Pojok Fisip UIN Raden Fatah

Golput Dipelaksanaan Pemilu

ist

BAHASAN mengenai masa Demokrasi Pancasila tidak akan lengkap jika tidak membahas Golput. Menjelang pemilihan umum tahun 1977 timbul suatu gerakan di antara beberapa kelompok generasi muda, terutama mahasiswa, untuk memboikot pemilihan umum karena dianggap kurang memenuhi syarat yang diperlukan untuk melaksanakan pemilihan umum secara demokratis. Yang disebut antara lain ialah kurang adanya kebebasan- kebebasan (civil liberties) yang merupakan prasyarat bagi suatu pemilihan umum yang jujur dan adil. Untuk melaksanakan sikap ini mereka bertekad untuk tidak mengunjungi masing-masing tempat pemilihan umum (TPS). Mereka menamakan dirinya Golongan Putih atau Golput.

 

Banyak media massa kemudian mempunyai keinginan untuk mengukur pengaruh dari Golput ini atas pemilihan umum. Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kategori pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Di antaranya ada dua kategori yang relevan, yaitu kategori suara tak sah dan kategori yang tak menggunakan hak pilih. Dalam banyak media massa dua kategori ini dijadikan satu, dan Golput dinyatakan termasuk di dalamnya. Pengelompokan itu memang menghasilkan angka yang cukup tinggi yaitu 6,6% (1971), 9,1% (1977), 8,5% (1982), 8.7% (1987), dan 9,1% (1992).

 

Pandangan ini dapat diragukan kebenarannya karena secara teoritis Golput tidak termasuk kategori suara tidak sah, kecuali jika di antara mereka ada yang dengan sengaja merusak kertas pemilihan. Lebih besar kemungkinan Golput termasuk kategori yang tak menggunakan hak pilih. Jumlah kategori ini (termasuk Golput) adalah 0,7% (1971), 3,5% (1977), 4,8% (1982), 3,8% (1987), dan 4,9% (1992), jelas lebih rendah.

 

Mengenai kategori tidak menggunakan hak pilih perlu disadari bahwa kategori ini sukar dihitung karena tidak hanya mencakup Golput namun juga menyangkut orang yang tidak datang ke TPS karena sakit, atau sedang dalam perjalanan, atau yang tidak peduli. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa angka dari mereka yang “tak menggunakan hak pilih” dalam pemilihan umum 1977 dan pemilihan umum berikutnya, menunjukkan kenaikan dibanding dengan hasil pemilihan umum 1971. Bagaimanapun juga gerakan Golput telah menunjuk pada salah satu kelemahan dari rezim otoriter Orde Baru dan hal itu patut dihargai.

Di daerah-daerah pedesaan masyarakat yang enggan berbaur di partisipasi Politik dikarenakan mereka tidak mau masuk ke dalam urusan politik banyak masyarakat yang sengaja tidak datang ke TPS dan memilih untuk pergi ke kebun, ini dikarenakan sudah ada kejanggalan dan hal yang membuat rasa kepercayaan mereka berkurang kepada calon pemimpin, akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

 

Dengan banyaknya presentase masyarakat di Indonesia yang melakukan golput dari tahun ke tahun, tentunya ini sangat berpengaruh pada sistem demokrasi di negara kita . Negara demokrasi yang seharusnya seluruh masyarakatnya mengikuti partisipasi Politik dan menggunakan hak pilihnya , malah tidak menggunakan hak pilihnya. Tentunya untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat, sistem pemilu di negara kita harus sesuai dengan perosedur berdasarkan peraturan perundang undangan tanpa adanya kecurangan di saat pelaksanaan pemilu.[***]

 

Penulis: M Dapid Saputra

Mahasiswa Ilmu Politik

UIN Raden Fatah Palembang

 

 

 

Terpopuler

To Top
WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com