APA jadinya kalau halaman sekolah mendadak berubah jadi pasar kecil dengan bocah-bocah SD yang sibuk berjualan dan menari?. Itulah wajah Entrepreneur Day di Sekolah Islam Terpadu Al Furqon Palembang, acara tahunan yang tahun 2025 lalu disaksikan langsung Gubernur Sumatera Selatan, Herman Deru.
Sekilas, acara ini tampak sederhana karena anak-anak jualan makanan, ada stand minuman, ada pertunjukan tari, ada drama. Tapi kalau mau ditelisik, Entrepreneur Day ini adalah “laboratorium kehidupan” yang jauh lebih relevan dibanding sekadar menghafal rumus.
Melihat anak SD teriak-teriak menawarkan cilok atau keripik dengan gaya ala pedagang pasar, jujur bikin geli. Ada yang bikin label produknya unik, ada yang menawar habis-habisan, ada pula yang mempromosikan bonus senyum gratis..he..he, kalau beli dua bungkus.
Tapi justru di situlah letak nilai pendidikannya, anak-anak belajar bahwa dagang itu bukan hanya soal untung-rugi, melainkan soal keberanian, komunikasi, kreativitas, dan mental tahan banting. Kalau ada yang dagangannya nggak laku, mereka belajar menghadapi kegagalan lebih dini, kalau ada yang sukses, mereka belajar mengelola rasa percaya diri tanpa kebablasan.
Jauh lebih sehat daripada anak-anak hanya duduk diam menghafal definisi ekonomi “Kegiatan jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh dua pihak…”- hafal tapi nggak ngerti praktiknya.
Menariknya, Entrepreneur Day juga diisi dengan pertunjukan tari dan drama, bagi sebagian orang, ini mungkin sekadar hiburan sisipan. Bagi saya, justru inilah titik penting, pendidikan holistik.
Seni memberi ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri, mengolah rasa, melatih disiplin, dan berani tampil di depan publik. Anak yang berani menari atau berakting, biasanya juga lebih percaya diri ketika harus bicara, bernegosiasi, atau memimpin suatu kegiatan. Dan kalau dipadukan dengan praktik dagang, jadinya komplet, otak kiri terasah lewat hitung-hitungan, otak kanan terasah lewat ekspresi kreatif.
Di sinilah sekolah menunjukkan bahwa pendidikan bukan cuma soal buku teks, tapi juga tentang menjadi manusia yang utuh, bisa berpikir, bisa merasa, dan bisa berbuat.
Gubernur Herman Deru sempat mengingatkan bahwa kegiatan seperti ini adalah bagian dari persiapan menghadapi bonus demografi. Benar sekali, apa gunanya punya jutaan anak muda produktif kalau mentalnya masih nunggu disuapi?.
Entrepreneur Day, walaupun sederhana, sudah menanamkan bibit kemandirian sejak dini, anak belajar mencari cara agar produknya dilirik, belajar menawarkan, belajar gagal, belajar bangkit lagi. Itu modal penting agar kelak, ketika Indonesia benar-benar di puncak bonus demografi, generasi mudanya siap menjadi pelaku, bukan sekadar penonton.
Satu hal lagi adalah ketika sang gubernur menyebut Artificial Intelligence (AI). Bayangkan kalau anak SD mulai dikenalkan AI, bukan berarti mereka langsung harus coding rumit, tapi minimal mereka paham bahwa dunia berubah cepat.
Bisa jadi nanti ada stand cilok yang pakai AI, “Cilok level pedesnya menyesuaikan mood pembeli”, atau stand boba yang pakai chatbot, “Silakan pesan rasa, jangan lupa scan QR, Mbak”, kedengarannya lucu, tapi siapa tahu benar-benar jadi tren.
Kalau sekolah bisa menggabungkan entrepreneurship, seni, agama, dan teknologi, maka jadilah pendidikan yang betul-betul komplit.
Jadi, sekolah perlu lebih banyak ruang untuk praktik nyata seperti ini, karena hidup itu sendiri tidak pernah sesederhana lembar ujian pilihan ganda. Hidup adalah soal tawar-menawar, soal menahan malu, soal berani ambil risiko, soal jatuh dan bangun lagi.
Entrepreneur Day di Al Furqon memberi contoh, anak-anak bisa belajar ekonomi dengan menjual cilok, belajar seni lewat tari, belajar agama lewat sikap jujur dalam dagang, dan belajar teknologi lewat wacana AI. Semua terintegrasi, inilah pendidikan yang manusiawi, menyenangkan, dan relevan.
Kalau boleh sedikit bercanda, kalau anak SD saja sudah bisa jualan cilok sambil menari dengan percaya diri, masa kita yang sudah dewasa masih bingung cari ide usaha, atau malah sibuk rebahan sambil mengeluh harga cabai naik?
Pepatah lama bilang “Belajar itu ibarat makan sambal, pedasnya bikin nangis, tapi kalau terbiasa, justru bikin ketagihan”.
Oleh karena itu, jadikan pendidikan seperti sambal, pedas tapi nagih, bikin anak-anak tahan banting, kreatif, dan siap menghadapi masa depan. Entrepreneur Day hanyalah salah satu contoh, tapi ia menunjukkan arah, pendidikan terbaik adalah yang mendekatkan anak pada kehidupan nyata.[***]