RAPAT di The Zuri Hotel Palembang, Kamis (13/11/2025), suasananya mirip arisan emak-emak tapi versi resmi ramai, penuh wacana, dan tentu saja, banyak yang berharap “ada cairan keluar” bukan dari panci, tapi dari sumur minyak!.
Bedanya, kalau arisan biasa nunggu giliran dapat amplop, yang ini nunggu giliran dapat izin produksi.
Topiknya gurih, yaitu “Akselerasi Usulan Kerja Sama Produksi Sumur Minyak BUMD, Koperasi, dan UMKM Provinsi Sumsel”.
Katanya demi pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja. Tapi di tengah senyum dan tepuk tangan itu, rakyat cuma punya satu pertanyaan sederhana “Yang gali siapa, yang dapat siapa?”.
Dalam rapat itu dibahas aturan baru dari pusat, intinya memberi peluang bagi daerah dan masyarakat untuk mengelola sumur tua secara resmi dan aman.
Tujuannya mulia, tapi rakyat sudah cukup sering dengar istilah “niat baik”, entah kenapa suka berhenti di lampu merah aturan.
Faktanya, Sumatera Selatan memang salah satu jadi gudangnya sumur tua di Indonesia.
Menurut berbagai catatan SKK Migas, hampir separuh potensi sumur tua di wilayah Sumatera bagian selatan ada di tanah ini.
Tapi ajaibnya, yang deras masih saja cuma keringat rakyatnya.
Minyaknya keluar dari bumi, tapi yang menetes ke dapur rakyat sering cuma cerita, ibarat punya kolam ikan, tapi yang makan malah burung yang lewat.
Dalam forum itu disebutkan bahwa kerja sama antara daerah, koperasi, dan perusahaan migas besar bakal dipercepat, dengan target Desember sudah ada hasil konkret.
Kata “akselerasi” memang kedengarannya keren, tapi di telinga rakyat sering berarti “cepat di awal, lambat di ujung”.
Biasanya yang jalan duluan malah spanduk dan seremoninya.
Proposalnya beredar, presentasi berkilau, tapi sumur di lapangan tetap sepi kayak warung kopi pas hujan deras.
Bahkan rakyat menunggu sederhana, jangan cuma cepat di janji, tapi juga cepat di bukti.
Pejabat dari kementerian menekankan pentingnya keselamatan dan lingkungan dalam pengelolaan migas rakyat.
Katanya, jangan sampai sumur tua malah jadi sumber bahaya baru.
Rakyat sih setuju, tapi sambil bergumam pelan. “Iya, alam dijaga, tapi tolong juga isi panci jangan terus berdebat sama dompet”.
Banyak sumur tua di Sumsel sekarang dikelola ala kadarnya.
Yang kerja di lapangan masih pakai peralatan seken, sementara urusan izinnya kadang muter kayak kipas angin rusak bunyi mulu tapi gak nyala.
Kalau mau aman, ya amanin semuanya, mulai dari alamnya, manusianya, sampai alurnya.
Contoh sukses itu sebenarnya udah banyak.
Di Cepu dan Blora, sumur tua bisa hidup lagi lewat koperasi rakyat.
Mereka kerja bareng dengan sistem yang jelas, hasilnya dibagi adil, dan ekonomi lokal pun ikut bergeliat.
Di Texas, apalagi, komunitas lokal dapat porsi hasil minyak lewat program community share.
Sementara di Norwegia, hasil minyak disimpan di sovereign fund untuk masa depan rakyatnya, minyaknya bisa habis, tapi kesejahteraannya gak ikut kering.
Tanah kaya
Dari mereka kita bisa belajar minyak boleh hitam, tapi pengelolaannya harus terang.
Karena kalau minyak keluar dari bumi, tapi nurani gak ikut naik ke permukaan, ya hasilnya tetap sama, licin di atas, gersang di bawah.
Rakyat Sumsel sebenarnya gak minta banyak. Mereka cuma pengen kalau ada yang digali dari bumi, hasilnya jangan cuma mampir di berita. Sumur boleh tua, tapi cara berpikir jangan ikut tua.
Yang penting, rakyat jangan cuma diajak tepuk tangan saat peluncuran, tapi juga dilibatkan saat pelaksanaan.
Karena kalau semuanya berhenti di wacana, ya… hasilnya cuma sumur minyak yang aktif, tapi ekonomi rakyat tetap pasif.