BEBERAPA hari yang lalu, saat sedang makan siang di kampus, saya berseloroh kepada seorang teman “Bener, orang yang punya uang belum tentu bahagia, apalagi gak punya” saya bilang. Saya tidak menduga selorohan barusan akan ditanggapi dengan protes sangat serius oleh teman saya. Ntah ia sedang tidak bahagia karena kesulitan finansial akibat pandemi atau jangan-jangan ia tersinggung karena saya berhasil menebak situasinya saat itu. Begitu suudzan saya. Yang jelas, ia protes keras.
Kemudian, begini ia menceramahi saya. “Apa gunanya punya uang jika tak bahagia. Koruptor-koruptor juga kaya, tapi gak bahagia. Jika kekayaan dan kekuasaan menjamin kebahagiaan, Hitler gak akan bunuh diri. Mafia-mafia Italia dalam film The God Father juga kaya raya, tapi hidup mereka gak pernah tenang. Malah, tetangga saya hidupnya pas-pasan, tapi tampaknya bahagia”.
Merasa belum cukup bukti, ia membuka google dan memperlihatkan pada saya suatu artikel dengan judul “Mengenaskan? 6 Miliarder ini Bunuh Diri Meski Punya Banyak Harta”.
Saya balas, “Ya itu segelintir. Hidupku bahagia setiap baru gajian, tetapi akhir bulan kepala selalu pusing. Bukti yang lain, banyak keluarga muda yang berantem bahkan cerai karena masalah finansial. Kalau masih gak percaya, tanya aja sama orang yang di PHK karna pandemi, bahagia mana dulu dan sekarang?”
Untuk memperkuat pendapat, saya juga membuka google dan memperlihatkan satu artikel berjudul“Menurut Penelitian, Harta Memang Bisa Membeli Kebahagiaan”.
Dibalik perdebatan yang tampaknya alot, saya tidak benar-benar menanggapi perdebatan ini dengan serius. Karena saya paham betul kami menggunakan indikator berbeda dalam memandang kebahagiaan personal. Saya menggunakan indikator materi dan teman saya (mungkin) menggunakan indikator emosi dan spiritual.
Ingat ya, bukan benar salah. Cuma beda indikator. Itu sangat lumrah dalam diskusi ilmu sosial.
Eh tunggu dulu, jangan segera menghakimi saya sebagai orang yang materialistis. Dalam tulisan ini, saya tidak akan mengulas urusan kebahagiaan personal. Karena kebahagiaan personal punya standar objektivitas yang sebenarnya bersumber dari subjektivitas dan pengalaman masing-masing. Jadi, gak akan ketemu. Saya juga tidak akan ikut campur. Nah, dalam artikel ini saya ingin mengulas tentang kebahagiaan kolektif dan kaitannya dengan materi, kebebasan serta performa negara.
The World Happines Report, membuat indikator-indikator untuk mengukur tingkat kebahagian orang-orang di seluruh negara. Indikator-indikator tersebut: level GDP, harapan hidup, jaminan sosial, dukungan sosial, kebebasan, dan korupsi.
Menurut Laporan The World Happiness Report, sejak tahun 2013 hingga 2021, lima negara Skandinavia (Nordik) -Finlandia, Denmark, Norwegia, Swedia dan Islandia- selalu menempati 10 besar negara dengan penduduk paling bahagia di dunia. Bahkan, tahun 2017, 2018, 2019, tiga teratas selalu diisi oleh negara-negar Nordik. Mengapa warga negara Nordik begitu bahagia dengan hidup mereka?
Singkatnya, faktor-faktor kebahagian kolektif mereka antara lain: jaminan sosial yang kuat, performa negara yang baik (rendahnya korupsi, demokrasi dan institusi pemerintah berjalan dengan baik); kebebasan membuat pilihan dalam hidup, dan kohesi sosial yang kuat.
Pertama, jaminan sosial. Orang-orang Nordik mendapat jaminan sosial terbaik di dunia sebagai hasil dari manajemen tata kelola pajak yang baik. Warga Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia yang memiliki pendapatan tertinggi membayar pajak hingga 55% dari total penghasilannya (money.kompas.com). Di Indonesia? Maukah konglomerat bayar pajak segitu besar? Belum tentu. Tapi, wajar kalau mereka ogah kalau ujung-ujungnya lari ke kantong Gayus Tambunan.
