Sumselterkini.co.id,- Kalau dulu, anak-anak miskin banyak yang ‘bersekolah’ di jalanan duduk di emperan, menggambar pakai arang, dan hafal lagu pengamen lebih cepat dari rumus matematikakini muncul harapan baru lewat gebrakan bernama Sekolah Rakyat. Jangan bayangkan ini seperti sekolah biasa. Ini bukan sekadar bangunan berisi papan tulis dan absen hari Senin, tapi sebuah hajatan nasional untuk memuliakan wong cilik agar kelak bisa ikut memegang obor Indonesia Emas 2045.
Gagasan ini begitu radikal dan manis, seperti nonton sinetron tapi tanpa adegan ditampar mertua. Digarap oleh Kementerian Sosial, didukung penuh oleh Kemendagri, dan dipayungi langsung oleh visi Presiden Prabowo, Sekolah Rakyat ibarat kost-kostan masa depan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem, lengkap dengan pendidikan karakter, asrama, dan (yang tak kalah penting) harapan.
Dan ini bukan mimpi di siang bolong. Sudah ada 356 usulan lokasi, dengan target 200 titik dibangun tahun ini, dan 53 di antaranya siap jadi rumah belajar anak-anak kita pada tahun ajaran 2025/2026. Tapi seperti masak rendang, tak cukup bumbu dan api perlu kompor gas lokal, alias dukungan pemerintah daerah.
Menteri Tito tegas-tegas bilang, lahan sengketa? Coret. Tanah kosong tanpa status hukum jelas? Coret juga. Yang bisa lanjut hanya tanah siap pakai, legal, dan kalau bisa udah ada gedungnya. Kalau bisa juga ada AC-nya sekalian, tapi itu bonus. Jadi, wahai bupati, wali kota, gubernur, inilah waktunya unjuk gigi. Tak cukup sekadar ngetwit dukungan, tapi harus siap sedia warisan tanah dinas buat jadi pondasi generasi emas.
Karena kalau pemerintah daerah cuek, program ini bisa jeblok seperti ujian matematika di hari puasa.
Model pendidikan ini sebetulnya bukan hal baru di dunia. Banyak negara pernah menerapkan pendidikan khusus untuk kelompok masyarakat marjinal. Di Brazil, misalnya, ada gerakan Escola Popular, sekolah rakyat yang tumbuh dari semangat komunitas untuk mendobrak ketimpangan pendidikan. Di Kenya, sistem Alternative Basic Education memungkinkan anak-anak miskin belajar lewat model non-formal yang fleksibel tapi tetap berkualitas.
India punya Navodaya Vidyalaya, sekolah asrama untuk anak berbakat dari pedesaan. Bedanya, Sekolah Rakyat Indonesia bukan cuma untuk anak pintar, tapi juga anak miskin yang ingin punya masa depan. Jadi ini bukan elitisme pendidikan, tapi humanisme terstruktur. Dan itu keren.
Format berasrama Sekolah Rakyat mungkin bikin anak-anak sempat deg-degan “Duh, tinggal jauh dari emak, bisa kuat enggak ya?” Tapi justru di sinilah rahasianya: mereka tidak cuma diajari calistung, tapi juga diajari bagaimana bangun subuh tanpa disuruh emak, belajar gotong-royong tanpa disuruh pak RT, dan menjadi manusia tangguh tanpa harus jadi superhero.
Orang tua pun diajak ikut serta. Ini bukan sistem titip anak, tapi sistem kaderisasi keluarga. Orang tua mesti berkomitmen mendampingi. Karena memutus rantai kemiskinan butuh lebih dari sekadar buku tulis dan papan absenperlu keluarga yang siap berjuang bersama.
Program Sekolah Rakyat adalah bentuk nyata keberpihakan negara pada kelompok yang selama ini sering disebut dalam pidato tapi jarang disentuh dalam kebijakan. Maka, dukungan pemerintah daerah harus total. Jangan sampai niat baik ini mandek karena alasan teknis, apalagi alasan politis. Jangan sampai anak-anak gagal punya sekolah cuma karena surat tanah nyangkut di laci camat.
Kita butuh lebih dari gedung dan kurikulum kita butuh semangat kolektif. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, bahkan tetangga sekitar lokasi sekolah, semua harus punya semangat yang sama bahwa anak-anak miskin bukan beban, tapi bibit unggul yang belum sempat disiram.
Sekolah Rakyat bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah infrastruktur cita-cita. Bayangkan, dari gedung sederhana di pelosok, lahir dokter, guru, teknokrat, petani inovatif, sampai pemimpin masa depan. Dan mereka semua akan tahu, bahwa jalan mereka dimulai dari ruang kelas berasrama, dari nasi sederhana di kantin Sekolah Rakyat, dari guru-guru berdedikasi yang digaji bukan karena kemewahan, tapi karena panggilan hati.
Jadi, kalau ada yang bertanya bisa apa sih sekolah untuk orang miskin?
Jawabannya bisa segalanyaasal negara, daerah, dan rakyat saling gotong-royong. Karena sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi tempat membangun harapan. Dan harapan, kalau diberi rumah, bisa tumbuh lebih cepat dari pohon jati.[***]