Sumselterkini.co.id, – Ada yang beda di panggung Auditorium 2 UIN Walisongo, Semarang, Rabu kemarin. Bukan karena dekorasi dies natalis yang makin Instagramable atau AC yang alhamdulillah sudah nggak semriwing kayak zaman kuliah dulu. Tapi karena ada satu sosok yang datang bukan lagi sebagai mahasiswa ngutang fotokopian, melainkan sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed.
Iya, betul. Beliau dulu mahasiswa Tarbiyah angkatan 1986. Pernah jadi reporter majalah kampus Amanat, dan sekarang… diliput sama Amanat. Putarannya hidup ini kadang memang kayak sinetron: dari yang nulis berita, jadi berita. Apalagi kalau lihat karier beliau yang melejit dari mahasiswa biasa jadi dosen, terus guru besar, sampai akhirnya jadi menteri. Kita yang baru berhasil wisuda tepat waktu saja sudah merasa kayak pahlawan.
Dies Natalis ke-55 UIN Walisongo tahun ini mengusung tema “Inovasi dan Kolaborasi: Mewujudkan Indonesia Gemilang.” Kalau biasanya ulang tahun kampus cuma ramai di kalangan panitia dan mahasiswa yang kejebak jadi LO, kali ini aura kebanggaannya nular sampai ke nasi kotaknya. Soalnya, selain dihadiri alumni yang sekarang menteri, UIN Walisongo juga resmi dapat SK pendirian Fakultas Kedokteran. Yak, betul. Sekarang kampus ini nggak cuma bisa nyembuhkan luka hati mahasiswa pasca putus cinta, tapi juga luka fisik beneran.
Pak Rektor, Prof. Dr. Nizar, M.Ag., dengan wajah bahagia mirip orang tua yang baru dapat kabar anaknya lulus CPNS, bilang, “Ini adalah hadiah terindah di usia ke-55.” Lengkap sudah. UIN Walisongo sekarang punya fakultas baru, prodi bisnis digital, dan reputasi nasional yang terus naik daun termasuk akreditasi “Unggul” dan predikat “informatif” empat tahun berturut-turut. Iya, kampus kita sudah bukan kaleng-kaleng lagi, Sob.
Tapi, yang paling nyantol di kepala adalah pidato Prof. Mu’ti. Judulnya saja sudah serius: “Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Tapi isinya? Dalem banget, walau disampaikan dengan gaya yang santai. Beliau mengingatkan bahwa pendidikan hari ini bukan sekadar hafal rumus atau kuasai coding, tapi soal karakter.
“Teknologi boleh canggih, tapi harus dipegang oleh orang yang berkarakter,” begitu katanya. Karena, katanya lagi, AI sehebat apapun nggak bakal bisa gantiin guru yang punya empati dan tahu kapan muridnya butuh pelukan (atau nilai bonus).
Yang bikin makin relate, beliau nyentil soal guru dan beban administrasi. “Sekarang udah ada tunjangan sertifikasi, mari fokus ke pengembangan kompetensi, bukan sibuk ngisi laporan,” katanya. Auto disambut tepuk tangan dari para guru dan dosen yang mungkin selama ini sudah akrab dengan spreadsheet daripada muridnya sendiri.
Dies natalis ini, pada akhirnya, bukan sekadar seremoni potong tumpeng atau nostalgia makan di kantin yang entah kenapa rasanya dulu lebih enak. Ini adalah momen kontemplatif. Tentang kampus yang sudah melahirkan ribuan alumni hebat. Tentang dosen-dosen yang terus mengajar meski gaji datangnya telat. Tentang mahasiswa yang, walau tidur cuma 4 jam karena deadline skripsi, tetap semangat ikut lomba esai demi uang pendaftaran KKN.
UIN Walisongo membuktikan, kampus berbasis keagamaan bukan berarti tertinggal. Justru, di tengah arus zaman yang makin cepat ini, lembaga seperti inilah yang jadi jangkar nilai dan arah moral bangsa.
Jadi kalau hari ini kita melihat seorang alumni kembali ke kampus bukan untuk yudisium ulang, tapi untuk memberikan pidato sebagai menteri, mari kita percaya: tak ada yang terlalu kecil untuk bermimpi besar. Karena siapa tahu, yang hari ini masih nungguin dosen ACC, besok gilirannya nyalamin Pak Presiden.
Dan ingat, hidup ini kadang lucu: dulu ditolak pas daftar jadi ketua BEM, eh sekarang malah jadi pembicara nasional. Maka, teruslah belajar, berproses, dan jangan lupa… siapa tahu suatu hari kamu juga diliput sama Amanat. “Dari lorong-lorong kampus inilah takdir-takdir besar sering kali diam-diam bermula.”
