DI PALEMBANG, kabar gembira datang lebih cepat dari tukang gorengan buka lapak sore, tahun 2025 ini, Wali Kota Ratu Dewa menggulirkan program pinjaman tanpa bunga dan tanpa agunan buat para pelaku UMKM, katanya, tiap pelaku usaha bisa dapat Rp5 juta, syaratnya?, punya NIB, usaha aktif minimal setahun, dan nggak lagi nikmatin subsidi bunga dari tempat lain.
Wah, kedengarannya nikmat, ya?, bisa jadi inilah momen langka di mana orang teriak, “akhirnya, utang yang nggak bikin kepala cenat-cenut!”
Program ini sebenarnya ide bagus, namun seperti biasa, kalau kebijakan udah turun ke lapangan, kadang logika bisa tersandung kabel data, sudah ada 93 ribu UMKM di 18 kecamatan yang masuk daftar pendataan. Nah, di situ mulai muncul pertanyaan, apakah semuanya benar-benar pelaku usaha, atau ada juga yang usahanya cuma aktif saat difoto petugas survei?.
Untuk menghindari hal-hal lucu semacam itu, Pemkot Palembang melibatkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) buat survei lokasi, jadi, kalau ada yang ngaku jualan bakso, tapi pas dicek tempatnya malah warung kopi bapaknya, bisa langsung ketahuan. Bener juga, karena kalau dibiarkan, bantuan ini bisa berubah dari program ekonomi jadi komedi situasi.
Pinjaman tanpa bunga itu ibarat kasih pancing, bukan kasih ikan, masalahnya, sebagian orang malah mau dikasih pancing sekalian sama ikan goreng dan sambalnya. Jadi kalau pemerintah nggak hati-hati, bisa-bisa yang butuh nggak kebagian, sementara yang rajin main kuota malah dapet duluan.
Tapi, di sisi lain, langkah Ratu Dewa patut diapresiasi, setidaknya beliau sadar, UMKM itu tulang punggung ekonomi daerah, meski kadang punggungnya pegal karena beban pajak, izin, dan harga bahan baku yang naik-turun kayak sinyal Wi-Fi gratisan.
Oleh karena itu, agar nggak GR (gede rasa) seolah Palembang paling inovatif, mari kita tengok empat contoh lain yang juga pernah main di jalur bunga nol persen, sebut saja Surabaya, Indonesia
lewat BPR Surya Artha Utama, Surabaya pernah kasih pinjaman tanpa bunga. Awalnya manis, tapi banyak yang macet karena pelaku usaha kurang paham cara kelola uang, akhirnya pemerintah bikin kelas literasi keuangan, setelah itu baru programnya jalan mulus.
Bandung juga, di bawah program Mesra (Masyarakat Ekonomi Sejahtera), masyarakat bisa pinjam tanpa bunga asal aktif di majelis taklim, hasilnya cukup oke, tapi tetap ada drama, karena beberapa penerima malah pakai dananya buat arisan, untung cepat dibenahi.
Belajar dari luar negeri, sebut juga Seoul, Korea Selatan, pemerintah Seoul punya program pinjaman nol persen untuk usaha kecil, tapi wajib ikut pelatihan dulu, disiplin banget, kayak ujian skripsi. Hasilnya? tingkat gagal bayar cuma 3%, jauh lebih kecil dari tingkat kesabaran warga saat antre bubble tea.
Ada lagi Warsaw, Polandia, lewat Rural Development Foundation, pemerintah Polandia kasih pinjaman mikro tanpa bunga di pedesaan, namun bedanya, mereka mewajibkan laporan perkembangan usaha tiap tiga bulan. tapi gagal lapor? dana berikutnya langsung dicoret, tegas, tapi adil.
Empat contoh ini sama-sama untuk ngajarin satu hal uang bantuan boleh tanpa bunga, tapi tanggung jawab harus berbunga-bunga.
Ekonomi lokal
Di banyak tempat, pelaku UMKM memang ahli adaptasi, kalau harga bahan naik, mereka bisa ubah ukuran porsi dengan kecepatan cahaya. Kalau sepi pembeli, mereka putar otak bikin promo “Beli 2 Gratis Senyum Manis”. Jadi kalau mereka dapat pinjaman Rp5 juta tanpa bunga, semoga tidak muncul promo “Beli 1 Gratis Pelunasan Tahun Depan”.
Oleh sebab itu, sejatinya, program tanpa bunga bukan berarti tanpa tanggung jawab, dana itu bukan buat beli hape baru, apalagi buat DP motor. Itu buat memperkuat usaha, dari stok bahan, peralatan, sampai sedikit inovasi biar warungnya nggak kalah saing sama marketplace.
Kalau dijalankan serius, program ini bisa jadi penggerak ekonomi lokal, UMKM tumbuh dampaknyha pendapatan warga naik, selain itu perputaran uang makin kencang, bahkan pajak ikut naik dan akhirnya pemerintah ikut bahagia, rantai bahagia ekonomi, istilahnya.
Tapi kalau salah sasaran, efeknya bisa terbalik 360 derajat…karena uang habis, usaha tak tumbuh, dan pemerintah malah disalahkan, karena itu ingat strategi dan pendampingan usaha wajib disiapkan, sekadar kasih duit tanpa edukasi itu sama aja kayak nyuruh orang berenang tanpa ngajarin cara ambil napas.
Pinjaman tanpa bunga ibarat jalan tol ekonomi rakyat, yakni cepat, gratis, tapi butuh rambu yang jelas, kalau semua pihak jalan sembarangan, ujungnya bukan kemajuan, tapi tabrakan kepentingan.
Pada akhirnya mari sadar, karena pemerintah sudah kasih peluang emas, tinggal rakyatnya yang mesti pandai mengolahnya, jangan sampai dana Rp5 juta itu malah jadi Rp0 hasil karena salah pakai. Kalau benar dikelola, bisa jadi modal bangkit, bukan modal selfie di depan spanduk bantuan, makanya kalau mau suksel, program ini harus dijaga bersama, yakni pemerintah transparan, masyarakat disiplin, dan semua pihak waras, artinya kalau otak dan hati ikut nol persen, ya siap-siap aja ekonomi daerah masuk angin permanen.
Pinjaman nol persen bukan soal angka di kertas, tapi soal karakter ekonomi rakyat, kalau dijalankan dengan jujur dan disiplin, Palembang bisa jadi contoh Nasional, kota yang membuktikan bahwa kepercayaan bisa lebih berharga daripada bunga bank, amin…. [***]