utama. Dari pengamatan yang dianalisis hal demikian dilakukan atau diagendakan oleh Harian Umum Berita Pagi terhadap kegiatan-kegiatan Alex Noerdin, yang hampir dapat dilihat pada berita utamanya. Inilah strategi yang dilakukan oleh Alex Noerdin pada media cetak.
Media massa mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat. Hal tersebut tampak dari fungsi yang dijalankan oleh media massa yaitu sebagai alat untuk mengawasi lingkungan (surveillance of the environmet), menghubungkan bagian-bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society), mengirimkan warisan sosial (transmission of the social heritage), dan memberikan hiburan (entertainment).
Strategi pencitraan dilakukan pada media cetak didasarkan pada beberapa alasan, yakni pertama adalah karena saat ini politik berada di era mediasi (Politics In The Age Of Mediation), yaitu media massa sebagai tempat untuk melakukan proses mediasi antara kepentingan publik dan politik, karena kehidupan politik tidak dapat dipisahkan dari media massa. Para aktor politik dalam melakukan strategi pencitraan berusaha menarik perhatian wartawan agar aktivitas politiknya memperoleh liputan dari media. Yang kedua adalah peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor politik selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa politik itu bersifat rutin belaka, misalnya kegiatan rapat kerja partai atau pertemuan seorang tokoh politik dengan para pendukungnya. Apalagi jika peristiwa politik itu bersifat luar biasa seperti pemilihan kepala daerah. Sehingga liputan politik senantiasa menghiasi koran setiap harinya.
Dari pemikiran tersebut, para aktor politik dalam melakukan proses pencitraan terhadap dirinya maupun pencitraan partai politik yang diusungnya bisa memanfaatkan media massa yang memberikan pengaruh besar kepada publik. Pesan-pesan politik yang dihadirkan oleh para aktor politik biasanya disusun terlebih dahulu sehingga sesuai dengan target pencitraan yang diinginkan melalui media massa, karena efek yang lebih besar dapat terjadi jika isi media lebih disesuaikan dengan karakteristik masing-masing media yang berfungsi sebagai transmitter. Selain itu khalayak pembaca harus ditentukan, karena segmentasi pembaca akan memperjelas besar-kecilnya pengaruh yang diharapkan. Kemampuan yang dimiliki media massa inilah banyak diincar oleh pihak-pihak yang ingin menggunakan untuk kepentingan politik tertentu.
Atas dasar kenyataan ini wajar banyak aktor politik yang mendirikan atau menanamkan saham pada penerbitan koran, pada saat-saat penting dalam kehidupan berpolitik di Indonesia seperti pada masa kampanye pemilu, saat terjadi krisis politik, konflik antar para pendukung partai, deklarasi partai politik baru, maupun isu-isu mengenai partai politik yang saat ini menjadi status quo hal media cetak dapat digunakan sebagai alat propaganda dan pencitraan politik.
Salah satu teknik pencitraan yakni Propoganda yang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk membuat suatu pencitraan dari suatu objek (aktor politik) terhadap subjek (publik), propaganda dilakukan untuk mempengaruhi sikap dan prilaku publik. Selain itu sebagai alat untuk menyampaikan pesan dari satu orang ke orang lain.
“Propaganda berasal dari bahasa latin propagare artinya cara tukang kebun menyemaikan tunas tanaman ke lahan untuk memproduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri”(Nuruddin, 2002). Dari sejarahnya sendiri propaganda pada awalnya untuk mengembangkan atau memekarkan agama Katholik Roma baik di Italia maupun Negara-negara lain, saat ini propaganda digunakan bukan hanya bidang keagamaan saja tetapi juga dalam bidang pembangunan, politik, komersial, pedidikan dan lain-lain. Sehingga kita mengenal (tekhnik) propaganda juga digunakan dalam bidang seperti humas, kampanye politik dan periklanan.[***]
Ainur Ropik
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik UIN Raden Fatah Palembang