Institusi penyelenggara pemilu merupakan pihak yang bertanggungjawab atas terlaksananya pemilu secara adil dan lancar. Secara umum tanggungjawab penyelenggara pemilu adalah implementasi proses pemilihan (electoral process) yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Proses pemilihan itu meliputi tahap sebelum pemungutan suara, tahap pemungutan suara dan tahap setelah berlangsungnya pemunguatan suara. Berkaitan dengan lembaga penyelenggara pemilu, stadard internasional pemilu demokratis menegaskan perlu adanya jaminan hukum, bahwa lembaga tersebut bisa bekerja independen. Independensi lembaga penyelenggara pemilu merupakan persoalan penting, karema mesin-mesin penyelenggara pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil pemilu.
Dalam konteks penyelenggaraan pemilu di Indonesia, terutama sebelum Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945, sejak merdeka Negara Indonesia telah beberapa kali memiliki lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas menyelenggarakan Pemilu dengan segala romantikanya. Bagaimana performance penyelenggara Pemilu, tampaknya sangat terkait dengan produk hukum yang mendasari lahirnya lembaga ini. Oleh karenanya, faktor hukum yang melandasi eksistensi lembaga penyelenggara Pemilu niscaya dilihat secara bersama-sama dalam sejarah peradaban penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Indonesia pertama kali membentuk lembaga yang bertugas menyelenggarakan Pemilu adalah pada tahun 1946. Pemilu yang pertama kali sedianya diadakan untuk mengisi keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan perwakilan rakyat yang pertama kali dimiliki Indonesia sejak kemerdekaannya. KNIP semula dibentuk atas dasar Maklumat X 16 Oktober 1945. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan mengisi lembaga itulah melalui maklumat tersebut pemerintah menyatakan rencananya untuk menyelenggarakan Pemilu. Pada maklumat berikutnya, yaitu Maklumat 3 Nopember 1945, disebutkan bahwa pemilihan anggota-anggota badan perwakilan tersebut akan dilangsungkan Januari 1946.
Ternyata rencana tersebut tidak terlaksana. Juli 1946, dengan persetujuan Badan Pekerja (BP) KNIP disahkan UU No. 12/1946 tentang Pembaharuan Susunan Komite Nasional Indonesia Pusat. Dalam UU ini disebutkan bahwa badan penyelenggara pemilihan dari pusat sampai daerah akan dibentuk. Badan ini akan bertugas menyelenggarakan pemilihan untuk memilih 110 orang anggota KNIP. Untuk di pusat namanya Badan Pembaharuan Susunan Komite Nasional Pusat (disingkat BPS), di daerah dinamakan Cabang BPS. BPS dibentuk oleh presiden, berkedudukan di Yogyakarta, dengan tugas pokok melakukan pembaharuan keanggotaan KNIP. Anggota BPS ada 10 orang (seorang merangkap ketua dan seorang lagi merangkap wakil ketua) yang merupakan wakil dari partai politik dan wakil dari daerah. Mereka diangkat presiden, dan presiden pula yang bisa memberhentikan. Mereka dilantik oleh Wapres Mohammad Hatta pada 16 September 1946. Pada era Orde Baru, Setiap menjelang Pemilu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres yang mengatur tentang LPU yang intinya sama saja, yakni memuat 4 tugas yang dibebankan kepada LPU, yaitu (1) membuat perencanaan dan persiapan Pemilu, (2) memimpin dan mengawasi panitia-panitia di pusat dan daerah, (3) mengumpulkan dan mensistematisasi bahan dan data hasil Pemilu, dan (4) mengerjakan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk melaksanakan Pemilu. Dalam Keppres No. 72/1980 disebutkan bahwa LPU terdiri atas: (1) Dewan pimpinan yang diketuai Mendagri, (2) Dewan pertimbangan yang dipimpin oleh seorang ketua dari unsur menteri dan wakil ketua sebanyak 4 orang terdiri atas unsur ABRI, PPP, PDI, dan GOLKAR, (3) Sekretariat umum dipimpin oleh seorang sekretaris umum. Sementara itu PPI sebagai unsur penyelenggara Pemilu di tingkat Pusat diketuai oleh Mendagri. Dengan demikian, Ketua Dewan Pimpinan LPU adalah sekaligus ketua LPI yang dipegang oleh Mendagri.
