Perbankan & Keuangan

Bank & Modal Mikro, Kunci Perluas Peluang Wirausaha Disabilitas

ist

KALAU ditanya apa yang paling susah dalam hidup, sebagian orang akan bilang “ngurus mantan,” tapi bagi banyak penyandang disabilitas, jawaban yang keluar justru “ngurus modal ke bank” Bukannya karena mereka nggak bisa usaha, tapi karena pintu bank seringkali seperti rumah mertua yang belum percaya pada calon menantu harus ada jaminan, ada kepastian, ada bukti keseriusan.

Padahal pepatah lama bilang, “kalau tak ada rotan, akar pun jadi”. Nah, bagi para pelaku wirausaha disabilitas, kalau tak ada bank, ya mereka nekat pinjam sama tetangga, koperasi, atau bahkan lewat aplikasi online yang bunganya bisa bikin jantung copot. Maka di sinilah peran Bank dan Modal Mikro penting, ibarat payung yang muncul sebelum hujan deras bukan setelah basah kuyup.

Jika seorang penjahit difabel di Palembang, tangannya cekatan mengoperasikan mesin jahit, kakinya mungkin lemah tapi semangatnya mengalahkan tukang servis AC yang naik turun tangga tiap hari.

Masalahnya, ketika ia datang ke bank untuk mengajukan modal, sering ditanya hal-hal yang bikin keringat dingin “Mana slip gaji? Mana agunan? Mana laporan keuangan tiga tahun terakhir?”

Walah, jangankan laporan keuangan, catatan utang di warung sebelah saja kadang lupa dicatat. Akhirnya pupuslah harapan.

Untungnya, sekarang ada skema kredit mikro inklusif dari beberapa bank. Skema ini ibarat jurus jitu bukan menilai tongkat atau kursi roda yang dipakai, tapi melihat berapa banyak pesanan baju yang antre di rumahnya. Jadi yang dinilai bukan keterbatasan fisik, tapi seberapa kencang roda usahanya berputar.

Ada pepatah bilang, “uang bisa habis, ilmu tidak pernah ludes”. Nah, banyak UMKM disabilitas yang dulu asal muter uang, akhirnya “tewas gaya” di tengah jalan. Contoh nyata seorang pengrajin anyaman bambu difabel di Jawa Tengah pernah dapat modal 10 juta, tapi setengahnya habis buat beli motor bekas karena katanya “biar gaya dulu, usaha belakangan”

Oleh karena itu, mentoring finansial jadi penting. Bank dan lembaga keuangan kini nggak hanya kasih duit, tapi juga ngajarin cara mengelola duit. Mulai dari memisahkan uang belanja dapur dengan uang modal usaha, sampai cara bikin laporan sederhana.

Di sebuah pelatihan di Yogyakarta, ada pengrajin batik difabel yang awalnya bingung sama Excel. Tapi setelah diajarin, ia bisa bikin tabel keuangan rapi. Hasilnya? Bank makin percaya, pelanggan makin yakin, dan omzet naik kayak harga cabai menjelang Lebaran.

Mari kita tengok cerita sukses di Surabaya. Ada UMKM disabilitas yang awalnya cuma jual keripik singkong di depan rumah. Modalnya pas-pasan, kemasannya plastik transparan ala kadarnya. Begitu dapat akses Bank dan Modal Mikro plus pelatihan branding, wah, berubah total. Keripiknya sekarang punya merek, bungkusnya kinclong, bahkan sudah masuk minimarket.

Hebatnya lagi, usaha ini justru mempekerjakan difabel lain. Jadi ibarat pepatah, “sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui”. Bukan hanya pemiliknya yang naik kelas, tapi juga lingkaran sosialnya ikut terangkat. Bank untung, pelaku usaha berkembang, masyarakat terbantu. Nah, siapa bilang inklusi itu sekadar jargon? Ini bukti nyata bahwa inklusif itu bikin untung bareng-bareng.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, modal terbesar bukan hanya uang, tapi kepercayaan. Sama kayak hubungan asmara kalau nggak ada percaya, ya bubar jalan. Begitu pula dengan usaha. Saat bank percaya, usaha difabel bisa mekar seperti bunga kertas yang kena hujan deras.

Namun, jangan lupa, kepercayaan itu harus dijaga. Kalau modal dipakai bukan untuk usaha tapi untuk foya-foya, ya sama saja bohong.

Ada cerita lucu, seorang wirausaha difabel pernah pakai sebagian modal kreditnya buat beli sound system baru karena katanya biar “jualan mie ayam ada backsound dangdut koplo.” Usahanya jadi viral sih, tapi cicilan tetap harus dibayar.

Nah, setelah pintu bank terbuka dan modal cair, pertanyaan berikutnya adalah “Bagaimana agar usaha disabilitas bisa naik kelas?” Jawabannya inovasi dan digital marketing.

Di era belanja online, produk UMKM disabilitas harus bisa nongkrong manis di marketplace, mejeng di Instagram, atau bahkan muncul di TikTok dengan gaya kocak. Karena kalau cuma jualan offline, pasarnya sempit. Tapi begitu masuk dunia digital, keripik singkong bisa sampai ke Jakarta, batik bisa sampai ke Malaysia, bahkan sandal anyaman bisa dilirik orang Eropa.

Pepatah modernnya begini “Kalau tak bisa buka toko besar, bukalah toko online. Kalau tak bisa pasang baliho di jalan utama, pasanglah iklan di media sosial”

Bank dan Modal Mikro adalah kunci emas memperluas peluang wirausaha disabilitas, dari akses keuangan yang lebih ramah, skema kredit mikro inklusif, sampai mentoring finansial, semua itu ibarat tangga yang menolong mereka naik ke lantai berikutnya.

Tapi ingat, modal bukan akhir cerita, ia baru pintu awal. Agar usaha benar-benar terbang tinggi, perlu sentuhan inovasi dan digital marketing. Jadi, saran sederhana untuk bank dan pemerintah jangan cuma kasih pancing dan kail, tapi juga ajarkan cara mancing di laut digital. Dan untuk para wirausaha disabilitas jangan takut melompat. Karena seperti kata pepatah, “kalau kita berani mencoba, laut luas pun bisa ditaklukkan, meski dengan perahu kecil”.[****]

Terpopuler

To Top