Pada masa pandemi dan pasca covid-19, salah satu kebijakan strategis pemerintah untuk menanggulangi virus salah satunya melalui program vaksin bagi masyarakat. Hal ini tertuang dalam kebijakan yang tertuang dalam peraturan presiden RI Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Saat kebijakan ini diterapkan, berbagai isu muncul seperti halnya pemerintah menggiring masyarakat mengikuti vaksin ini dengan cara mewajibkannya sebagai syarat untuk mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun bantuan-bantuan lainnya. Tidak hanya itu, isu pemerintah juga mewajibkan vaksinasi untuk syarat utama pembuatan KTP dan Kartu Keluarga serta pembayaran pajak. Pola penerapan kebijakan ini, menginmgatkan kita pada sebuah teori kekuasaan yang menyatakan bahwa negara dapat melakukan pemaksaan dalam menjalankan kebijakannya bahkan dengan menggunakan kekerasan. Dalam konteks ini, secara sederhana dapat kita lihat bahwa pemerintah dalam memenuhi target vaksinasi “mengancam” atau “memaksa” warga negara narasi tidak dapat mengakses fasilitas publik apabila tidak berkenan vaksin. Masih terekam dalam memori kitya bersama, kartu vaksin menjadi persyaratan mutlak bagi warga negara untuk berpergian dengan menggunakan maskapai penerbangan, kereta api, Bis dan fasilitas publik lainnya, bahkan hingga saat ini kewajiban vaksin booster masih menjadi kewajiban untuk mengakses transportasi kereta api.
Padahal, setiap kehidupan kita bersinggungan dengan asas kebebasan berperilaku dan berpendapat. Kartu sakti yang dimaksud disini adalah kartu vaksin yang pada masa puncak pendistribusian vaksin kepada masyarakat menjadi tolak ukur keterbatasan aktivitas administrasi masyarakat jika tanpa melakukan vaksin yang semestinya kegiatan administrasi tidak berkaitan dengan cara pemerintah mendistribusikan vaksin akan tetapi karena isu ini digiring maka seperti menjadi sebuah tolak ukur dalam pemenuhan kegiatan administrasi. Secara sederhana poin yang ingin disampaikan adalah, vaksin dalam rangka penanggulangan dan pencegahan Covid 19 harus disampaikan pemerintah secara subtantif dan komprehensif, publik mempunyai hak untuk mendapatkan edukasi pentingnya vaksin sehingga persepsi publik terhadap vaksin tidak hanya dalam wilayah prosedural dan administratif ansich.
Tentunya dalam hal penerimaan vaksin ini masyarakat tidak hanya dituntut dengan hal-hal baku seperti ini, karena penolakan melakukan vaksin bukan karena ketidak mauan masyarakat akan tetapi terdapat banyak pertimbangan yang salah satu nya kurangnya sosialisasi pemerintah tentang kebutuhan masyarakat akan vaksin ini.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kehilangan legitimasi dalam penangangan virus Covid 19, kegagapan dan ketidakkonsistenan pada masa awal penanggulangan membuat publik kehilangan kepercayaan atas kebijakan pemerintah, sehingga memunculkan banyak penolakan dari publik.
Seharusnya, pemerintah bisa fokus dalam pemberian keilmuan dan pemahaman tentang menjaga kesehatan dengan cara berperilaku hidup bersih dan sehat dan pemenuhan fasilitas-fasilitas kesehatan1ainnya tanpa harus menggiring pembatasan administrasi untuk melakukan vaksinasi.
Penulis : Norma Juainah, M.Si
Dosen Prodi Ilmu Politik
FISIP UIN Raden Fatah Palembang