Pada LPU dibentuk panitia-panitia dari pusat sampai daerah. Untuk tingkat pusat dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), untuk provinsi atau Dati I dibentuk Panitia Pemilihan Daerah (PPD) I, untuk Dati II atau kabupaten/kotamadya dibentuk PPD II. Sedangkan di tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS), untuk desa atau kelurahan diadakan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), dan untuk tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk menjalankan Pemilu bagi WNI yang berada di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri yang berkedudukan di Deplu, di Kantor Perwakilan RI di luar negeri didirikan PPS Luar Negeri, dan untuk tiap TPS di luar negeri diadakan KPPS Luar Negeri. Sampai di sini banyak kemiripannya dengan struktur badan penyelenggara Pemilu yang ada sebelumnya. Pada Pemilu era Orde Baru, ketua panitia untuk semua tingkatan diduduki oleh para pejabat pemerintah, yakni Mendagri untuk Ketua PPI, gubernur untuk Ketua PPD I, bupati/walikota madya untuk PPD II, camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk PPP. Sementara itu untuk keanggotaan LPU dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang dapat melibatkan parpol dan Golkar di dalamnya. Pada dasarnya setiap LPU dapat mengambil keputusan terhadap semua masalah yang berkaitan dengan Pemilu. Namun, andai dalam lembaga tersebut terjadi ketidaksinkronan mengenai suatu persoalan, maka presiden menetapkan keputusan final (Pasal 8 ayat (8) UU No. 15/1969.
Untuk mengawasi jalannya Pemilu, UU ini juga menetapkan lembaga pengawas Pemilu yang terdiri atas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Panitia Pengawas Pemilu(Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan (PPL), dan Pengawas Pemilu Luar Negeri (PPLN). Pasal 73 menetapkan bahwa keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan profesional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik. Jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang, Panwaslu Provinsi sebanyak 3 (tiga) orang, Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) orang, Panwaslu Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang, dan jumlah anggota PPL di setiap desa/kelurahan sebanyak 1 (satu) orang. Komposisi keanggotaan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus). Bawaslu adalah bersifat tetap yang masa keanggotaannya adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Sedangkan Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, PPL, dan PPLN adalah bersifat ad hoc.yang dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahapan pertama penyelenggaraan Pemilu dimulai dan berakhir paling lambat 2 (dua) bulan setelah seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu selesai.
Di era pascareformasi, pilkada memang menawarkan pesona tersendiri. Selain dianggap membuka ruang bagi partisipasi rakyat dalam kehidupan politik formal dan memilih kepala daerah yang dibutuhkan, juga akan menuntut tumbuhnya kepekaan elite politik terhadap isu yang kontekstual dan akuntabilitas atas kinerja kandidat yang terpilih oleh rakyat. Di saat yang sama harus diakui bahwa pilkada yang dilakukan dengan cara instan dan belum didukung sikap politik masyarakat yang rasional kalkulatif seperti sekarang ini sesungguhnya riskan terjerumus ke dalam situasi yang kontraproduktif.
Pelaksanaan pilkada di berbagai daerah di satu sisi terbukti berpotensi memicu terjadinya konflik horizontal yang makin terbuka, baik atas dasar perbedaan ideologi, kepentingan, maupun identitas sosial politik yang lain. Di sisi lain, sekalipun tak jarang pilkada telah berlangsung dengan sukses, ternyata juga tidak ada jaminan bahwa pemimpin daerah yang terpilih kemudian terbukti mampu mendongkrak kinerja pembangunan secara kentara. Kekhawatiran bahwa KPUD bisa menjadi arena tarik menarik kepentingan politik memang tidak berlebihan. Ketika KPUD tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD pun, KPUD tetap saja menjadi sasaran tarik menarik itu.[***]
Oleh :
Riki Mahasiswa
Ilmu Politik UIN Raden Fatah