Pendidikan

Dari Kelas ke Laboratorium AI, Mahasiswa Dilatih Jadi Talenta Masa Depan

ist

INGAT Zaman dulu!, mahasiswa rajin nongkrong di kantin kampus sambil berdebat soal filsafat, cinta, dan hutang di warung fotokopi. Tapi sekarang, debat itu harus pindah, bukan lagi soal siapa gebetan si A atau teori Karl Marx, melainkan siapa yang bisa bikin robot ngobrol sopan atau algoritma yang bisa bedain tempe mendoan gosong dan yang masih bisa dimakan. Inilah yang disebut transformasi dari kelas ke laboratorium AI, mahasiswa dilatih jadi talenta masa depan.

Pepatah lama bilang, “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, tapi di era kecerdasan buatan, mahasiswa tidak boleh cuma jadi buah jatuh, melainkan drone canggih yang bisa terbang tinggi, punya GPS, dan kalau bisa sekalian bisa pesan kopi lewat aplikasi.

Di kelas, dosen biasanya sibuk nulis di papan tulis persamaan matematika panjang, atau teori komunikasi massa, tapi mahasiswa zaman sekarang dituntut bukan cuma bisa ngafal, tapi juga bisa praktik. Nah, di sinilah AI Talent Factory datang sebagai kompor gas baru bikin mahasiswa bukan cuma bisa ngomongin teori, tapi juga bisa bikin produk nyata.

Bayangin mahasiswa belajar AI sambil bikin aplikasi pendeteksi kucing kampus, jadi, kalau ada kucing yang masuk kelas waktu kuliah Statistik, aplikasi langsung bunyi: “meow detected, please give snack”,  itu baru ilmu yang bermanfaat.

Kalau ngomongin AI, coba tengok tetangga sebelah dan dunia luar, seperti India sudah kayak warung pecel lele AI. Mereka mencetak ribuan programmer setiap tahun.

Anak muda di sana bisa coding sambil makan chapati, dan hasilnya banyak unicorn startup lahir dari dapur mereka. China malah lebih heboh. Mereka bikin kota-kota jadi smart city, CCTV bisa kenalin muka warganya, bahkan mungkin bisa tahu kalau kamu telat bayar utang pulsa. Anak mudanya disekolahkan AI sejak dini, kayak belajar mengucap kata “mama” tapi sambil nge-coding Python.

Amerika Serikat jelas jadi markas Avengers-nya teknologi. Silicon Valley itu seperti Disneyland buat mahasiswa IT. Bedanya, kalau di Disneyland naik roller coaster, di Silicon Valley naik valuasi startup. Mahasiswa di sana udah biasa magang di Google atau Tesla, bukan di warung pecel lele.

Korea Selatan juga tak mau kalah, mereka menggabungkan budaya K-Pop dengan teknologi, misalnya  robot AI bisa jadi trainee idol, hafal koreografi BTS, bahkan bisa nge-dance tanpa ngos-ngosan. Mahasiswanya dari SMA sudah kenalan dengan coding, jadi pas kuliah tinggal upgrade skill, bukan belajar dari nol.

Indonesia jangan sampai cuma jadi penonton, masa mahasiswa kita kalah sama robot virtual di Korea yang bisa nyanyi dangdut dengan suara merdu?

Di balik banyolan tadi, ada hal serius Indonesia butuh 9 juta talenta digital hingga 2030, itu bukan angka main-main. Kalau tidak siap, kita bisa jadi pasar doang, bukan pemain.

Program AI Talent Factory ini jadi jembatan dari ruang kelas penuh teori menuju laboratorium penuh inovasi. Mahasiswa diajak bukan cuma ngerti dasar, tapi juga nyemplung langsung ke praktik: riset, bikin proyek, bahkan dapat sertifikasi internasional. Ibaratnya, mahasiswa tak lagi sekadar “baca resep”, tapi disuruh langsung masak di dapur, lengkap dengan panci, kompor, dan bahan.

Kalau salah masak? Ya tinggal diulang, bukan dimarahi mertua.

Umpamanya dunia kerja itu seperti pasar malam, ada banyak wahana, banyak pedagang, dan banyak saingan. Mahasiswa yang cuma punya teori, ibarat penonton nonton kincir angin. Seru sih, tapi nggak naik wahana, sementara mahasiswa yang berani praktek, dia naik bianglala, lihat dunia lebih luas, bahkan bisa selfie dari ketinggian.

Jadi, mahasiswa jangan cuma jadi penonton, tapi harus jadi pemain, kata pepatah, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian” Tapi di era digital, pepatah baru bisa kita bikin “belajar teori boleh dulu, tapi riset dan praktek harus segera.”

Transformasi dari kelas ke laboratorium AI adalah tiket emas mahasiswa menuju masa depan. Dengan AI Talent Factory, mereka bukan lagi generasi rebahan yang cuma bisa scroll TikTok, melainkan generasi penggerak yang bisa mencetak aplikasi, riset inovasi, dan bahkan jadi bos startup.

Negara-negara lain sudah lari kencang. India mencetak coder, China bikin kota cerdas, Amerika melahirkan startup raksasa, Korea melatih AI jadi idol. Indonesia? Harus ikut lari, jangan cuma selfie di pinggir jalan.

Karena pada akhirnya, masa depan itu milik mereka yang berani adaptasi, berinovasi, dan berkolaborasi. Jadi, ayo mahasiswa Indonesia: dari kelas ke laboratorium AI, waktunya jadi talenta masa depan, kalau kata pepatah, “tak ada rotan, akar pun jadi.” Tapi untuk zaman sekarang, “tak ada AI, masa depan pun basi”.[***]

Terpopuler

To Top