DI tengah riuh rendah dunia digital, ketika anak-anak muda lebih fasih membaca caption Instagram ketimbang kitab kuning, muncul cahaya kecil dari Desa Bero Jaya, Kecamatan Tungkal Jaya, di sanalah para santri ngaji Alfiyah Ibnu Malik sambil menyeruput kopi, bukan untuk gaya-gayaan, tapi demi mengasah akal dan akhlak.
Wakil Bupati Muba, Kyai Rohman, hadir di acara Haflah Khotmil Alfiyah ke-4 seperti seorang bapak yang bangga melihat anak-anaknya wisuda. Tapi ini bukan sekadar wisuda biasa, ini wisuda ngaji kitab ribuan bait! Kalau ditumpuk, kitab Alfiyah itu bisa setinggi lemari es dua pintu. Dan para santri? Mereka bukan cuma hafal, tapi paham, dan itu prestasi langka—seperti menemukan sinyal WiFi di tengah sawah.
“Santri itu bukan cuma penjaga masjid, tapi juga penjaga masa depan bangsa,” ujar Kyai Rohman, mantap seperti teh tubruk tanpa gula, kemarin.
Kalau di kota orang sibuk healing, di pondok para santri sibuk hauling ilmu. Kadang sambil garuk-garuk kepala karena ngaji nahwu sharaf itu seperti main puzzle Arab level dewa. Tapi justru dari latihan itulah muncul mental baja yang gak gampang roboh kalau dikatain netizen.
Menghafal Alfiyah itu ibarat merajut sarung pakai benang emas rumit tapi berharga. Kata pepatah, “Ilmu tanpa adab seperti kopi tanpa gula pahit dan bikin tegang”. Maka, pesantren tak hanya menggembleng otak, tapi juga membentuk watak.
Di zaman sekarang, banyak yang pinter tapi galak. Punya gelar segudang, tapi kalau nyetir di jalan lupa etika. Nah, pesantren ngajarin ilmu plus sopan santun. Santri itu kalau ngomong masih pakai kata “punten”, bukan “anjay”.
Wahai anak muda, jangan minder! Di balik sarung dan kitab itu, tersembunyi daya ledak moral dan intelektual yang bisa mengubah dunia.
Contohnya? Lihat di Maroko, pesantren tradisional seperti Al-Qarawiyyin jadi pusat keilmuan dunia Islam, di Turki, Imam Hatip Schools membina santri jadi teknokrat dan pemimpin negeri, di Gontor, Indonesia, para alumni tersebar dari Sabang sampai Silicon Valley jadi menteri, diplomat, sampai pengusaha startup.
Jadi, siapa bilang santri cuma bisa jadi guru ngaji? Dengan modal adab, ilmu, dan wifi, santri bisa jadi CEO!
Indonesia butuh lebih banyak acara macam Haflah ini, bukan sekadar seremoni, tapi pengingat bahwa warisan ilmu jangan dikubur di rak buku. Kalau generasi muda sibuk ngafal konten TikTok tapi lupa ngaji, ya siap-siap aja krisis akhlak makin membabi buta.
Mari kita rawat tradisi ini, bukan karena romantisme masa lalu, tapi karena masa depan butuh fondasi yang kuat dan pesantren adalah salah satu batu bata emasnya.[***]