Konferensi Iklim PBB COP27 telah selesai dilaksanakan pada 20 November lalu. Gelaran yang dilaksanakan di el-Sheikh, Mesir ini menghasilkan sebuah kesepakatan baru tentang pembiayaan untuk loss and damage atau kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim. Kesepakatan tersebut berkomitmen membentuk pembiayaan khusus “untuk membantu negara-negara berkembang yang sangat rentan terhadap dampak merugikan dari perubahan iklim”.
Sayangnya, sejumlah tantangan untuk melawan Krisis Iklim yang semakin mendesak kita masih belum terjawab dalam COP kali ini.
Yang perlu kamu tahu… COP27 sejak awal telah menuai kontroversi akibat masuknya Coca-Cola sebagai sponsor acara ini. Apa yang menjadi masalah? Coca-Cola menduduki posisi teratas sebagai merek pencemar plastik global dalam laporan terbaru BRANDED – Brand Audit 2018-2022. Peningkatan produksi plastik yang dilakukan oleh produsen, seperti Coca-Cola, dibuat dengan menggunakan bahan bakar fosil yang memparah Krisis Iklim dan polusi plastik. |
“Coca-Cola mensponsori COP27 adalah bentuk ‘greenwash’. Sungguh mengherankan, perusahaan yang sangat terikat dengan industri bahan bakar fosil diizinkan untuk mensponsori pertemuan iklim yang begitu penting,” ujar Emma Priestland, koordinator Break Free From Plastic seperti dikutip oleh The Guardian.
Besarnya pengaruh industri bahan bakar fosil dalam acara ini mempengaruhi satu hal yang paling mendasar: tidak dielaborasinya upaya untuk phase out (keluar) atau bahkan phase down (mengurangi) penggunaan semua jenis bahan bakar fosil. Padahal – seperti sudah sering dibahas dalam newsletter ini – bahan bakar fosil menghasilkan emisi terbesar yang harus segera dikurangi agar kita dapat menekan pemanasan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Meskipun COP sekali lagi mengamini target Perjanjian Paris tersebut, tanpa mengurangi penggunaan bahan bakar fosil terdengar seperti hal yang sia-sia. |
Permasalahan lainnya… Meskipun bersepakat untuk pembiayaan loss and damage, isu penting seperti soal negara mana yang akan membayar baru akan dibahas pada pertemuan COP berikutnya. Greenpeace Indonesia melihat hal ini sebagai tanda masih adanya keengganan dari para negara-negara emiter besar untuk membayar biaya kerusakan iklim akibat emisi yang mereka hasilkan selama ini.
“Kita masih memiliki pekerjaan rumah memastikan negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab atas krisis iklim memberikan kontribusi terbesar untuk pendanaan loss and damage,” ujar Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia. |
Penentuan negara-negara yang harus turut membayarkan pembiayaan loss and damage ini akan menjadi PR penting bagi COP28. Masalahnya gelaran tersebut akan dilaksanakan di Dubai, Uni Emirat Arab – salah satu eksportir minyak terbesar dunia. “Presidensi Mesir menghasilkan sebuah teks yang dengan jelas melindungi negara penghasil minyak dan gas dunia serta industri bahan bakar fosil. Tren ini tidak dapat berlanjut di UEA tahun depan,” tegas Laurence Tubiana, salah satu ‘arsitek’ Perjanjian Paris tahun 2015.
Perlu juga diingat bahwa pendanaan iklim ini tidak bisa hanya berakhir sebagai komitmen di atas kertas saja. Sebab, pembiayaan untuk meningkatkan ketahanan iklim dari negara maju untuk negara berkembang sebesar US$100 miliar per tahun hingga 2020 yang disepakati 13 tahun lalu juga tidak terlaksana.
Kini kita sudah sampai di penghujung 2022. Artinya, satu tahun lagi telah terlewati untuk menjauhkan kita dari dampak Krisis Iklim yang semakin parah. Kita butuh mendorong aksi yang lebih kuat dan komitmen lebih nyata dari para pemimpin kita.
Salam hijau damai, Greenpeace Indonesia |