PT PLN (Persero) telah berupaya mengatasi kekurangan energi dimana salah satu dengan65 memproyeksikan pembangunan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk mengisi kekurangan energi sejumlah 230 gigawatt (GW) hingga 2060.
Hal tersebut disampaikan Senior Executive Vice President Manajemen Resiko PT PLN (Persero) Chairani Rachmatullah, melalui keterangan tertulisnya, dalam Webinar “Peran Renewable Energy dalam Meningkatkan Daya Saing di Era Revolusi Indonesia 4.0” yang digelar Ikatan Alumni Teknik Elektro Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, pada Sabtu (12/2/2022).
Chairani mengatakan, produksi energi nasional mencapai 300 terrawatt hour (TWh) pada 2020 (basecase), sementara pertumbuhan kebutuhan listrik diperkirakan mencapai 1800 TWh pada 2060.
Walau sudah ada proyek 35 Giga Watt (GW) yang dicanangkan pemerintah dengan didominasi oleh bahan bakar fossil, tapi diperkirakan nantinya hanya akan memberikan tambahan sebesar 21 GW (120 TWh).
“Artinya ada gap energi sebesar 1.380 TWh (230 GW), dan ini sangat mungkin diisi oleh pembangkit EBT dan memerlukan biaya investasi 500-600 miliar dolar AS,” kata Chairani.
Untuk itu, PLN sudah menyiapkan peta jalan untuk mendukung pengembangan EBT itu dengan membuat Rencana Penambahan Pembangkit pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 atau Greener RUPTL.
“Ini juga menjadi dasar untuk mencapai target Zero Carbon pada 2060 seperti yang ditargetkan pemerintah,” katanya
Saat ini, kapasitas terpasang pembangkit PLN mencapai 63,3 GW.
Oleh karena itu, dalam 10 tahun ke depan, PLN berencana menambah pembangkit baru sebesar 40,6 GW dengan porsi EBT mencapai 20,9 GW (51,6 persen).
Selain itu, PLN merencanakan untuk mengistirahatkan Pembangkit Listrik Tenaga uUap (PLTU) retirement sebesar 1,1 GW dan penggantian Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) tua tersebar sekitar 3,6 GW sehingga kapasitas pembangkit PLN pada tahun 2030 menjadi 99,2 GW.
Walau sudah ada proyek 35 GW itu, yang mana 34 persen atau 13 GW masih merupakan PLTU, menurut Chairani, PLN tetap berkomitmen akan memasukkan EBT dalam sistem ketenagalistrikan.
“Artinya tidak perlu khawatir, porsi EBT masih sangat memungkinkan masuk ke sistem kami,” kata Chairani.
Terkait strategi untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, PLN juga telah membuat beberapa perencanaan, di antaranya, percepatan izin, eksplorasi dan pembebasan lahan untuk meningkatkan keberhasilan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sejuah 1,4 GW, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) sejumlah 4,2 GW.
Kemudian, program dedieselisasi PLTD tersebar 588 MW menjadi PLTS 1,2 GWp dan Batere, pembangunan PLTS 4,7 GW dan PLTB 0,6 GW.
Lalu, implementasi co-firing biomasa pada PLTU PLN dengan porsi rata-rata 10 persen untuk PLTU di Jawa-Bali dan 20 persen untuk PLTU di luar Jawa-Bali, dengan total kapasitas ekuivalen 2,7 GW setara bauran energi 6 persen.
Mengganti PLTU Batubara dengan Pembangkit EBT 1 GW sebagai pemikul beban dasar setelah tahun 2025, serta retirement PLTU di Muarakarang, Priok, Tambaklorok dan Gresik dengan total kapasitas 1,1 GW pada tahun 2030.
Melalui upaya ini porsi EBT di sistem pembangkitan PLN diharapkan tumbuh dari 13,01 persen pada 2021 menjadi 23 persen pada 2025 dan 24,8 persen pada 2030,” kata Chairani.
Dalam upaya transisi energi pada kelistrikan Indonesia ini, Chairani tak menampik terdapat sejumlah risiko yang sangat mungkin terjadi di antaranya dari sisi regulasi, lingkungan, operasional hingga keuangan.
“Salah satunya dari sisi operasional yakni bakal ada penurunan keandalan listrik, dan dari sisi lingkungan yakni bakal ada masalah jika ada eksploitasi berlebih untuk penyediaan bahan baku pembangkit tenaga biomassa,” ujarnya.InfoPublik (***)