PAGI-pagi di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera -Selatan udara masih lembab, ayam baru dua kali kokok, tapi di Desa Mekar Sari, Kecamatan Keluang, sudah ramai kayak pasar murah minyak. Suara mesin pompa meraung, bercampur tawa warga. Bukan tawa gugup karena dikejar aparat, tapi tawa lega, sekarang ngebor minyak gak perlu main kucing-kucingan lagi.
Dulu, kerja di sumur rakyat itu mirip pacaran di bawah umur, sama-sama deg-degan, dilarang tapi tetap jalan. Sekarang, berkat Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025, rakyat Muba gak cuma dapat izin, tapi malah disuruh negara sendiri. Ya, pemerintah resmi bilang “Silakan, asal aman, rapi, dan gak meledak”.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pun datang langsung, bareng Gubernur Herman Deru dan Bupati H M Toha Tohet, meninjau sumur rakyat di Mekar Sari. Biasanya pejabat datang bagi sembako, kali ini bagi legalitas, lebih berharga dari beras lima kilo.
Dari situ, suasana yang tadinya tegang jadi cair, negara gak lagi jadi polisi, tapi jadi pelatih, rakyat gak lagi sembunyi, tapi berdiri tegak di bawah matahari.
Kebijakan ini bukan basa-basi, pemerintah bikin skema, rakyat boleh kelola sumur lewat koperasi, BUMD, atau UMKM. Hasilnya? Pertamina siap beli minyak itu 80 persen dari harga minyak dunia (ICP) artinya, rakyat gak cuma dapat kerja, tapi dapat harga. SKK Migas dampingi, PLN bangun jaringan, semuanya kayak gotong royong versi Energi Nasional.
Bupati Toha Tohet sampai bilang, “Muba siap jadi contoh tata kelola energi berkeadilan”. Ya jelas, wong rakyatnya semangatnya bukan kaleng-kaleng.
Dulu dikejar-kejar, sekarang malah disambut karpet merah, ini kayak cerita sinetron yang dulu diusir, sekarang jadi menantu idaman.
Tapi jangan salah, legalisasi ini bukan berarti bebas seenaknya, negara kasih izin bukan buat gaya-gayaan, tapi buat ngajarin kerja aman. Pepatah bilang, “Api kecil jadi kawan, api besar jadi lawan”. Nah, minyak rakyat ini juga gitu, kalau dikelola benar, bisa jadi berkah, tapi kalau serampangan, bisa bikin gosong semua.
Listrik desa
Bahlil juga sempat menyinggung soal listrik desa, targetnya, 2030 semua desa di Indonesia terang benderang. Di Muba, PLN lagi bangun jaringan di tujuh lokasi, dengan dana Rp45 miliar. Kalau sumur rakyat nyala dari bawah, listrik desa nyala dari atas, pas banget, energi dari bumi dan langit saling sapa.
Yang bikin tambah menarik, ternyata Indonesia gak sendirian. Ada Filipina, rakyatnya juga boleh ngebor minyak kecil-kecilan lewat Small-Scale Oil Extraction Permit.
Selain itu, Kolombia, pemerintahnya mengandeng komunitas lokal supaya hasil tambangnya dibeli langsung Ecopetrol, dan di Tanzania, warga desa mengelola biogas dan tenaga surya bareng Village Energy Committees, artinya, dunia pun mulai sadar, kalau mau energi berkeadilan, ya libatkan rakyatnya.
Nah, Muba ini bisa jadi pelopor di Indonesia, coba pikirkan, kalau ada seribu sumur rakyat aktif, tiap sumur nyedot dua barel per hari, setahun bisa dapet 700 ribu barel minyak.
Itu baru dari rakyat kecil, belum korporasi, namun efek terbesarnya bukan cuma angka produksi, melainkan rasa percaya diri, rakyat yang dulu dianggap “nakal”, kini bisa dibilang ” Nasionalis energi”.
Secara politik energi, langkah ini ngena banget, karena negara hadir bukan sekadar mengatur, tapi memerdekakan, pasalnya selama ini, tambang dan minyak sering dikuasai korporasi besar, sebaliknya rakyat cuma dapat debu di jalan tambang, sekarang, dengan skema ini, rakyat bukan cuma penonton tapi pemain.
Dari Desa Mekar Sari yang tanahnya penuh minyak sampai Dusun Napal Putih yang baru pasang listrik, Muba mengajarkan satu hal, yakni keadilan energi itu bisa lahir dari bawah, asal negara mau jongkok bareng rakyat.
Kalau dulu orang bilang “negara hadir”, rakyat sering tanya, “hadir di mana?” . Nah, kali ini negara hadir bukan lewat baliho atau spanduk, tapi lewat izin dan listrik yang benar-benar nyala.
Dan buat yang masih nyinyir bilang ini cuma pencitraan, ya… silakan, tapi jangan lupa terkadang pencitraan juga butuh cahaya, dan cahaya itu sekarang datang dari Muba.
Sebagai penutup, mari kita ingat pepatah tadi, api kecil bisa jadi kawan, asal dijaga, sama seperti semangat warga Mekar Sari, kalem tapi menyala. Jangan padamkan bara rakyat, karena dari sana lahir cahaya energi keadilan yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, negara besar bukan cuma yang punya kilang megah, tapi yang berani percaya bahwa bara kecil di tangan rakyat bisa menerangi bangsa.[***]