Di Nordik, pajak dikelola untuk memberikan “welfare benefits” kepada warganya. Maka, jangan bayangkan mereka merasakan kekhawatiran kita yang sering berceloteh “dulu, banyak anak banyak rezeki. Sekarang banyak anak setengah mati”.
Orang-orang Nordik tidak pernah khawatir tentang biaya saat mereka akan memiliki anak. Negara menanggung biaya kelahiran, jaminan gizi baik, kesehatan, pendidikan hingga perguruan tinggi. Bahkan, pengangguran (yang sedang mencari pekerjaan) ditanggung negara hingga mereka bekerja.
Mereka juga tidak perlu pusing tentang pekerjaan. Contohnya, seorang anak muda berumur 30 Tahun di Norwegia memiliki penghasilan siap pakai rata-rata sebesar 814 Milyar Rupiah per tahun (bbc.com). Orang-orang Nordik tidak mengenal cicilan rumah, cicilan mobil atau situasi hati saat “akhir bulan”. Setengah dari total penghasilan bulanan anak muda di Nordik sudah cukup untuk memenuhi biaya bulanan.
Kedua, kebahagiaan kolektif mereka juga terkait dengan performa pemerintah. World Happines Report mengukur performa pemerintah melalui dua dimensi, yaitu kulitas demokrasi dan kualitas menjalankan negara.
Dimensi pertama terkait dengan akses kepada kekuasan seperti peluang warga untuk masuk ke dalam kekuasaan yang adil dan terbuka, pemilihan umum yang fair, tingginya kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta stabilitas politik. Kemudian, dimensi kedua terkait dengan pelaksanaan kekuasaan seperti efektivitas pemerintah, kuatnya pengendalian korupsi, keadilan penegakan hukum, pembangunan inklusif, serta pemerintahan yang transparan dan akuntabilitas.
Mungkin kita tidak akan menemukan orang-orang Nordik melakukan demonstrasi akibat pelemahan KPK atau demonstrasi menolak UU Minerba yang dianggap pro kelompok oligarki.
Faktor ketiga, kebebasan membuat pilihan. Orang-orang Nordik (dan negara Eropa lainnya) terkenal dengan karakter liberal dan individualis dalam hal pilihan ekspresi dan identitas hidup. Mereka toleran dan memaklumi pilihan-pilihan privat dari setiap individu.
Oleh karena itu, bisa jadi (saya juga tidak yakin, karena oknum julid mungkin hidup di manapun) kita tidak akan melihat orang yang mengomentari pilihan identitas atau pilihan ekspresi hidup dari orang lain. di Indonesia? Jangan coba-coba keluar dari identitas dan ekspresi mainstream.
Faktor terakhir, kuatnya kohesi sosial. Orang-orang Nordik memiliki kepercayaan yang kuat antara satu dengan yang lain. Contoh kecil kohesi sosial adalah mereka tidak perlu khawatir dompetnya hilang saat tertinggal di kursi taman. Mereka cukup kembali dan menanyakan dompetnya pada petugas keamanan terdekat.
Di Indonesia? Mending langsung datang ke Kantor Polisi untuk mengurus surat kehilangan lalu membeli dompet baru. Meskipun begitu, jika beruntung, ada yang dompetnya kembali.
Itulah kira-kira empat tips belajar kebahagiaan kolektif dari Orang-orang Nordik. Dua indikator pertama dibentuk oleh negara dan dua indikator kedua dibentuk oleh sistem sosial. Berat..
Pada akhirnya, saya tetap bersyukur dan bahagia kok jadi Orang Indonesia, serius. Buktinya, saya gak mau jika disuruh pindah jadi warga Nordik (atau mereka juga gak mau nerima saya). Selain itu, banyak orang-orang disekitar saya yang selalu bahagia dalam kondisi materi bagaimanapun seraya mengatakan “kebahagiaan bisa di dapat dengan bersyukur”. Untuk urusan ini, saya setuju dengan teman saya bahwa kebahagiaan kolektif Orang Indonesia juga dibentuk oleh indikator spiritual. Khusus yang ini, Orang Nordik harus belajar dari kita.[***]
Oleh: Eko Bagus Sholihin
Dosen : Dosen Ilmu Politik, Fisip UIN Raden Fatah Palembang